CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 30 Maret 2014

I Kissed a Girl


“I kissed a girl and I liked it...
I kissed a girl just to try it...”

Di suatu cafe, ada seorang perempuan yang sedang memandang penuh harap ke arah jendela lapang di samping sofa yang memeluknya hangat.

“Naiko, kalau kita dewasa nanti, menikahlah denganku.”

“Mas Adam, aku masih terlalu muda. Masih jauh untuk membicarakan semua itu. Lagipula aku baru mau menikah kelak ketika aku kepala tiga. Sudah matang. Kitanya. Itu harapanku. Bagaimana menurutmu mas?”

“Tak masalah. Aku akan menunggu. Karena hanya kamu yang aku mau.”, ucap Adam sembari memperat dekapannya.
               
  Perempuan itu tak hentinya melepaskan pandangan kosongnya ke jendela depannya. Aku hanya terus memperhatikan. Namun tatapanku tak jua dirasakannya.

“Mas, seberapa besar rasa sayangmu untukku?”

“Kamu ini bicara apa, Nai?”

“Mama-papaku melarang hubungan kita. Kalau sampai nanti Mama-Papa masih juga belum memberi restu, apa kita kawin lari saja mas?”

“Hush, Nai! Kenapa bicara seperti itu? Dewasalah, sayang! Kamu lupa sama cita-citamu untuk menikahi pria yang mengantongi restu dari kedua bapak-ibumu?”

“Iya tapi mas.. Sudah 5 tahun kita bersama. Masih juga tak ada restu dalam genggaman. Beda agama. Klasik.”

“Pokoknya apapun yang terjadi... Kita harus menikah dengan seijin orangtuamu. Kan kamu sendiri yang pernah bilang, batu pun bisa terkikis oleh tetesan hujan. Kebecian orangtuamu akan hubungan kita juga pasti dapat sirna seiring usaha yang selalu kita gencarkan.”

                Entah mengapa keacuhan perempuan ini membuatku semakin ingin ikut terhanyut di dalam lamunannya. Apa yang sedang dia pikirkan? Ah tak biasanya aku sebegini tertariknya akan urusan orang lain. Apa hubungannya denganku?

“Happy 5th years anniversary, mas! Give me my kisses!” paksaku pada mas Adam.

“Iya sayang, iya sebentar ya. Ini aku susah nih. Harus sambil nyetir. Bahaya!”

“Jadi kamu lupa ya sama anniversaryan kita?”

“Gak usah lebay. Sini!”, Adam menarik tubuhku ke arahnya dan mendaratkan jutaan kecupan ke wajahku. Pipi, dagu, hidung, kelopak mata hingga akhirnya bibirku pun terjamah oleh belain lembut bibirnya.

Haruskah aku melangkah dan memperkenalkan diri? Tapi bagaimana kalau penolakan yang kan kudapatkan nanti?

“Mas! Kamu ini posesif banget. Kenapa susah untuk percaya sama aku? Kenapa gak bisa kasih aku kebebasan? Aku udah cukup dewasa untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk diriku, mas!”

“Kamu pilih kita bersama dan turuti segala perintahku atau tinggikanlah egomu dan pergi dariku! Emansipasi itu sampah belaka. Aku ini pria, calon imam dalam keluarga. Kenapa susah sekali kau turuti perintahku! Kamu itu wanita. Turuti segala mauku! Itu fungsimu! Mengerti?”

Ah! Persetan! Aku tau dia menarik. Dan aku tau wajahku tak terlalu buruk rupa. Kesempatan tak datang dua kali. Dan waktu tak akan pernah terulang kembali.

Aku mulai mendekati mejanya. Jantung kian berdegup tak keruan. Kuperiksa segala yang menempel pada tubuhku. Jam tangan brandedku cukup elegan melingkari pergelangan tanganku. Kemeja kotak-kotak merah hitam yang kupadukan dengan kaos hitam tampak serasi dengan jeans hitamku. Dan converse belel ini tak merusak kesempurnaan padaku. Ah, haruskah aku lepas kupluk yang bertengger manis menyelimuti rambutku?

Ehem!

Wanita itu tampak amat terkejut.

“Hi.. Boleh join kan?”

“Oh. Hmm.. Silahkan.”

Ada jeda berkepanjangan di antara kami berdua.

“Mas Adam!”

“Sudahlah! Aku lelah Nai menghadapi sikapmu. Kekanakan. Manja. Plin-plan. Sudahi saja hubungan ini!”

“Masss!”

“Hei, kenapa melamun?”, sapaku basi.

“Eh sorry. Kita belum kenalan kan? Aku Nai. Naiko Anabella. Kamu sudah punya pacar? Pernah patah hati? Jadian sama aku aja, yuk! Aku muak dengan lelaki.”

Apa maksud wanita mungil ini?

“Aku Naiko. Single. 21 tahun. Sedang menyusun skripsi. Pernah sakit hati. Ditinggal pergi pria yang dia kasihi. Aku mencari pasangan baru yang menerimaku apa adanya, tidak posesif dan... Hei, I love your cross neckalge. Same with mine. Well, bersedia kencan denganku? Siapa namamu?”

“A.. Amanda.”


Cinta kita.
Yang dulu pernah ada.
Telah dilanda duka.
Tiada lagi kita, sukacita dan tawa.
Hanya angkara dan murka tersisa.
Aku pernah memuja seorang pria dengan sangat membara.
Namun kini menyisakan luka.
Jangan! Jangan pernah kembali.
Karena telah kutemukan cinta yang baru bersemi.
Dan tak kan ada kegagalan lagi kali ini. Ikrarku!

2 komentar: