CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 07 Januari 2013

Tanah Tabu



Judul Buku : TANAH TABU
Penulis : Anindita Siswanto Thayf
Penerbit : Gramedia, Jakarta, 2009
Pemenang 1 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008 

Ini adalah kutipan-kutipan favorit saya yang saya temukan di dalam buku ini, sebagai berikut : 

“Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” – (cover depan)

“Hidup akhirnya mengajarkan kepadaku hal terindah itu ibarat gundukan daging mentah yang memikat hidung setiap pemangsa lapar. Selalu saja mampu membangkitkan gairah dan nafsu untuk memiliki dan menguasai. Mengambil sedikit demi sedikit demi kepuasaan pribadi. Tidak mau berbagi dengan yang lain. Disimpan untuk diri sendiri.” [Pum] (9)

“Karena hidup itu kejam, Saudaraku, dan kau harus menjadi kejam pula agar bisa bertahan.” [Pum] (9)

“Kenyataan itu akhirnya menyadarkanku untuk tidak lagi terlalu berharap. Apa yang sudah hilang tidak mungkin kembali lagi, meskipun ada yang mengaku telah mencurinya dan berjanji untuk mengembalikannya. Apakah tulang tanpa daging yang telanjang itu bisa berdaging kembali?” – [Pum] (10)

“Dan orang pintar bisa membuat hidupnya menjadi lebih baik. Lebih makmur dan kaya. Asal kau tahu, itulah mimpi tertinggi setiap orang di dunia ini.” – Mabel (17)

“Wah, hebat sekali burung itu (jumlah bulu di sayapnya 17, di ekornya 8 dan di lehernya 45). Dia bisa terbang dengan hanya 17 bulu di kanan dan kiri sayapnya. Tapi lebih hebat lagi orang yang telah menghitung bulu-bulu itu. Siapa dia?” – Yosi (24)

“Kau tidak bisa membuat pagar rusak di ladang menjadi bagus hanya dengan berharap ada seseorang yang akan dating dan memperbaikinya untukmu. Tapi kau harus berusaha memperbaikinya sendiri sebelum sekawanan babi liar menyerbu masuk dan merusak semua isi ladang.” – Mace (33)

“Kau harus terbiasa melihat sesuatu tanpa menggunakan mata, Nak, melainkan panca inderamu yang lain, seperti hidung. Jangan lupa pula gunakan selalu hati dan pikiranmu.” – Mabel (36)

“Apa yang tampak baik dalam pandangan, belum tentu benar seperti itu dalam kenyataan. Apa yang kelihatan tenang, mungkin saja menyimpan riak di dasar yang terdalam. Apa yang bagus di luar, bisa saja busuk isinya.” – Mabel (37-38)

“Ada begitu panjang jalan yang harus ditempuh bersama-sama. Sementara itu, ada sebuah peraturan permainan yang harus dipatuhi pula. Tidak boleh curang. Permainannya harus dimainkan bersama-sama, terus-menerus dan setiap hari, hingga akhir hayat nanti. Tidak ada libur. Selain itu, juga harus berusaha mengatasi setiap masalah yang ada, saling percaya, jujur, saling menghargai dan menghormati. Tidak boleh ada yang merasa harus menang atau dikalahkan. Juga tidak boleh ada yang selalu menjadi nomor satu.” {Tentang Pernikahan} – Mabel (48)

“Menangis hanya membuatku semakin lemah, dan aku tidak mau itu terjadi. Selain itu, aku juga kasihan dengan Tanah Ibu kalau kita terus-menerus menyiramnya dengan mata kita. Air jadi asin. Tanaman tidak bisa tumbuh subur. Binatang di hutan berkurang. Langit pun ikut mendung. Nasib baik tidak akan datang kalau kita menangis terus.” – Mabel (58)

“Aku punya pendapat sebenarnya tidak ada anak-anak yang nakal atau jahat. Mereka begitu karena keadaan. Orang tua  yang kurang perhatian, orang dewasa yang tidak peduli, lingkungan yang tidak bersahabat, atau gabungan dari semua itu.” – [Pum] (60)

“Kukatakan anak-anak itu serupa kapas. Mereka akan menyerap apa pun yang ada di sekelilingnya. Air laut atau air selokan. Putih atau hitam. Baik atau buruk. Aku pun tak heran tatkala mendengar banyak anak perempuan yang bercita-cita menjadi pengantin. Sementara anak laki-laki ingin menjadi yang terhebat. Seorang jagoan. Huh, sungguh pasangan hidup yang rapuh, menurutku. Serupa  manusia dan sandalnya. Gerobak dan rodanya. Raja dan keset kakinya. Yang senang menindas dan yang sukarela ditindas. Suami yang jagoan dan istri yang pengabdi. Hah! Betapa kacaunya dunia jika kebiasaan itu menjadi warisan yang abadi turun-temurun. Para laki-laki yang senang menunjukkan kehebatan dengan sepak terjang pukulan dan makian serta perempuan yang pasrah menerima semua itu.” [Pum] (60-61)

“Ada saatnya seorang pejuang harus mundur. Tapi bukan mundur untuk menyerah, melainkan mempersiapkan penggantinya. Aku menaruh harapan besar padanya. Aku tahu dia mewarisi darahku. Darah pejuang.” – Mabel (62)

“Kuharap ia tidak seperti kebanyakan perempuan di sini. Merasa rumah tempat yang buruk sehingga ingin cepat-cepat pergi dengan cara menerima pinangan. Menikah muda.” – Mabel (63)

“Kalau kau seorang perempuan yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusia seperti dirinya.” – Mabel (66)

“ Begitulah orang yang lemah. Semua yang ada di dirinya bisa dibeli dengan uang. Tidak hanya badan, tapi juga jiwanya.” – Mabel (90)

“Mana ada orang kelahiran tanah ini mau begitu saja merelakan gunungnya jadi milik orang asing? Tidak ada! Tidak diperjualbelikan. Tanah kita keramat, Nak. Tabu. Diciptakan Yang Kuasa khusus untuk kita, tahukah kau kenapa? Sebab Dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya.” – Mabel (90)

“Kubilang kepadamu, itulah mengapa nenek moyang kita sejak dulu hidup sederhana. Apa adanya. Mengambil seperlunya dari alam, dan mengembalikan  sisanya lagi pada alam untuk disimpan sebagai warisan buat anak-cucu. Nak, ada di antara keturunan nenek moyang kita yang justru memberikan warisan kita kepada orang asing. Tidak hanya itu, dia juga malah ikut menjadi seperti mereka.” – Mabel (90-91)

“Banyak orang yang berbicara seperti tatkala mereka kentut. Asal bunyi, sembarangan, dan pastinya bau. Orang-orang semacam itu, kuyakin, isi hatinya tidak keruan pula jenis kotoran dalam hatinya… Bau yang berasal dari setiap kalimat omong kosong, penuh janji, bahkan fitnah yang diucapkan. Bau yang ini lebih menyeramkan daripada yang bisa kau bayangkan karena efeknya merasuk melalui telinga sampai ke hati siapa pun yang mendengarkan. Jadilah sakit hati.” – [Pum] (96)

“Anehnya, orang-orang yang beromongan bau ini makin bertambah banyak dari hari ke hari. Mereka pun semakin pintar meramu bau busuk omongan mereka sehingga tersamarkan. Tak bisa dideteksi meski kau berhati-hati menyimak, memikirkan kebenaran setiap kalimat mereka sebelum menelannya, bahkan meminta ditunjukkan sederet bukti sehubungan dengan itu. tetap saja, kau masih tertipu. Menyakitkan, bukan? Maka jangan heran, selain sakit hati, pertumpahan darah pun bisa terjadi gara-gara ini.” – [Pum] (96-97)

“Ia tampak begitu perkasa sehingga seakan mampu memebelokkan sungai seorang diri.” – [Pum] (98)

“Sedangkan perempuan dianggap sebagai mahluk lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri.” – [Pum] (99-100)

“Ia bisa menjaga sikap sepanjang hari layaknya anak perempuan, tetapi bisa pula tiba-tiba menyerang siapa pun yang menjahatinya dengan beringas.” – [Pum] (100)

“Semua orang tentu saja menginginkan kebaikan. Pun, setiap lak-laki sudah pasti akan merasa terhormat jika bisa memberikan warisan yang membanggakan kepada keturunannya.” – [Pum] (106)

“Ilmu pengetahuan itu dipelajari untuk bekal hidup. Tidak perlu kau pelajari ilmu yang tiada guna karena nantinya justru akan membuatmu menderita. Ya, menderita karena pintar. Karena tahu terlalu banyak. Mereka akan hidup dalam keputusasaan karena otakmereka memaksa tubuh dan tenaga mereka untuk bekerja melebihi kemampuan. Melawan kodrat. Dan ketika mereka tidak mampu menaklukkan keadaan, mereka pun merasa kalah, lantas kecewa, patah semangat, dan pada akhirnya merasa dirinya paling menderita di dunia. Jadi syukurilah keadaanmu sekarang ini. Jangan berpikir yang macam-macam. Jalani saja yang ada di depan mata.” – Nyonya Hermine (123)

“Siapa pun yang sudah tua pasti gemar bernostalgia dengan kata-kata, seraya mencoba mencari kehangatan dalam setiap kenangan tentang kebahagiaan dan kejayaannya pada masa silam.” – [Kwee] (125)

“Ah, air mata. Sejak kejadian pada hari itu, aku baru menyadari batas antara sedih dan rasa bersalah sangat tipis. Setipis rinai air mata yang mencadari pandanganmu selagi kau menangis akrena kedua hal tersebut. Bahkan saking tipisnya, siapa pun yang menangis lebih karena ia merasa bersalah, memilih mengatakan ia meneteskan air mata itu karena sedih.” - [Pum] (156)

“Ketahuilah, Nak. Rasa takut adalah awal dari kebodohan. Dan kebodohan –jangan sekali-kali engkau memandangnya dengan sebelah mata- mampu  membuat siapapun dilupakan kodratnya sebagai manusia.” – Mama Kori (163)

“Pada akhir musim hujan yang panjang, tanah memang selalu lebih becek. Tapi kalau kita mau bekerja lebih keras, pasti akan ada banyak pohon yang bisa ditanam dan dipanen suatu saat nanti. Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Tidak boleh.” – Mabel (164)

“Takdir adalah peta buta kehidupan yang kau tentukan sendiri arah dan beloknya berdasarkan tujuan hidupmu. Takdir akan berakhir buruk jika kau tidak berhati-hati menjaga langkah.” – Mama Kori (170)

“Menunggu sesuatu yang sangat diharapkan ternyata membuat hari seakan berjalan selambat siput tua.” – [Leksi] (179)

“Terkadang, sebuah perang besar diawali suatu kekeliruan kecil… Perang adalah sebuah ego yang sia-sia.” – [Pum] (192)

“Begitulah laki-laki. Kekuatan dan kegagahan selalu membuat mereka merasa sebagai penguasa. Lupa diri sebagai manusia. Tak ingat bahwa sebagian darah yang ditumpahkan demi kelahirannya, dan keringat yang mengucur saat mengurusnya, adalah milik perempuan.” – Mabel (194)

“Janji terus, tapi tidak pernah ditepati. Seperti ludah yang terus bermuncratan dari mulut, dan langsung dilupa kalau itu ludah milik sendiri begitu meninggalkan bibir.” – Mabel (215)

“Aku tidak mau kau jadi perempuan yang pintar, tapi lupa tradisi leluhur.” – Mabel (217)

“Mimpi buruk adalah ketika kau menemukan dirimu berada di tengah kenyataan yang tidak menyediakan tempat untukmu bersembunyi dan melarikan diri dari keburukannya.” – [Kwee] (222)

“Kita harus tetap kuat… Jangan menyerah. Terus berjuang demi anak-cucu kita. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik.” – Mabel (cover belakang)


Keterangan :
- [...] berarti bukan merupakan kalimat langsung
- (...) menunjukkan letak halaman
- Buku ini adalah pengecualian bagi saya yang tidak pernah membahas buku/lagu/film apapun di blog ini.
- Buku bagus-inspiratif ini dipinjamkan oleh Callistasia ! Makasiiiy! :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar