CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 09 November 2015

Pulang



Kedai Kopi Kemang, 20:00 WIB

Aku harus pulang. Dengan atau tanpanya, aku tetap harus pulang.

"Sudah dimana nak?", suara Bunda ditelfon genggam mengintervensi senda gurau kami.

"Ini kejebak hujan, bun. Masih di Kemang Raya. Sebentar lagi sampai."

"Ok nak. Kabari kalau sudah dekat rumah, biar Bunda bukakan gerbang."


Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama
Tak bisa bersatu 


Kedai Kopi Kemang, 20:05 WIB

"Aku harus pulang mas. Bunda sudah menelfon."

"Pembicaraan kita belum selesai, Diana." Indra terus meyakinkanku.

"Sudah mas. Kita beda, gak ada jalan untuk bersama."

"Aku akan meyakinkan Ayah-Bundamu, Diana Rikasari. Aku janji." Andai kalimat itu diutarakan sejak 3 tahun yang lalu, mungkin akan berbeda hasilnya. Atau mungkin tetap sama? Atau mungkin rasa tetap ada dengan kisah kita yang tak akan jadi nyata? Atau mungkin tanpa mungkin?


 Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia
Tapi kita dalam diorama


Jl, Pangeran Antasari, 18:30 WIB

"Aku jatuh cinta."

"Sama siapa?", tanya mas Indra dengan penuh kasih. 

"Tulus"

"Kenapa?" Pandangannya tetap fokus ke jalan, tapi aku tahu, setiap kata, kalimat dan paragraf yang keluar dari mulutku pasti akan didengarkannya dengan penuh seksama.

"He knows what I want. He wrote the song about us."

"Oiya? Apa?" 

"Teman Hidup"

"Ahaha. Kamu. Hmmm,... Nikah sama aku ya, Di." Tangan kiri mas Indra mengenggam erat tangan kananku. Sebelah tangannya masih menggengam lembut kemudi.

"Iya kita nikah. Kalau kamu dibaptis. Ahaha."

"Iya kita nikah. Kalau kamu jadi mualaf."

"Ahahaha dasar gak mau ngalah!"

"Ok, Kalau gitu, gini aja. Iya kita nikah kalau Tuhan mengizinkan kita bersama. Gimana?" ucap Mas Indra tegas sembari melingkarkan lengan kirinya di pundakku. Segalanya terasa indah, tanpa pernah terbayang kata pisah. Hujan sore hari. Dekapan hangat sepanjang jalan Antasari. Romansa tanpa henti.


Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku
Berdua kita hadapi dunia

Andara, 21:55 WIB

"Kok pulangnya malam sekali?", cecar Bunda setengah keki.

"Macet, Bun. Jakarta. Hujan. Banjir."

"Kamu pergi lagi ya sama lelaki itu?"

"Indra, Bun. Dia punya nama. Muhammad Indra Prabowo."

"Persetan! Diana, Tuhan menitipkan kamu ke kami, agar kami bisa mendidik kamu, nak. Merawat, membesarkan. Kenapa sekarang jadi suka melawan?"

"Aku gak melawan, Bun. Aku cuma mengikuti kata hati."

"Kata hati yang mana? Kamu lebih dengar lelaki yang baru kamu temui kemarin dibanding Bunda? Bunda ini yang melahirkan, membesarkan dan merawat kamu sampai sebesar ini, nak. Hargai bunda, ya sayang. Ingat nak! Kalau Bunda aja gak suka sama lelaki itu, apalagi Tuhan. Kalian berbeda. Susah nak 1 kapal diatur oleh 2 nahkoda."

Dan pada akhirnya, aku memang harus pulang. Aku terlalu pecundang untuk membangkang. Tak punya nyali untuk berjuang. Mempertahankan sesuatu yang disebut sayang.

"Iya, Bun, iya. Tadi juga cuma reuni SMP. Rame-rame. Gak berdua sama dia tok. Kita udah lama gak sama-sama, cuma kebetulan bertemu, lalu diantar pulang."


Cinta memang banyak bentuknya
Tapi tak semua dapat bersatu



*Lagu (Tulus) :- Sepatu
                            - Diorama
                            - Teman Hidup


Tidak ada komentar:

Posting Komentar