Ping!
Sms masuk : 'Beebeep! Hola nona Venus. Ini Bombo. Akhirnya, setelah sekian lama ya...waktu yang kita nantikan tiba juga. Gak sabar nih!'
Balas : 'Beebeep! Hola juga tuan Mars. Di Venus jaringannya kurang bagus, maaf baru bisa balas sekarang ya. Sangat. Semoga mr. Mars tidak kecewa.'
Sms masuk kembali : 'Bomboom! Diterima. Tidak apa-apa nyonya. Aku sayang kamu. Mungkin klise, gombal pula. Tapi terima kasih selalu support aku selama ini. Aku woombaboomba kamu.'
Balas : 'Woomba boomba juga! Ehehe.'
Sms terakhir : 'Yang terhormat nyonya Venus, saya sudah dipanggil. Sampai ketemu secepatnya nona Mini!'
"Sinting lo! Masih percaya aja sama orang yang ditemuin lewat chatting-chattingan doang. Hiii...ngeri om-om kesepian lo!", celetuk Echa.
"Hush! Jangan suka negative-thinking gitu ah. Gak baik."
"Beneran polos atau emang naif sih lo?"
"Eh kamu pikirannya. Tega amat!" sahut Lili manis.
(•̯͡.•̯͡)
"Hush! Jangan suka negative-thinking gitu ah. Gak baik."
"Beneran polos atau emang naif sih lo?"
"Eh kamu pikirannya. Tega amat!" sahut Lili manis.
(•̯͡.•̯͡)
Sudah empat bulan Lili aktif berkomunikasi dengan sosok yang ia temui melalui jejaring sosial, Twitter. Dengan nama akun yang disamarkan Lili aktif menulis berbagai hal, seringnya tentang cinta, meski ia sendiri belum pernah merasakan apa itu Eros secara harafiah.
Lili yakin sekali bahwa sosok ini adalah laki-laki, seumuran dengannya dan senasib pula dengannya. Lili tergolong nerdy di kampusnya. Hanya mengenakan kaos tanpa aksesoris, tas polos dan flat shoes yang tidak
ada modis-modisnya setiap hari. Ya, sudah 19 tahun Lili belum pernah merasakan berpacaran. Bukannya tidak ingin, hanya saja ia terlalu tenggelam dalam kesenangannya akan buku, blogging dan belajar.
(•̯͡.•̯͡)
Siang itu kampus cukup ramai. Ada pertandingan futsal antar kampus yang rutin digelar tiap tahun untuk mempromosikan kampus secara halus. Lili tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Namun atas desakan Echa, akhirnya Lili mau juga duduk di pinggir lapangan dan menikmati pertandingan.
"Lo mesti tau ya Li! Lo mesti liat gini-ginian. Jangan natepin layar laptop sama buku-buku aja!" Lili diam saja. Echa kembali melanjutkan celotehannya yang bagaikan tanpa titik. "Liat deh tuh yang nomor punggungnya 13. Nah itu tuh! Senior kita. FH juga. Angkatan 2009. Ya beda 2 tahun lah sama kita. Ganteng banget kan. Jaim-jaim misterius ngegemesin gimana gitu."
"Siapa namanya?""Rosserdo Jerolin Sinclair"
"Siapa namanya?""Rosserdo Jerolin Sinclair"
"Oh!"
"Lah kok 'oh'? Cuma itu doang? Hallooo, it should be 'WOW', not just 'oh'!"
"Ahahaha centil kamu! Cowok tajir, cakep, jagoan pula macam mereka mah mana nyadar sama keberadaan kita? Orang-orang macam kita gini tuh kasat mata buat kaumnya mereka."
"Iya juga sih. Bener juga kamu. Tapi jangan pesimis gitu ah! Kali aja salah 1 dari jadian sama salah 1 dari kaum mereka itu.", Lili tak memperhatikannya.
"Aminin kek! Diem aja kayak nahan orang poop!", ledek Echa gembira.
Para pemain diberikan waktu rehat 5 menit. Semua pemain keluar dari lapangan dan segera mengambil botol air mineral ataupun handuk. Namun tidak dengan Edo, ia justru langsung mengambil ponsel miliknya. Sebuah pesan ia kirimkan untuk seseorang di seberang sana.
Lili yang tampak murung seketika langsung bergairah kala dirasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, batinnya. Langsung ia buka pesan itu dan seketika membalasnya. Kirim-kiriman pesan berlanjut beberapa kali sampai akhirnya yang di seberang sana mohon pamit.
Pertandingan dilanjutkan kembali. Echa dan sekian gadis-gadis lainnya sibuk memperhatikan Edo. Sedangkan Lili, ia hanya duduk melamun dengan tatapan kosong. Meski begitu, sempat beberapa kali dilihatnya sosok Edo secara mendetail. 'Apa sih bagusnya mahluk ini? Kaum beginian mah kaum tak berpijak pada tanah. Mimpi aja Echa mau memilikinya.' Di tengah lamumannya, ia rasakan Edo sempat melirik ke arahnya dan tersenyum. Segera ia alihkan perhatiannya dan menekuni novel di pangkuannya. Tak mau apa yang ia alami barusan merusak penilaiannya akan kaum-kaumnya lelaki itu.
Entah karena kelelahan atau apa ternyata pemain bernomor punggung 13 meminta keluar dari lapangan dan digantikan dengan pemain lain. Edo sang pemilik nomor punggung malah melintas di pinggir lapangan dan bercengkrama dengan beberapa temannya yang duduk di dekat Echa dan Lili. Echa girang bukan kepalang. Lili masih saja sibuk dengan iPod, sebuah Bakpao Ayam dan tatapan kosongnya.
Tiba-tiba entah apa yang terjadi, sebuah bola melayang jauh keluar dari lapangan dan.... GEDEBUM! Tepat menghantam kening Edo dan membuatnya mendarat mulus seketika. Semua orang panik. Para groupiesnya
segera mengerubungi, pun Echa. Lili hanya berdiri dekat situ. Tubuhnya kaku, terpaku. Ia lihat ponsel milik Edo tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pungut ponsel itu dan shock bukan kepalang melihat apa yang tertera disitu. :
'Hola nyonya Venus. Hari ini aku lelah sekali. Apa kabarnya planetmu kini? Ah ya, hari ini aku sedang mengenakan Cincin Bunda yang sangat ingin sekali aku kenakan di jari manismu. Karena kamu, seindah bundaku.'
Pesan itu belum sempat terkirim. Keburu terjadi insiden payah tersebut.
Lili genggam erat-erat ponsel tersebut. Ia obrak-abrik isinya dan semakin takjub dengan apa yang ditemukannya. Benar itu ponsel Edo, benar ia selama ini chatting dengan mahluk langit ini, benar bahwa ia tak mungkin memperkenalkan dirinya kepada Edo sebagai dia apa adanya.
"Lah kok 'oh'? Cuma itu doang? Hallooo, it should be 'WOW', not just 'oh'!"
"Ahahaha centil kamu! Cowok tajir, cakep, jagoan pula macam mereka mah mana nyadar sama keberadaan kita? Orang-orang macam kita gini tuh kasat mata buat kaumnya mereka."
"Iya juga sih. Bener juga kamu. Tapi jangan pesimis gitu ah! Kali aja salah 1 dari jadian sama salah 1 dari kaum mereka itu.", Lili tak memperhatikannya.
"Aminin kek! Diem aja kayak nahan orang poop!", ledek Echa gembira.
Para pemain diberikan waktu rehat 5 menit. Semua pemain keluar dari lapangan dan segera mengambil botol air mineral ataupun handuk. Namun tidak dengan Edo, ia justru langsung mengambil ponsel miliknya. Sebuah pesan ia kirimkan untuk seseorang di seberang sana.
Lili yang tampak murung seketika langsung bergairah kala dirasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, batinnya. Langsung ia buka pesan itu dan seketika membalasnya. Kirim-kiriman pesan berlanjut beberapa kali sampai akhirnya yang di seberang sana mohon pamit.
(•̯͡.•̯͡)
Entah karena kelelahan atau apa ternyata pemain bernomor punggung 13 meminta keluar dari lapangan dan digantikan dengan pemain lain. Edo sang pemilik nomor punggung malah melintas di pinggir lapangan dan bercengkrama dengan beberapa temannya yang duduk di dekat Echa dan Lili. Echa girang bukan kepalang. Lili masih saja sibuk dengan iPod, sebuah Bakpao Ayam dan tatapan kosongnya.
Tiba-tiba entah apa yang terjadi, sebuah bola melayang jauh keluar dari lapangan dan.... GEDEBUM! Tepat menghantam kening Edo dan membuatnya mendarat mulus seketika. Semua orang panik. Para groupiesnya
segera mengerubungi, pun Echa. Lili hanya berdiri dekat situ. Tubuhnya kaku, terpaku. Ia lihat ponsel milik Edo tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pungut ponsel itu dan shock bukan kepalang melihat apa yang tertera disitu. :
'Hola nyonya Venus. Hari ini aku lelah sekali. Apa kabarnya planetmu kini? Ah ya, hari ini aku sedang mengenakan Cincin Bunda yang sangat ingin sekali aku kenakan di jari manismu. Karena kamu, seindah bundaku.'
Pesan itu belum sempat terkirim. Keburu terjadi insiden payah tersebut.
Lili genggam erat-erat ponsel tersebut. Ia obrak-abrik isinya dan semakin takjub dengan apa yang ditemukannya. Benar itu ponsel Edo, benar ia selama ini chatting dengan mahluk langit ini, benar bahwa ia tak mungkin memperkenalkan dirinya kepada Edo sebagai dia apa adanya.
(•̯͡.•̯͡)
-3 bulan semenjak insiden itu-
"Eh, masih juga sibuk sama layar hp? Kapan beneran tatap-tatapannya?"
"Entah, Cha. Lagian mana mungkin juga dia mau sama aku."
"Memang sudah dicoba?"
"Belum."
"Lalu?"
"Dia terlalu jauh."
"Atau kamu yang gak punya keberanian untuk bermimpi?"
"Ahahaha. Entah Cha."
"Mau sampai kapan seperti ini?"
"Sampai dia jenuh dan berhenti penasaran denganku."
"Bagaimana dengan kamu, Li?"
"Mati dalam elegi patah hati. Terlalu munafik untuk mengungkapkan jati diri."
"Bodoh!", Echa mengacak-acak rambut Lili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar