-Hari pertama-
"Siang anak-anak. Kenalin, kali ini kalian punya murid baru. Buat yang cewek-cewek nih, pasti bakal nahan nafas deh ngeliatnya...", ibu guru muda itu lihai sekali memancing perhatian murid-muridnya yang mulai jengah karena kelasnya yang sudah siang hari bolong.
"Anjas! Lebay banget nih si Kokom. Apa coba nahan nafas! Gak jelas!"' Vanessa sewot dibuatnya.
Seketika masuklah seorang lelaki, tinggi, kulit bersih, wajah rupawan dan sangat mempesona.
"Selamat siang.", hanya itu yang terucap dari bibir tebal-cerah-ranumnya.
"Kenalin anak-anak. Ini murid baru kita. Namanya.....siapa namamu nak?"
"Aku Lelaki!", senyum simpul mengakhiri jawabannya. Sontak sekelas terbahak mendengar jawabannya.
"Woi...kite-kite juga tau ente laki! Nyang bilang peyempuan siape tong! Bahahaha! Nama gua juga Aboy, dari Bahasa Enggres noh, A sama Boy, arti nama kita pan samaan. Buahahaha!" sahutan Aboy sungguh norak.
Seketika itu juga sosok Aku Lelaki menjadi bahan pembicaraan satu sekolahan. Semua mata menatapnya, memandanginya dari ujung kaki sampai kepala, mencari letak kekurangannya. Selain karena namanya yang agak asing, hampir tak dapat ditemukan satupun kekurangan pada dirinya. Ia dipuja banyak siswi sekaligus dihujat bejibun siswa.
Aku Lelaki tak banyak bicara, entah memang seperti itu karakternya atau karena jaim (jaga image) semata. Di hari pertamanya bersekolah di SMA Sumringah ia hanya sesekali nampak berbicara, namun tetap saja banyak yang mendekati, menghampiri atau sekedar berbasa-basi di hapannya, ibarat gula yang dikerumuni semut-semut.
Diantara semua siswa-siswi yang mempergunjingkan sosok misterius nan menawan itu, ada satu sosok yang sama sekali tak terusik akan keberadaan Aku. Ia adalah Luna. Luna tak kalah fenomenal keberadaannya di sekolah itu, cantik, bule, pintar, tubuh bak selebriti namun sangat down to earth alias rendah hati. Siapa yang tak memuji keanggunannya? Banyak yang menyimpulkan bahwa pada saat Tuhan menciptanya, hati Tuhan sedang sangat gembira saat itu, maka jadilah sosok hampir sempurna sepertinya.
"Lunaaaaaak... You have to know something! Aku Lelaki na! Anak baru, cakep gak pake ampun. Gile tuh mahluk, pas nghamilin dia emaknya ngidam apa ya?", Dora nyaris menjerit saat melepas headset yang bertengger manis di telinga Luna.
"Aaaarrgh... Dora! Apa-apaan sih! Berisik tau! Sana ah! Gua lagi pengen sendirian!"
"Lo harus banget liat Aku Lelaki!"
Iya nanti gua temenin lo nonton. Nanti pulang sekolah. Janji. Udah sana ah!", usir Luna.
"Heh? Lo kata judul pelem. Lunaku sayang you're so out of date, dear. Aku Lelaki is..."
"Enough! Aku Lelaki is enough! I'm gonna enjoy my songs dear. Ok! Bye!"
Beberapa orang mengira sikap cuek Luna adalah semu dan hanya bagian dari triknya untuk menjerat Aku Lelaki. Namun nyatanya, ia memang tidak perduli. Luna dan Aku Lelaki dianggap pasangan yang cocok, keduanya sempurna. Namun tak ada satupun siswa-siswi yang setuju jika keduanya disandingkan bersama karena keduanya sama-sama memiliki fans berat yang sangat tak rela melihat idolanya dimiliki siapapun.
Waktu berlalu dengan cepat. Tiba saatnya di hari ke-19 bagi Aku Lelaki bersekolah di SMA Sumringah. Anehnya, Luna dan Aku Lelaki belum pernah saling bertatap muka. Hingga akhirnya, dibawah terik matahari siang itu ada bola basket melayang indah dan tepat menghantam bagian belakang kepala Luna! Ibarat waktu berhenti sementara, keriuhan disekitar seketika berubah menjadi sunyi senyap. Semua menatap ke satu objek.
Luna memegangi kepalanya yang terasa sangat nyut-nyutan. Jutaan kata makian sudah menguncup di bibirnya dan siap untuk bermekaran.
"Maaf. Maaf banget. Kamu gak apa-apa kan? Duuuh!", suara berat itu mengalihkan pandangan Luna yang tengah terduduk di pinggir lapangan.
"PALA LO PEYANG! PUNYA MATA GAK SIH! $%&@*(&>... " makian Luna tertahan saat matanya menatap langsung sosok di depan matanya yang mengulurkan tangan. Luna terdiam. Terpaku. Perlahan namun pasti, dengan penuh rasa percaya diri Luna menjulurkan tangannya....
"Bolanya mana?", ujar Aku Lelaki tak sabar. Monyong bibir Luna tak dapat dihindari. Jutaan rasa malunya siap menjadi mahluk yang dapat mencekik leher Aku Lelaki saat itu juga.
Malu, sudah pasti. Luna malu bukan kepalang. Saat semua mata memandanginya dan untuk pertama kalinya ia dipermalukan di depan ratusan pasang mata. Luna berjanji dalam hati tak akan pernah memaafkan cowok tidak peka macam Aku Lelaki.
Siangnya, Luna mencoba menghibur diri dengan mendatangi bioskop kesayangannya seorang diri. Bioskop itu berada di lantai 5 sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai dan megah yang menjadi objek kunjungan abege-abege gaul.
Dengan sejuta kekesalan, rasa malu dan emosi yang tak tertahankan, Luna mencoba menghibur diri. Sebelum menonton, ia mampir ke sebuah coffee shop, memesan minuman kesayangannya dan duduk di pojok asyik favoritnya.
Saat sedang asyik meminum Cappucinno Float miliknya, tanpa ia sadari seseorang yang sungguh ia benci memasuki tempat itu juga. Ia duduk membelakangi Luna. Namun, saat tak sengaja Luna mendongakkan kepalanya, ia menyadari sesuatu. Luna sekuat tenaga berusaha menahan tawanya.
'Ini yang namanya sempurna! Bahahaha tunggu sampai satu sekolah tau seperti apa mahluk favorit mereka', batin Luna.Diam-diam Luna mengambil smartphonenya dan merekam adegan di depan matanya.
Luna memasuki bioskop dengan agak terlambat. Sebelumnya ia sempat disibukkan dengan bersembunyi terlebih dahulu sebelum objek kebenciaannya itu meninggalkan coffee shop terlebih dahulu. Setibanya di bioskop, lampu belum dimatikan. Suasana saat itu cukup dingin sebenarnya, hanya saja karena sehabis lari-lari kecil menuju tempat itu Luna jadi berkeringat.
Saat lampu bioskop benar-benar sudah dimatikan, Luna memandangi sekeliling. Saat disadarinya bahwa tak ada yang memperhatikannya, Luna pun melakukan kebiasaannya yang sudah ia rahasiakan bertahun-tahun lamanya.
"Buahahahahahahahak! Oh bulan, mengapa orang sungguh begitu menakutkan. Buahahahaha!" Bulan? Apakah Luna yang dimaksudkan oleh suara tersebut? Dalam bahasa Italik-Latin, Luna berarti bulan.
Luna mengedarkan pandangannya. Suara itu terdengar dari arah kursi persis dibelakangnya. Saat ia memutar tubuhnya kebelakang, dilihatnya Aku Lelaki disana, terbahak penuh kemenangan.
Entah bagaimana ceritanya, Luna dan Aku Lelaki kini sudah duduk di berhadapan di coffee shop yang sebelumnya mereka datangi. Apa yang membuat keduanya dapat menjadi akur pun tak ada yang tau.
"Eh, kenalin. Aku Lelaki."
"Siapa juga yang bilang lo perempuan?"
"Basi! Garing ah. Lo pasti tau kan nama gua emang begitu."
"Enggak."
"Ahahaha... Lo pasti Luna yang terkenal cantiknya seantero sekolah itu ya?"
"Dan lo pasti Aku Lelaki yang ramai diperbincangkan itu kan?
"Lo tau gak, na! Kita ini sama banget. Maaf, saya tadi gak sengaja ngeliat apa yang kamu lakuin. Sesuatu yang pasti gak ada seorangpun yang tau."
"Oia? Gua juga! Gua malah udah punya rekamannya."
"Iya na. Aku Lelaki, si tukang nelan upil. Lo benci banget kan sama gua? Sebarin aja na, pasti langsung lega.", senyum Aku Lelaki.
"Hai Aku Lelaki, mana mungkin saya ngelakuin kayak gitu. Barusan si Luna yang terkenal akan kemolekannya kegep lagi....", Luna tak mampu meneruskan ucapannya.
"Jepit telunjuk kirinya di ketiak sebelah kanan, lalu mengendusinya dengan seksama."
"Diem!", wajah Luna memerah.
"Ahahahaha... karena kesempurnaan milik Tuhan dan kekurangan milik manusia, terutama Bunda Dorce.."
"Kita...ya kita. Sempurna menurut mereka, tapi punya kekurangan yang tak bisa diterka."
"Tetap kayak gini yuk, na. Tetap seperti kita. Kamu si Luna penghirup ketiak dan Aku Lelaki penjilat upil."
"Kenapa enggak?..." senyum Luna terkembang di bibirnya.
Jangan berhenti
Tetaplah berdiri
Lalu kau bersiap berlari
Berada di bumi
Lagu : Aku - Peterpan
#cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar