Senin, 17 Juni 2013
Penjaja Dara
"Seperti udara, kasih yang engkau berikan...Tak mampu ku membalas...Ibu..."
Di dunia ini, tak ada hal lain yang lebih membahagiakan bagi seorang anak daripada mampu memberikan yang terbaik darinya kepada kedua orangtuanya. Semenjak lahir, aku tak pernah mengenal siapa ayahku. Meninggal di medan perang. Hanya emak satu-satunya sahabat karibku.
Cita-citaku sederhana, menikah dengan pangeran lalu membelikan emak daging ayam.
Aku menatap nanar kepada pemandangan di sekitarku. Ini bukan gayaku pun tempatku yang sesungguhnya. Meski harus kusadari, cinta sejati tak sekedar dari hati, pun harus memberikan pengorbanan yang berarti...
Toko kelontong milik emak makin hari makin sepi. Deretan mini market semarak di sepanjang jalan raya bahkan kini tak luput bertengger di depan gang-gang rumah warga. Himpitan ekonomi makin menyengsarakan dapur rumah tangga keluarga kaum papa.
Tiap malam tanpa pernah disadarinya, aku selalu mendengar namaku dilafalkan dengan mirisnya oleh emak, berharap berkah melimpah turun atas aku anak satu-satunya, tumpuan segala harapannya.
Sekali lagi kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kilatan mata bengis menatapku. Miris.
'Ya Tuhan, bayi kecilku ini milik-Mu. Maafkan hamba yang tak mampu membahagiakannya lahir batin.'
Doa ibu. Selalu begitu. Tak sadarkah ia bahwa ucapannya adalah doa yang akan selalu mengiringi langkah kedua kakiku? Tak pernah bahagia? Demi Tuhan emak aku bahagia, asal kau selalu sehat dan menemaniku setiap waktu.
Kembali aku memusatkan pikiranku ke hamparan pemandangan asing di hadapanku. Wajah-wajah yang tak mengenal lelah mencari nafkah, meski harus melupakan perintah Allah.
Ku langkahkan kaki dengan mantab. Kuketuk pintu yang catnya mulai memudar.
"Siapa?", tanya suara dari dalamnya.
"Saya butuh uang.", jawabku takut-takut.
"Sini, masuk!", perintah suara dari dalam. Berat dan arogan.
Wajah emak kembali terlintas di benak. Sabar mak, kita akan makan ayam rebus besok pagi. Aku janji.
Ku buka pintu neraka itu dengan perlahan. Seorang pria tambun dengan kaus kutang dan celana boxer duduk santai di atas kasur, pemandangan pertama yang kuterima. Wewangian aneh langsung menyeruak kala kepalaku mengintip ke dalamnya.
"Astaga! Masih belia. Aha....masih ranum rupanya. Pintar kali Margaret carikanku 'barang.'", senyum menjijikan tersungging dari balik kumisnya. Botak, gendut dan bagai macan kelaparan yang siap menerkam mangsanya.
"Saya butuh uang. Buat makan emak. Berani bayar berapa?", tegasku.
"Bisa kita nego nanti. Yang penting, kemari. Mendekat sayang."
'Nduk... Harga diri seorang wanita itu ada pada kesuciannya. Jaga baik-baik nak. Demi kebahagianmu lahir-batin kelak.', pesan emak pada suatu malam. Saat aku berbaring di pahanya sembari disisirinya rambut panjangku.
"Beri saya tiga ratus ribu. Emak harus makan enak!", perintahku.
"Jangankan segitu, tiga juta punku kasih! Asal kamu sama aku terus. Bagaimana?", tawar pria -yang disebut sebagai Om Bambang oleh tante Margaret,adik kandung emak- sembari menciumi leherku.
Bukankah Tuhan mencintai orang-orang yang tulus hati-Nya? Demi emak, sepenuh hati aku menyerahkan harta terbesarku kepada pria yang lebih pantas jadi ayahku. Demi emak, aku melupakan mimpiku kelak bersanding dengan pangeran tampan yang menjadikanku ratu sejagatnya. Demi emak...
Tuhan, jika memberi harus dengan sepenuh hati, tulus dan ikhlas, berlakukah juga kepadaku, sang penjaja dara?
"Iya om.", ucapku.
Quote : "Ibu" - Iwan Fals
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar