Kayu itu ayu, tapi tak pernah seindah batu.
Kayu dapat kutemui dimanapun dan kapanpun aku butuh.
Tapi tak pernah sebernilai batu, kata Ibu.
Kayu dan batu sama-sama ditempah oleh waktu.
Tapi kayu seringnya tak sanggup menunggu.
Karena kayu selalu dirasa perlu.
Batu indah, mudah terjamah, dan tercipta demi bahagia jemaah.
Namun kayu, selalu tersedia sejauh manapun aku menjauh.
Kayu kurang bermutu, kata Ibu.
Dan masih kata Ibu, batu jauh lebih berarti untukku.
Tapi aku lebih suka kayu.
Meski tak dapat kupungkiri bahwa batu juga akan jadi sesuatu.
Meski Ibu tak pernah tahu.
Aku selalu menyimpan serpihan kayu.
Meski mungkin jariku harus tertusuk, dan Ibu bilang ia benda busuk,
tapi aku yang paling tahu apa yang hatiku mau.
Dan meski batu selalu tampak indah bagi Ibu, tapi tidak untukku.
Karena batu, tak lebih dari sebuah benalu, yang diselimuti selaput lucu.
Karena batu, kesukaan Ibu.
Karena batu, bukan kehendakku.
Ibu, jujur, masih saja aku menyimpan kayu.
Yang Ibu kira telah ia lama mati kutebang bagimu.
Selasa, 9 Agustus 2015
19:07 wib
Angkot 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar