Lelakiku
tak pernah ingkar janji. Karena pada kenyataannya ia tak sekalipun pernah
berjanji akan selalu setia bersamaku di sisi...
Di sebuah kedai kopi samping
kampus aku meneguk secangkir minuman pesananku. Aku hanya suka kopi hitam
manis. Tak perlu campuran lain untuk memberikan kenikmatan bagi lidahku saat
mengecapnya.
Aku mengambil sebuah cermin
mini dari dalam tas dan melihat pantulan deretan gigiku yang terikat behel
dengan manisnya disana. Ah gigiku masih cerah, tak nampak noda kekuningan
akibat kafein.
Kekasihku akan datang.
Aku tak mau tampak kusam dihadapannya.
“Sayang. Maaf. Lama
menunggu?”, ujarnya kemudian setelah kedua telapak tangannya sempat menutup
mataku kala posisi dudukku membelakangi pintu masuk.
“Ah kamu! Bikin kaget saja.
Tidak juga. Duduk sini. Bagaimana hari ini sayang?”, keriangan menjalari
tubuhku kala ku lihat kekasih duduk dihadapanku. Ah wajah yang selalu aku
tunggu, wajah yang selalu menghiasi mimpiku dan menjadi inspirasi bagi setiap
naskah cerita karanganku.
“Aku lelah sekali. Tugas tak
pernah berhenti menghampiri.” Lelakiku menutupi wajah dengan kedua telapak
tangannya. Hanya saja kala mengucapkan kalimat ini kedua bola matanya tak
pernah membalas tatapan yang kuhujani padanya.
“Itu kan pilihan hidupmu.
Jalani saja.” kataku pada salah seorang aktivis kampus kebangganku ini.
Selanjutnya aku dan kekasih
menghabisi waktu dengan saling bercengkrama. Menonton film di bioskop adalah
hal yang sesungguhnya tidak terlalu kami gemari. Kekasihku lebih menyukai
bernyanyi di dalam ruang karaoke. Cara paling ampuh melepas penat baginya
adalah dengan meneriakkan setiap kata-kata yang ada di kepalanya melalui
rangkaian nada.
“Ah.. kekasih! Ada apa
denganmu? Sudah tiga kali kau lantunkan lagu-lagu bertemakan selingkuh,
permintaan maaf, kejenuhan! Hei! Ada apa dengan kita?”, tanyaku lembut pada
kekasih yang tampak gamang dihapanku.
“Ah tidak. Aku hanya sedang
lelah. Maafkan. Jangan salah sangka, sayang. Jemariku kebetulan saja
mengetikkan judul lagu-lagu itu.”, perjelasnya. Ah kekasih! Berhentilah
membodohiku!
Kemudian kami habiskan sisa
malam itu dengan bercengkrama sampai tengah malam. Kekasihku tak pernah
kehabisan bahan cerita. Ya kekasihku memang pencerita ulung yang punya segudang
kalimat untuk diucapkannya dihadapanku. Dan setiap rangkaian huruf yang keluar
dari bibirnya akan selalu bertengger manis di benakku. Salah satu alasan aku
mengagumi kekasih yaitu karena di mataku seorang orator ulung yang sedang
berpeluh memvokalkan pemikirannya secara tajam, lugas dan tegas adalah sangat
amat seksi.
Kekasih membawaku menembus
malam dengan kecepatan 110 km/jam. Dinginnya angin malam tak terasa lagi
dikulitku yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Aku hanya tahu memeluk
pinggang lelakiku, menyebut nama Tuhanku dan memasrahkan hidupku pada kemampuan
kekasih mengendarai motor sport kesayangannya itu.
“Ada apa Richie?”, tanyaku
dengan berteriak lantang dari jok belakang motor kekasih. Pertanyaanku hanya
berlalu bersama dengan angin yang terus mengusutkan rambut sepinggang milikku.
Ah… Sebetulnya aku tidak butuh jawaban. Aku mengenal kekasihku lebih dari aku
mengenal diriku sendiri.
Aku bukanlah si Maha Tahu,
tapi setidaknya aku mengetahuinya. Ada sesuatu yang terjadi pada kekasihku.
Bukan perkara yang sulit untuk menebak apa yang terjadi dengan lelakiku itu.
Bahasa tubuhnya telah memberikanku jawaban yang paling krusial atas apa yang
sebenarnya terjadi.
Sesampainya di teras rumahku,
Richie membuka helm kepunyaannya dari kepalaku dan mematung cukup lama sampai
akhirnya ia kecup jua keningku. Ah kekasih, berhenti bersikap terlalu manis
padaku. Aku tahu Richie!
“Selamat malam Bening Karilla.
Aku mencintaimu.”, hanya itu kalimat yang terucap dari bibirnya. Kekasihku
pergi tanpa membiarkanku membalas ucapan manisnya.
Hari berikutnya dan seterusnya
kembali ku habiskan di kedai kopi dekat kampusku. Aku meminta sahabat-sahabat
dan orang kenalan terbaikku untuk membantu menandatangani daftar hadirku di
kelas. Aku jengah menatap wajah para dosen yang berlagak berwawasan luas namun
tak pernah mampu memberikanku jawaban atas pertanyaan ‘Adakah kekasih akan selamanya
kekal menjadi kepunyaanku?’
Aku tengah memikirkan kekasih
ketika kedua bola mataku menangkap bayangan sosok dari jauh yang ku rasakan
tengah menatapku. Hitunganku akan ciuman yang pernah kekasih berikan masih
menggerakan jari-jemariku kala bayangan itu makin nyata dan akhirnya berdiri di
hadapanku.
“Sendirian saja?”, tanya
mahluk yang bayangannya begitu menjulang di hadapanku. Mengapa mahluk ini
begitu menawan?
“Iya. Ada apa?”, tanyaku pada
si mahluk yang wajahnya tampak tak asing bagiku. Entah dimana aku pernah
melihat wajah serupa ini.
“Perkenalkan. Saya Rico.”,
ujarnya seraya menjulurkan tangannya padaku. Tangan kuatnya sempat membuatku
mematung dan lupa diri.
“Ah. Hai. Saya Bening.
Mahasiswi Atma Jaya.”, ucapku seraya menunjuk arah di depanku, letak kampus
tempatku menimba ilmu.
“Oh kamu anak Atma Jaya juga
toh. Fakultas apa? Hukum? Saudara saya disana juga soalnya.”, ucapnya seraya
melepas kunciran rambutnya. Wangi segar shampoo yang melekat di rambut lelaki
asing dihadapanku diantarkan oleh angin menuju indera penciumanku. Wangi yang
sangat mampu membuatku berlama-lama menutup mata, menikmatinya dan berfantasi
akan pemilik rambut gondrong-ikal-wangi tersebut.
“Eh! Oya? Siapa namanya?”,
tanyaku setelah pulih dari lamunan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa
berfantasi gila-gilaan akan cinta terhadap lelaki yang baru saja kutemui tak
lebih dari lima menit yang lalu.
“Ah tapi apa mungkin kamu
kenal? Ahahaha. Sudah lupakan saja.” Segaris senyum manis selalu mewarnai
rahang kokoh nan eksotis milik lelaki dihadapanku ini. Ah kekasih, andai kau
tahu betapa godaan keinginan untuk memiliki mahluk berjakun dihadapanku ini
adalah dosa terbesar bagi kesetiaanku kepadamu.
“Aku penasaran! Siapa? Lebih
baik kamu tidak menyebutnya sedari awal daripada dibuat menggantung. Siapa
dia?”, terus saja aku mencari cara agar percakapanku dengannya tak pernah
berakhir.
“Richie. Saudara kembar saya.
Nama yang sangat umum, bukan? Ahahaha. Tidak mungkin juga lagian kan kamu
mengenalnya.”, gelak tawanya semakin mengingatkanku pada sosok yang tak asing
bagiku. Tunggu dulu! Siapa? Richie? Hei… itu kan…?!
Ah kekasih. Sejak kapan kau
punya saudara kembar? Kenapa selama ini aku tak pernah mengetahuinya? Sebegitu
tidakpentingnyakah arti keberadaanku di matamu? Tak cukupkah waktu dua tahun
jalinan hubungan itu menjadi bukti keharusan adanya kepercayaan di antara kita?
Pertemuan dengan lelaki
kembaran kekasihku berakhir dengan saling tukar nomor ponsel. Aku tak akan
pernah bisa tidur dengan tenang nantinya jika melepaskan perjumpaan menakjubkan
itu tanpa mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan mahluk yang mampu
mematahkan mitos yang berkembang pada peradaban manusia selama ini bahwa
keindahan hanya milik alam dan wanita.
Beberapa kali aku kembali
bertemu dengan kekasih dan bahasa tubuhnya semakin meyakinkanku akan adanya
sesuatu yang salah pada dirinya. Ah kekasih, ada apa? Jenuhkah engkau dengan
hubungan ini? Aku masih sungguh mencintaimu. Masih nama belakangmu yang aku
bangga-banggakan untuk jadi nama marga yang akan ku letakkan di belakang
namaku. Bening Karilla Rumengan. Ah, tidakkah nama itu teredengar begitu manis?
Bayangan akan perubahan pada
diri kekasih masih memenuhi relungku kala lelaki itu berjalan lagi menuju meja
tempat mahluk imajinasiku memerankan peranan aku dan kekasih yang tengah
bertengkar hebat hanya karena masalah kecemburuan. Lelaki itu menarik bangku di
hadapanku tanpa minta permisi.
“Teruslah menerawang dan
jiwamu akan diusir oleh mahluk lain yang tanpa ijin akan menikmati tubuhmu!”,
ucapannya lagi-lagi seketika menghapus angan tentang kekasihku.
“Hei kamu! Sejak kapan ada
disini?”, ujarku lembut padanya. Lelaki indah ini selalu ada di kala aku merasa
membutuhkan sesosok mahluk berjakun untuk mengisi kekosongan hatiku yang sedang
gundah-lelah-tak bergairah. Sedangkan kekasih, ah entah di mana dan adakah
namaku masih melintas di pikirannya?
“Harusnya aku yang mengajukan
pertanyaan itu. Sejak kapan dan sampai kapan kamu akan selalu berada di sini?”,
tanyanya sembari jari telunjuk kanannya memilin-milin rambutnya. Ingin sekali
aku mengantikkan jari telunjuknya dengan telunjuk milikku untuk memainkan
rambut gondrongnya itu.
“Apa maksudmu? Sebegitu
nelangsanyakah aku dihadapanmu? Ahahaha. Tega!”
“Karena mata tak cukup cerdas
untuk memantulkan penyangkalan isi hati si empunya. Biar aku tebak. Masalah
lelaki?” Ah kekasih, mengapa lelaki yang baru kedua kalinya ku temui ini begitu
mampu memahami diriku. Di mana perananmu sebagai lelaki gentleman yang selalu kubangga-banggakan
selama ini?
“Haruskah aku menjawab jujur
pertanyaanmu itu? Kita bahkan baru bertemu untuk yang kedua kalinya. You’re a stranger, sir! Mommy
doesn’t allow me to talk to strangers”, godaku.
“How could you get a new
friend if you never talk to strangers, miss?” balasnya. Ah kekasih, kenapa
kau tak pernah semenarik lelaki yang satu ini dihadapanku?
“Ahahaha. Ok! Kamu cerdas.
Apa? Masalah lelaki? Ya, lelakiku! Tak pernah ingkar janji.”
“Tak pernah ingkar janji?
Bukankah itu manis? Lelaki mana yang tak pernah tak ingkar janji kepada wanita
yang dikasihinya? Meski sedalam apapun lelaki mencintai wanitanya, namun atas
nama ‘manusia’nya, tentu ia pernah teledor mengingkari janji. Tunggu dulu? Atau
jangan-jangan lelakimu hanya menjadikanmu tameng?”
“Maksudmu? Aku tak mengerti.”
“Mungkin saja selama ini
lelakimu tak pernah menyukai wanita. Sehingga tak pernah ia ingkari janji pada
wanitanya karena memang ia tak pernah sungguh-sungguh berjanji akan menyukai
lawan jenis?”, tebaknya sok tahu. Ahahahaha! Aku hanya terpingkal-pingkal mendengar
ucapannya.
“ Hei, mengapa tertawa? Aku
tidak sedang bercanda. Ahahaha!” Ya Tuhan! Getaran cinta mana yang mampu aku
dustakan dari mahluk indah di hadapanku ini? Ah, jika aku adalah Nabi Adam,
maka lelaki ini pastilah buah terlarang. Aku rela mencicipinya meski itu
berarti aku harus mendustakan kesetianku pada-Mu dan pada kekasih!
“Aku tak pernah mengerti ada
apa dengan lelakiku.”, ucapku perlahan.
“Ceritakanlah. Aku akan diam
dan mendegarkannya.”
“Ah… aku baru sekali bertemu
denganmu. Ini adalah kali kedua. Entah mengapa aku harus mempercayaimu.” Kali
ini aku sepenuh hati menyampaikannya.
“Karena aku akan memapahmu
jika kelak engkau terjatuh.”, ujar Rico serius.
“Maksudmu? Sehabis aku
menjelaskan kisahku, lalu aku akan terjatuh, begitu?”
“Ahahaha. Mengapa jadi
perempuan terlalu naïf? Pantas saja lelakimu mengecewakanmu. Ah…bukan itu
maksudku. Namun percayalah, suatu saat kamu akan memahami maksudku. Nah
sekarang, kisahkanlah kisahmu!”
Aku tak pernah memahami sihir
apa yang Rico gunakan untuk memancingku menjelaskan setiap hal yang terjadi
antara aku dan Richie kepadanya. Utuh. Aku mulai dari awal pertemuanku dengan Richie,
proses bagaimana kami saling berkenalan, berteman hingga akhirnya memutuskan
untuk menjalin suatu hubungan.
“Co, aku tak pernah
benar-benar mengerti dengan jalan pikiran kekasihku. Mengapa kode milik lelaki
itu sungguh sulit dipahami? Ah. Ada yang berbeda dengan sikapnya belakangan
ini. Atau sejak awal. Ah entah, co! Aku pun…”
“Seorang Bening Karilla pun tak
benar memahami perasaannya pada kekasihnya yang sejak awal tak ia sebutkan nama
asli lelakinya itu. Begitu bukan? Ahahaha. Well… Aku juga tidak perduli siapa
nama asli lelakimu!” Ya Tuhan, lagi-lagi lelaki ini menyunggingkan senyuman
bulat sabit di bibir merah-indah-merekahnya. Pasti Engkau sedang sangat
berbahagia ya Bapa kala menciptakan mahluk dihadapanku ini!
“Aku tak pernah benar-benar
memahami apa yang lelakiku inginkan. Apa yang terjadi dengannya. Apa yang ia
kehendaki. Ia milikku, aku tahu itu. Tapi ada bagian yang hilang dalam hubungan
kami ini. Entah apa itu. Semuanya indah. Hanya saja…”
“Kau tak pernah benar-benar
tahu apakah hatinya benar-benar untukmu. Begitu kan maksudmu?”
“Bagaimana bisa kau tahu?”
“Karena aku pun mengalami hal
yang sama.”, ucapnya lesu.
“Benarkah? Ya Tuhan! Mengapa
kisah kita bisa serupa begini. Ayo sekarang giliranmu menceritakan kisahmu
itu!”, tuntutku.
“Ahahaha. Sudah naïf, galak
pula. Pantas saja lelakimu bersikap seperti itu. Baiklah. Jadi begini... Sudah satu tahun aku
menjalin hubungan asmara dengan seorang mahasiswi Atma Jaya…”
“….Hah? Mahasiswi Atma Jaya? Ya Tuhan! Siapa dia? Satu kampus dong denganku! Pun dengan kekasih!”, segera aku potong ucapannya sebelum sempat ia melanjutkan kalimatnya.
“Bening Karilla! Kamu ini!
Sudah naïf, galak, tidak sopan pula main memotong pembicaraan lawan bicaramu.
Pantas saja lelakimu itu…”
“Yayaya! Cukup! Kumohon lanjutkan kisahmu!”, tak ingin aku dengar kelanjutan ceramahnya.
“Aku pun akan memanggilnya
dengan sebutan kekasih. Seperti yang kamu lakukan, menyamarkan nama asli. Nah,
jadi begini ceritanya. Kekasihku sangat amat menarik. Ia baik, cantik dan
sopan. Sikap malu-malunya yang sangat membikin gemas. Ia tak terlalu banyak
berbicara. Namun sekalinya berbicara, Tuan Shakespare pun akan segera
menggantikan nama tokoh karangannya Juliet dengan nama kekasihku. Mengapa?
Karena kekasihku sungguh amat hampir mendekati sempurna.”
“Lalu dimana letak permasalahannya?”, tanyaku jengah
atas pujian berlebihannya atas kekasihnya itu.
“Belajarlah bersabar nona
kecil.”, ia malah kembali memainkan rambutnya. Tak melanjutka ucapannya.
“Hei! Bagaimana kelanjutannya? Kekasihmu itu hampir sempurna, lalu apa?”
“Hampir sempurna bukan berarti
sempurna. Disitulah letak permasalahannya. Ia tak sesempurna yang aku kira. Aku
mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dengannya. Semacam ada kepalsuan
padanya.”, ujar Rico dengan mimik super serius. Ada kedukaan yang terpahat
secara terselubung dari kalimatnya itu.
“Plastic surgery?”,
tanyaku hati-hati.
“Bahahahahhaha! Ya Tuhan
mengapa Engkau pertemukanku dengan mahluk satu ini? Bening…Bening! Namamu
memang mencerminkan jati dirimu ya, terutama cara berpikirmu. Terlalu bening!
Bahahaha!”
Aku tersinggung dengan
ucapannya kali itu. Itu bukan pujian. Aku tahu. Itu semacam penghinaan secara
halus. Aku diam saja. Ceritanya sedang memasang aksi ngambek. Andalan setiap perempuan
untuk meluluhkan lelaki!
“Ahahahaha! Maaf Bening.
Yaaah...jangan marah lah. Kamu ini lucu sekali. Bodohnya kekasihmu itu
meninggalkanmu.”
“Aku masih punya status taken and in a relationship dengan kekasihku ya!”,
marahku.
“Iya iya maaf. Ok. Lebih baik
aku lanjutkan kisahku. Bukan. Bukan tubuhnya yang palsu, anak manis. Tetapi…
kecintaanya padaku.”
“Maksudmu?”, entah luluh atau
atas desakan rasa penasaran, aku sungguh ingin menyelami lebih dalam kisah
cinta mahluk indah dihadapanku ini.
“Tak sadar kah kamu bahwa aku
yang bukan mahasiswa kampusmu itu rajin berkeliaran di daerah sekitar sini?”
“Ah banyak orang yang sepertimu. Lagian hal seperti itu kan lazim
dilakukan. Bukan perkara besar.”
“Aku ke sini untuk
memata-matai kekasihku!”, pertegasnya.
“Benarkah?”, aku tak menyangka
sejauh itu hal yang mampu seorang lelaki lakukan demi wanita yang dikasihinya.
“Bukan karena aku tak percaya
lagi padanya. Hanya saja, instingku yang menuntunku untuk melakukan aksi konyol
ini.”
“Lalu bagaimana hasilnya?”
tanyaku penasaran.
Posisi dudukku yang memang
berhadapan dengan Rico dan menghalangi pintu masuk membuatku tak menyadari
berapa manusia yang lalu lalang ke kedai kopi ini. Hanya saja bibir Rico yang
tiba-tiba menganga, pupil matanya yang tiba-tiba membesar dan suara tercekat
yang dihasilkan tenggorokannya membuatku memutar tubuh dan mengikuti arah padangannya.
Oh! Hanya kekasih dan
sahabatku, Mayla. Tak ada yang spesial disana. Ah mungkin Rico hanya
terpengarah saja melihat wajah bulat polos milik sahabatku itu. Meski begitu
ada sedikit kecemburuan menjalari nadiku kala menyaksikan Rico begitu terkagum-kagum
memandangi Mayla.
“Ini yang aku takutkan!”, ucap
Rico kemudian setelah kesadarannya mulai pulih.
“Apa?”, tanyaku polos karena
memang benar-benar tak memahami maksudnya.
“ Ya Tuhan mengapa mahluk di
hadapanku ini begitu cantik tetapi memiliki keterbatasan dalam berpikir jernih?
Tidakkah kamu sadari, itu Mayla kekasihku, sedang bersama dengan kekasihmu,
kan?”, tanya Rico dengan nada suara sedikit meninggi.
“Iya, memangnya kenapa?”
“Palsu. Mayla memacariku namun
sesungguhnya ia lebih tertarik dengan Richie, kemabaranku. Ia tak mau menyakitimu
sahabatnya yang lebih dahulu memadu kasih dengan Richie.”
“Ya Tuhan!”, ku gunakkan kedua
tanganku untuk menutupi mulutku.
“Aku sudah tahu sejak awal
kamu adalah kekasih Richie. Aku pernah melihat wajahmu kala kau sedang melalukan
kontak Skype dengan saudara kembarku itu. Ingat kan siapa diantara kita berdua
yang lebih dahulu memadu kasih dengan pasangannya?”
“Richie pun berusaha menjaga
perasaanku hanya karena wanita yang kini menghiasi hatinya adalah sahabatku,
begitukah maksudmu?”. Rico tidak menjawab. Ia hanya menaikkan kedua pundaknya,
menuntut agar aku mencerna sendiri pernyataanku itu.
Ah ya… kekasih. Aku akhirnya
menyadari semuanya. Kamu tak pernah benar-benar berjanji akan setia berada
disisiku dan naifnya aku tak pernah menuntut hal itu daripadamu.
“Tataplah cangkir
dihadapanmu!”, ujar Rico menganggu lamunanku.
“Ada apa?”
“Secangkir kopi hitam. Manis,
meski pahit. Itulah kenyataan kisah cinta kita berdua. Tak seburuk yang tampak,
tak semanis yang diduga.”
“Secangkir dusta apakah itu
masih ada gulanya?”, ucapku beranalogi.
“Setidaknya takdir
mempertemukan dua insan yang sedang dikhianati oleh kekasihnya. Ah, Bening,
pernahkah kamu mendengar adanya suatu hubungan yang didasari perasaan senasib
sepenanggungan?”, goda Rico. Aku hanya mengakak terpingkal-pingkal
mendengarnya. Ah! Wahai kekasih dan kamu sahabatku terkasih, terima kasih atas
pengkhianatan pahit ini. Ah tuan takdir, inikah kekasih manis yang kau sediakan
untuk kucicipi kini dan kelak? Secangkir dusta pembawa cinta! Ahahaha!
“Hei Bening! Malah Bengong!
Jawablah! Ahahaha!”, canda Rico Rumengan.
Waaah ada nama gue hahaha
BalasHapus