“Kamu tahu makna cinta mati, sayang?”, tanya Bono
sambil mengelus dagu serta pipiku.
“Hentikan! Kau sinting! Gila!”, histerisku.
“Akankah lelaki yang ada di hadapanmu ini mencintaimu
sampai mati?”, tanyanya gendheng.
Bono termenung sebentar lalu kemudian mengelus parangnya. “Cinta mati itu
bohong! Lihat, maukah lelaki ini mati demi menjaga nyawamu, cintaku?”
“Lo bikin muak tau gak! Menjijikkan. Najis!”
kuludahi wajah Bono saat ini berusaha mendekatkan bibir brengseknya ke ubun-ubunku.
“Dududu… Lanaku sayang. Kenapa meludah? Kamu haus?”,
ujarnya seraya mengelus kedua telapak tanganku yang diikatkannya ke kursi.
Menurut analisaku, sudah tiga hari aku disekapnya di ruang bedebu menyeramkan
ini.
“Lepasin! Najis lo!”, muakku.
Cinta sejati bukanlah cinta yang harus mati. Cinta
sejati adalah cinta yang rela memberi walau hidup dan kenyataan dirasanya
sungguh perih.
“Aku sayang sama kamu, Lena. Apa sih hebatnya Mas
Ranomu ini? Mobil mewah? Bah, kau pikir aku tak bisa bahagiakan kau dengan
harta?”, aku tak menjawab.
“Lihat! Coba saja telanjangi hartanya dan dia tak akan
pernah mampu menaikkan kembali dagunya. Laki-laki yang hanya punya harta? Kembalilah padaku, Lena.” Aku sama sekali tak menjawabnya. Diam seribu bahasa
terkadang lebih menyakitkan daripada jutaan kata-kata yang menyayat. Dan diam
tak selamanya bentuk persetujuan.
“Kita lihat seberapa kuat lelakimu ini Lena.”, secepat
hembusan angin parang Bono menghujam jantung Mas Rano.
“Tolooooool! Sintiiiing! Brengsek!”, makiku tak keruan.
“Lo! Bangsat! Apa mau lo? Hah?”, histeria tak mampu kukendalikan. Lelaki yang
telah menyematkan cincin pertunangan di jari manisku harus meregang nyawa di
depan mataku sendiri.
“Aku cinta sama kamu, na. Aku cinta. Reno ini curut
murahan. Bukan tandinganku. Banggalah kau bersamaku!”
“Bangsaaaaaattt!” Aku terkesiap. Kurasakan kulit
pipiku robek. Baru saja Bono sabetkan ujung parangnya di pipiku. Bau darah
segar menjalari hidungku.
“Ya ampun! Bono! Bono gak sengaja, na. Maaf.”, muka
beringas culasnya mendadak bagai Helo Kitty manja tanpa dosa.
“Lo beneran gila, no! Psycho! Sinting!!! Brengsek!
Mantan bangsat. Bajingan!”, isakku histeris.
“Pssst… Diam sayang. Ini karena Bono sayang Lena. Lena
mau kan balikan sama Bono?”, ujarnya manis. Rasa bersalah sama sekali malu
menghampiri ekspresi wajahnya.
“Cintanya Bono Cuma mentok di kamu, na. Balikan yah.
Yah. Nang-ning. Ning-nang-ning-nung.”, senandung Bono bagai sinden. Aku hanya
pasrah. Bono pun semakin beringas menempelkan bibirnya pada pipiku. Persis seperti
bocah yang baru saja mendapatkan permen kesukaannya.
“Lepaskan aku, no!”
“Tapi janji dulu kita balikan!”
“Iya.” , pasrahku. Sebuah lilitan menyakitkan baru saja
terasa melonggar di pipiku kala kurasakan sakit amat luar biasa di dada.
“Dada yang bagus. Ini punya Bono. Bono mau ukir nama
Bono disini ya.”. Makin perih kurasakan ketika tangan Bono mulai menembus
kulitku, meraba setiap organ tubuhku. Aku kedinginan. Ku dengar suara sirine
mendekat. Terlambat.
“Bono, terima kasih.”
“Iya sayang. Bono juga mau berterima kasih. Sekarang
kamu jadi milik Bono. Cinta Bono mentok di Lana. Cinta Lana juga bakal Cuma mentok
di Bono. Itu ikrar Bono! Dan sekarang, Lana cuma punya Bono yang tersisa untuk
dicintai kan? Disini udah gak ada siapa-siapa yang bisa Lana cintai. Iya kan?
Mentok sayang. Buntu.” Sesudahnya Bono mengecup keningku dan semua terasa
gelap.
Mas Reno, buntukah jalan di depan sana? Tunggu aku, mas. Aku ikut denganmu. Meski buntu perjalanan yang kita lalui, akan tetap kutempuh asal itu kujalani denganmu, mas.
NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS
Mas Reno, buntukah jalan di depan sana? Tunggu aku, mas. Aku ikut denganmu. Meski buntu perjalanan yang kita lalui, akan tetap kutempuh asal itu kujalani denganmu, mas.
NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar