Film adalah wadah
hiburan yang dapat dinikmati oleh siapapun, tua-muda, si kaya hingga yang
hidupnya sederhana. Dan film nasional diharapkan mampu menjadi tuan rumah di
negeri sendiri. Sehingga anggapan ‘Film Indonesia lebih banyak dibicarakan
dibanding ditonton’ patutlah dihilangkan.
Banyak persoalan yang
melatarbelakangi mengapa film-film Indonesia hanya menjadi tamu di negerinya
sendiri. Mulai dari masalah cerita dan tema yang tidak berkembang, cenderung
monoton dan sangat predictable,
kualitas film itu sendiri yang tidak mumpuni cenderung mengecewakan hingga
terbatasnya jumlah bioskop tempat sebuah film disajikan. Maka makin terpuruklah
perfilman Indonesia. Ditambah lagi, gempuran film-film asing yang disokong
dengan dana fantastis yang membuat film Indonesia bahkan tak mampu memenuhi
kriteria untuk menjadi ‘jagoan di kandang sendiri’. Sungguh miris nasib
perfilman bangsa ini.
Dengan segala
keterbatasan yang melatarbelakangi film-film Indonesia tersebut, maka animo
menonton penduduk Indonesia yang jumlahnya 250 juta jiwa ini, ternyata hanya
mampu menarik minat tonton sebanyak 2% saja dari rata-rata jumlah penduduk
Indonesia. Sehingga industri film yang mapan hanya tinggal angan-angan belaka.
Padahal industri film
yang mapan tak hanya bermanfaat bagi penonton film, tapi sedikit banyak juga
akan berkontribusi pada perekonomian Indonesia secara umum.
Masalah perfilman
Indonesia amatlah kompleks. Beberapa di antaranya adalah akibat kurangnya
produksi film yang dapat mempertahankan penonton. Tak hanya itu, produksi film
yang didominasi oleh sedikit pelaku industri, dengan kultur produksi yang tidak
mengedepankan inovasi dan kreativitas storytelling makin mengakibatkan film-film yang diproduksi adalah film-film tanah air
dengan tema dan gaya yang seragam, yang dianggap paling aman untuk menarik
minat penonton.
Ditambah lagi fakta
bahwa layar bioskop masih sangat sedikit dan penyebarannya tidak merata. Banyak
daerah yang bahkan tidak memiliki bioskop. Total layar bioskop di Indonesia per
Januari 2016 adalah 1117 layar. Untuk 250 juta jiwa penduduk. Alias 1 layar
untuk sekitar 224 ribu penduduk. Padahal kota Beijing yang hanya memiliki 22
juta jiwa penduduk, memiliki jumlah layar yang kurang lebih sama dengan jumlah
yang dimiliki tanah air, dari Sabang hingga Merauke. Sungguh miris!
Tak hanya itu, Korea
Selatan yang sukses menyebar Korean Wave-nya
keseluruh pelosok dunia, dengan hanya total penduduk sebesar 50 juta jiwa
penduduk, memiliki 2.480 layar bioskop di negaranya sendiri.
Karena faktor
keterbatasan jumlah bioskop inilah yang membuat film-film di Indonesia saling
berebutan layar, bahkan tak jarang cara curang dilakukan demi mempertahankan pemutaran
filmnya. Hal ini disebabkan karena pemutaran perdana sebuah film amatlah
menentukan kelangsungan pemutaran film
tersebut di hari-hari ke depannya.
Apabila di hari-hari
pertama pemutaran film ternyata disambut dingin oleh penonton, maka tak perlu diragukan
lagi, film tersebut akan tersenggol
oleh deretan film lain yang akan berusaha mempertahankan keberlangsungan
pemutarannya di bioskop-bioskop Indonesia.
Salah satu cara curang
yang digunakan untuk mempertahankan posisi sebuah film dalam penayangannya di
bioskop, yakni adalah perbuatan yang dilakukan oleh oknum produer ‘nakal’ dengan
memborong sendiri tiket film hasil produksinya di penayangan perdana, demi
mempertahankan filmnya tidak ‘diturunkan’
dari bioskop.
Hal tersebut amatlah
tidak sehat karena hanya PH (Production House) dengan finasial yang powerfull saja yang dapat bersaing
dengan cara demikian. Sehingga untuk film indie
(independent), tak perlu ditanyakan
lagi bagaimana nasibnya.
Adalah perihal
Indonesia yang masuk ke dalam Daftar Negatif Investasi yang membuat para
investor asing enggan untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Padahal
dengan dukungan investor asing, maka akan membantu pertumbuhan bioskop-bioskop
Indonesia yang akan menjamur di tanah air ini.
Larangan bagi investor
asing untuk masuk industri film nasional ini merupakan produk orde baru, yang
bertujuan untuk melindungi pelaku industri film nasional di masa itu yang
sangat dekat dengan para penguasa. Namun sayangnya, setelah era reformasi
hingga era demokrasi saat ini pun, larangan tersebut masih tetap berlaku.
Hal ini terutama
dikarenakan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal, yang isinya menegaskan bahwa industri perfilman sangat
membatasi penanaman modal asing.
Sejauh ini beberapa sub
sektor usaha perfilman yang dilindungi pemerintah adalah pembuatan film (sarana
pengambilan gambar, penyuntingan & pemberian teks film), pertunjukan film,
pengedaran film. Sedangkan beberapa sub sektor seperti studio pengambilan
gambar film, laboratorium pengambilan film, sarana pengisian suara film serta
sarana pencetakan dan/atau penggandaan film, kepemilikan modal asing
diperbolehkan dengan maksimal 49%.
Di awal tahun 2016,
para insan kreatif perfilman Indonesia menyambut baik usulan pencabutan
industri film nasional dari Daftar Negatif Investasi. Sambutan hangat datang
dari nama-nama pelaku industri perfilman Indonesia. Baik produser, sutradara
serta jajaran pekerja film lainnya. Nama-nama tersebut antara lain : Nia
Dinata, Hanung Bramantyo, Lala Timothy, Mira Lesmana, Riri Riza.
Bahkan Joko Anwar,
melalui akun Twitter pribadi miliknya @jokoanwar menyatakan
secara gamblang dukungannya atas pencabutan industri film nasional dari Daftar
Negatif Investasi.
‘Jadi, ayolah! Kita pikirkan kepentingan untuk
semua pekerja film. Tidak hanya kepentingan sendiri dan takut bersaing. Ke
depannya, film Indonesia lebih banyak, beragam, berkualitas. Bioskop
dimana-mana ada, lapangan pekerjaan di film bertambah.’, demikian kicau Sutradara
Terbaik FFI 2015.
Reza Rahadian pun menekankan bahwa sebaiknya tak boleh ada
seorangpun di industri perfilman tanah air yang harus gentar dengan dibukanya
investasi asing di negeri ini. Bagi aktor yang telah sukses mengantongi deretan
judul film box office ini, yang harus
ditingkatkan adalah daya saing. Sehingga persaingan secara sehat dapat
dilakukan oleh para insan perfilman Indonesia, dengan dipayungi proteksi hukum
yang memadai dan adil bagi para pihak.
Bahkan dukungan juga
datang secara terang-terangan oleh Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekonomi
Kreatif Indonesia. Dalam salah satu press
conference peluncuran sebuah film, beliau menuturkan dukungannya terhadap
masuknya investasi asing ke negeri Indonesia.
Ayah kandung selebriti
Sherina Munaf ini memastikan akan membuka kesempatan untuk investasi asing.
“Kita sepakat semua bidang di perfilman di jasa teknik, produksi, distribusi
dan eksibisi bioskop dibuka 100% untuk siapa saja. Yang terpenting, film
Indonesia harus jadi tuan di negeri sendiri, dan tamu kehormatan di negeri
orang lain. Itu adalah prinsip ekonomi kreatif. ”
Meski begitu, usulan
terbaru yang membuka seratus persen investasi asing untuk industri film
Indonesia ini belum diketahui kapan persisnya akan terlaksana.
-LR-