Jakarta adalah kota metropolitan yang katanya tak pernah tidur. Bukankah
cinta juga tak mengenal istirahat? Menurutku rasa cinta itu seperti Jakarta,
tak pernah lelap dan selalu terjaga. Aku hidup, lahir dan tinggal di Jakarta.
Semua orang yang menetap di ‘daerah’, ingin sekali menginjakkan kakinya ke
Jakarta. Mungkin sama dengan orang Jakarta yang ngebet pingin
merasakan ke luar negeri. Namun untuk saat ini, aku belum kepikiran untuk
keluar dari Jakarta, karena di sini, di tempat ini, aku punya puzzle rasa
yang harus aku pecahkan. Ah Jakarta!
Setu Babakan, 2 Januari 2013
“Sayang, sini aku suapin. Aaak! Ayo dibuka mulutnya..!”, goda Figo
kekasihku yang telah aku pacari satu tahun belakangan ini. Ia adalah seniorku
di kampus. Jarak usia kami 2 tahun.
“Figo! Aku udah 19 tahun loh yah! Kuliah jurusan hukum semester tiga.
Kenapa masih diperlakukan seperti bocah sih?”, jawabku sebal.
“Neisya cantik, kamu itu baby face banget loh yah. Tinggi
badan 149 dengan berat badan 40 kg. Mini. Mihihi… ralat deh! Maksudnya imut.”,
jawabnya sambil menyuapiku Kerak Telor.
“Mbok yo nyadar toh mas’e. Malu sama rambut gimbal sepunggungmu itu.
Muka sangar, gaya gahar, ngomongnya moso klemar-klemer gitu?
Ahahahaa. Eh eh… I love you so”. bisikku lembut di telinga
kanannya.
“Nah kan gantian kamunya yang munyu-munyu. Ahahaha. I love you more.”, jawabnya lantang sembari mengecup keningku.
“Eh itu
ondel-ondelnye udeh nongol. Mpok Lela begimane? Udah cakep
pan? Permasalahannye pan nih kawinan doi nyang punya
hajatan.”, peringatku sembari memperbaiki posisi kebaya Betawi modern warna orange.
Hari ini kakak perempuannya akan dinikahi oleh seorang pemuda Betawi juga, dan
aku yang telah dianggap jadi ‘bagian dari keluarga’ pun ikut menjadi seksi
sibuk di hajatan ini.
“Salah sayang! Nyang punya hajatan entu si
babeh! Mpok Lela mah enak tinggal nungguin roti buayanye aje.”
Ahahaha ya Tuhan, pacarku ini kalau berbicara nyablak sekali,
tapi justru di situ letak daya tariknya.
Selanjutnya bunyi petasan yang baru saja dibakar memekakkan telinga semua
hadirin yang ada disitu. Tanpa ada yang tahu, Figo sempat mencium pipiku secara
mendadak dan dengan sempurna membuat pipiku bersemu merah dengan mata
membelalak dan mulut menganga.
Di kota ini aku belajar merangkak, berbicara, mencinta bahkan mencicipi
pahitnya hidup ditemani asinnya air mata yang tanpa sengaja meluncur ke mulut.
Orang bilang, Jakarta lebih kejam dari ibu tiri. Masalahnya aku tak punya ibu
tiri (dan ya Tuhan jangan sampai aku memilikinya) sehingga aku tak pernah bisa
menyetujui ataupun menyangsikan pernyataan tersebut. Tapi setidaknya, cinta
seseram ondel-ondel hingga secentil banci Taman Lawang dapat aku jumpai di kota
ini.
Kemang, 5 Januari 2013
“Neisya! Ikut aku
hunting foto yuk. Di Kota Tua. Sekalian masang tato-tatoan. Atau kamu maunya
apa? Ke Fatahilah?” ajak Ferza.
“Kapan kapan?
Ayuk. Aaaa…mau mau! Tapi naik apa?”, jawabku centil.
“Kamu maunya
apa?”, Ferza ini…selalu dan selalu saja memprioritaskan kehendakku.
“Loh kok nanya
balik? Hmmm… Bus Trans Jakarta aja kali ya, za. Adem. Bebas macet.”
“Eh kok kendaraan
umum. Ahahaha. Maksudku bukan itu. Aku tuh maunya kamu aja yang nentuin, aku
ngendarain motor atau mobil. Gitu.”
“Lah tapi kan kamu
yang ngajak. Kok malah terserah aku?”
“Karina Neisya
Wijaya, kamu kenal aku udah berapa lama deh? Bukannya dari dulu
memang selalu terserah kamu ya?”, senyumnya tulus, sorot matanya halus.
“Ya tapi kan itu
dulu. Waktu kita masih….”
“Pacaran? Iya
Neisya, aku inget kok. Statusku ini mantanmu. Gitu kan? Tapi emang haram ya
jalan sama mantannya?”
“Ahahaha… Yuk
sekarang aja. Aku yang nentuin. Pakai motormu. Ada helm cadangan kan? Aku
kangen denger deru knalpot kamu.”
“Kangen motornya
apa pemiliknya? Kangen deru motornya atau meluk yang empunya?”, goda Ferza
dengan centilnya. Ia langsung mengaduh ketika spontan ku cubit perutnya.
“Daripada cubit
perut, mending cium pipi.” Ferrrrzaaaa~! Aku pernah memadu kasih dengan Ferza
di saat kami masih duduk di bangku SMA.Tiap bel berdering ia pasti langsung stand
by di pintu kelas menungguku, ke kantin bareng, pulang-pergi sekolah
selalu satu kendaraan sehingga tak heran kalau macetnya Jakarta menjadi alasan
wajib bagi kami berdua ketika terlambat tiba di sekolah. Aku pernah begitu
mabuk akan cinta pada Ferza.
Pada
akhirnya kami pergi ke Kota Tua. Salah satu daya tarik dari kotaku. Banyak
peninggalan zaman Belanda yang masih tertera disana, hanya saja, karena kurang
penanganan maka banyak gedung-gedung bersejarah yang hanya menjadi onggokan
barang usang tak terawat, namun kadang itu yang jadi daya tariknya.
“Mau tato naga,
kupu-kupu atau nama aja ya, sya?” tanyaku minta pendapat.
“Kenapa gak nama
aku aja?”
“Sinting! Ya gak
lucu lah. Kita kan…” jawabanku menggantung. Ferza, kita kan sudah mantanan dan
aku statusnya in a relationship with Figo.
“Neisya! Apa aku
harus nembak kamu lagi di depan tukang tato untuk ngajak balikan?”
“Enggak! Norak!
Makasih! Hmmm… Aku maunya kamu masang tato sekarang, nama aku, terus kita
hunting foto sampai sore dan selanjutnya nyatakanlah perasaan kamu di Bunderan
HI! Jam 12 malam. Kalo aku terima, nyebur ke kolam. Gimana? Bernyali gak?”,
tantangku centil.
“Ok! Siapa takut!”
, jawab Ferza lantang.
“Ya sudah! Buruan
buktikan!”, tantangku kemudian. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk
mengenal karakter seseorang, apalagi kami pernah saling memiliki.
Huwaaa…
siapa yang menyangka kalau hari ini menjadi hari terbaik yang bisa aku habiskan
bersama Ferza. Ia tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk mengecup
keningku. Aku selalu menjadi objek favorit bidikan SLRnya dan namaku
benar-benar terukir di kulit atas nadi kanannya. Ya Tuhan… kenapa dulu kami
harus berpisah jika keadaan seindah ini?
“Nggg…za! Aku
boleh tanya gak?”, kataku takut-takut.
“Bukannya itu
pertanyaan favoritmu ya sebelum menembakkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya?”
“Ehehehe. Aku
serius za. Kenapa deh kamu…nggg…kita…”
“Kenapa aku balik
lagi ke kamu? Kenapa kita dulu harus bubar? Itu kan yang pengen kamu tanyain?”
“Eh…kok tau.
Nggg…iya za. Kenapa?”
“Why did I
wanna be with you again? well I’ve ever been with her, Sinta, for 3 months. But
she doesn’t know me as well as you know me.”
“ Kalo soal kita
bubaran?”
“I’ve fallen in
love with Sasha. And she’s not as kind as you. So… I wanna be with you. Again!”
“Jadi kamu ngajak
balikan karena kamu males sama Sasha, gitu?”
Pertanyaanku belum benar-benar terjawab ketika akhirnya motor Ferza
berhenti pun menepi di dekat Patung Selamat Datang. Aku masih penasaran dengan
pertanyaanku yang belum terjawab, namun Ferza seakan menghindar dan segera
menuju ke Bunderan HI. Tengah malam. 12 teng!
“NEISYA! LISTEN! I AM SORRY FOR ALL OF SORROWS THAT YOU GOT FROM
ME. YES, I AM TOTALLY A BASTARD! BUT… WOULD YOU FORGIVE ME AND ACCEPT ME AS
YOURS… AGAIN?”, teriak Ferza tak tahu malu.
“Za! Udah! Gila. Eh, ditangkep polisi loh. Ish sumpah…malu-maluin banget.”
Jangan ditanya semerah apa pipiku dibuatnya.
“Ahahaha. Aku masih sayang sama kamu, sya. Iya aku bangs*t. Pergi seenak
jidat, kembali sesuka dengkul. Tapi sya, aku pengen kita…. BALIKAN!!!”,
teriaknya lagi makin norak.
“Iya iya. Kita balikan. Iyaaah! Lo punya gue sekarang, hak milik. Sini
dicap dulu.”, teriakku tak kalah noraknya. Ia mendekatiku dan segera ku kecup
keningnya. Norak memang. Bollywood sekali, iya! Kemudian aku bisikkan
telinganya “Omongan laki-laki itu sumpah loh ya.”
“I
will. Ahahahaha!”, tawanya terhenti seketika saat dirinya sudah
mendarat mulus di kolam Bunderan HI. Norak, tapi aku suka. Ya, karena biar
bagaimanapun juga kami pernah saling mencinta, memiliki dan menggila bersama. Well,
dear emak kota (biar kesannya akrab dan Jakarte banget) I have
two boyfriends rite now.
Semanggi, 7 Januari 2013
“Gimana kemarin
hajatannya? Seru amat sih udah dianggep anggota keluarga gitu. Padahal kan baru
bentar ye lo sama si…ehem…senior kita itu! Ahahaha!”, canda Tita sahabatku.
“Iiiih Titot!
Lebay deh. Ya standar. Roti Buaya, Petasan, Ondel-Ondel. Lu tinggal dimana sih
begituan aja pake ditanya segala?”, jawabku sebal.
“Lah lo Bbm
katanya ada hal seru yang mau diceritain ke gue. Kalo bukan itu, apa dong?
Aaaa…babenye Figo minta cucu ye?”, cekikinya kemudian.
“Korban sinetron
deh si ibu. Bukan. Gak usah lebay mikirnya. Gak sejauh itu kok. Udah deh. Figo is
so yesterday.” Ucapku menggebu-gebu.
“:Lah bukannya lo
cinta mati sama dia?”
“Ibarat om Ahmad
Dhani, cinta matinya berseri. Dan ini… Cinta Mati 2.”
“Maksudnya?” alis
Tita terangkat sebelah. Seentengnya aku jawab bahwa aku sudah menerima Ferza
kembali untuk menjadi pacarku.
“Lo putus? Ya
Tuhan. I’m so sorry.” ucapnya dengan muka memelas.
“Titot apaan sih!
Gue masih sama Figo juga kok. Double FF. Figo and
Ferza are mine. Begidu.”
“Sinting. Kalo
ketauan gimana?”, tanya Tita sesudah menutupi mulutnya yang menganga dengan
kedua telapak tangannya.
“Ya gak
gimana-gimana!”, jawabku enteng sambil menjilati Es Krim Monas murahan.
“Lo… gelo! Kalo
mereka tau lo duain, gimana? Kenapa gak milih satu aja sih, sya! Maruk tau gak
itu namanya!”
“Choose one of
them? Gosh, did you know that sun lights to anyone without any exception(s)?
Love doesn’t choose. And I won’t choose anything!”
“Sya, hidup itu
pilihan!”, nasihat Tita sok bijak.
“That is life.
This is love. Love is totally different from life. Should I spell
two of that words to make you understand?”
“Sak karepmu! Yang
jelas, kalo mereka sampai marah, jangan bawa-bawa nama gue. Sya, lo, gue, Ferza
temenan dari SMA. Kak Figo, senior gue yang biar covernya kumuh gitu tapi
aslinya baik banget kepribadiannya.“
Well, ini adalah sepenggal kisahku. Kisah cinta yang belum usai. Tak
benar-benar baru dimulai. Karena waktu telah membentuk kisah yang begitu
panjang dalam kehidupan asmaraku. Setidaknya, ibarat jalanan di Jakarta, aku
punya alternatif. Kalau disuruh memilih, aku tidak mau. Hei, banjir Jakarta aja
gak kenal objek, masa cinta harus sekasar itu diberikan hanya kepada yang
terpilih? Enggak ah! Aye mah cinte ye cinte aje, mo
die demen apa kagak, bodo amat. Pan cinte gak kudu memiliki.
Mereka mo marah dan pergi, ya seterah. Mo menerima keadaan, yuk
mari! Susah amat! Iye gak nyak… nyak? Enyaaaak!
Menuntut ending untuk kisahku ini ibarat
menebak-nebak kapan banjir Jakarta dapat teratasi 100%. Hei, tak selamanya
kisah cinta berjalan mulus atau selalu berakhir tragis, kan? Ini baru prolog.
Memaksakan ending berarti memperkosa masa depan. Ahahaha! Biar
waktu yang menentukan restunya karena aku mencintai keduanya. Titik.
cieeee :D
BalasHapus