Jika ada yang bilang sendiri itu bosan, berarti ia tak pernah mencintai dirinya dan ke'aku'annya.
Aku dan lelakiku menyukai kesendirian. Hei, kami adalah dua ke-aku-an yang menjadi satu dan menyatu, meski saling berpijak di dua kapal yang berbeda.
Laut adalah taman bermain tempat kami biasa berkencan.
Meski kapal kami berbeda, aku terbiasa untuk menggenggam jemarinya dengan jarak yang membentang, yang kira-kira cukup untuk dilalui seekor lumba-lumba cantik.
Hei, aku tidak sedang bergurau. Aku memiliki seorang kekasih yang harus kupantenkan kepemilikan atasnya. :)
Kami memiliki dua nahkoda yang berbeda, yang jelas-jelas selalu saling menjauhkan kapalnya masing-masing.
Sedikit belaian halus di telapak tangan dan kecupan lembut di dahiku adalah hadiah manis yang sering ia titipkan pada burung hantu kikuk peliharaanku.
Maklum saja, tiap kami hendak saling menggenggam jemari satu sama lain, ada saja tingkah konyol Dewa Neptunus untuk menghalangi keceriaan kami. Belum lagi sang Ratu Pantai Selatan yang tetiba muncul dari belakang, menghancurkan nuansa romantisme yang hampir mempertemukan bibir kedua insan yang sedang dimabuk cinta. Ah laut!
Laut mengajarkanku banyak hal. Tentang ketenangan paling damai yang bisa manusia cicipi, tentang romantisme yang tak mengenal waktu dan tentang keheningan di tengah gemuruh badai.
Juga tentang keindahan yang perawan dan sungguh senantiasa menawan.Namun dari semua hal yang laut berikan, ada satu pelajaran berharga yang paling terngiang di benakku, yaitu ketika 'menyendiri tak berarti sendiri'. Aku banyak melihat para mahluk laut yang beriringan, berpasang-pasangan, juga langit dan ujung laut yang selalu terlihat menyatu kala matahari bersembunyi ke dasar laut, ataupun angin yang selalu bercinta dengan layar kapal.
Mereka semua adalah mahluk yang tercipta sendiri. Terkadang saling menyendiri. Adakalanya kapalku terasa tenang nan statis, meski sebetulnya ia bergerak dengan tempo yang lambat.
Atau ketika seekor paus harus terdampar ke bibir pantai, sendiri dan sepi. Ah, betapa malang nasibmu, kawan.
Pun aku dan kekasihku. Laut kerap kali memisahkan kami. Namun begitu, genggaman tangan kami masih menyatu.
Terkadang, kami harus berdiri sendiri, tapi angin masih berpihak pada kami, memaksa kapal kami beriringan, menimbulkan sedikit pertengkaran sengit di antara nahkoda kami dan membiarkan kedua bibir kami saling terpaut kembali, mengunci lidah-lidah kami menjadi satu.
Lopinta Rumengan
Sabtu, 6 April 2013
Foodcourt Plangi, 2:39pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar