Kala itu, matahari tampak takut-takut
menunjukkan wajahnya. Awan hitam mengikuti irama angin, berjalan lambat menuju
satu titik yang tak pernah ada yang tahu ujungnya. Langit diliputi kelabu pun
mahluk-mahluk penghuni bumi terburu-buru mencari tempat berteduh. Mereka dengan
keagungannya bahkan bisa sebegitu takut dengan bulir-bulir hujan.
Hanya ada sesosok manusia yang tak terpengaruh
akan hal itu. Perempuan tanpa nama. Tak pernah ada yang tahu sejak kapan
keberadaannya di bangku taman itu. Tak pernah ada yang peduli dengan perihal
yang membuatnya sulit menyunggingkan sebuah senyum indah walau hanya sedetik.
Perempuan cantik tanpa nama yang mungkin saja gila karena tak pernah bersuara.
Apa yang para manusia itu takuti pun akhirnya
terbukti. Dewa Langit menjatuhkan air
matanya, entah Beliau sedang berduka karena apa. Bagi perempuan tanpa
nama itu, tak pernah ada yang lebih rapuh dari padanya. Ia tahu, bahkan satu
titik air hujan yang menjatuhi ubun-ubunnya, mampu memporakporandakan serakan
hatinya yang telah berupa puing-puing.
“Hai! Bolehkah aku duduk sini?”, sapa sebuah
suara. Perempuan tanpa nama tak menggubrisnya sedikitpun.
“Namaku Gregorius, cukup kau panggil Gregy.” Riang,
kesan pertama yang tergambar dari sosok berjakun ini.
Perempuan tanpa nama pecinta hening. Ia hanya
bungkam.
“Ada apa denganmu? Kenapa hujan-hujanan seperti
ini? Kau bisa sakit.”
“Bukan urusanmu! Diam dan menjauh dari saya!”,
ketus perempuan tanpa nama. Untuk pertama kalinya ia gunakan kembali pita
suaranya yang sempat lama berhibernasi.
Alih-alih menjauh, lelaki itu justru
mengulurkan payung hitamnya.
“Kemari. Mendekatlah. Tetesan hujan ini akan
membuatmu sakit. Siapa namamu? Adakah sesuatu yang mengganjal hatimu? Mungkin
aku bisa membantu?”, sapa Gregy sangat
lembut.
Teng. Teng. Dentang jam gereja dekat taman
mulai berdenting.
“Itu! Gerejamu! Pergilah! Aku tak membutuhkan
bantuanmu, gerejamu atau bahkan Tuhan tololmu itu!”, maki perempuan tanpa nama.
“Ya Tuhan! … Semoga Allah Bapa mengampunimu.
Ada apa denganmu? Mengapa kau berkata seperti itu? Tuhan Maha Pengampun pun
Penolong. Datanglah pada-Nya. Ia akan membantumu. Aku pun dengan penyertaan-Nya
akan membantumu!”
Tiba-tiba perempuan tanpa nama itu malah
tertawa. Tawa yang mengerikan, semacam kumpulan kebahagiaan kekal milik
Lucifer.
“Kau tolol! Aku berani bertaruh demi namaku
sendiri bahkan engkau dan Tuhanmu itu tidak akan mampu melakukan apapun
untukku. Idiot!”, seulas senyum beringas samar tersungging di bibir perempuan
tanpa nama.
“Apa yang kau bicarakan? Tuhan itu Raja segala
Raja. Mari. Ikut aku. Kita menghadap pada-Nya. Aku yakin sekali dia mampu
menolongmu?”, ucap Gregy sembari menggenggam ujung salib Rosario yang
dikalungkannya.
“Menolong katamu? Bodoh! Ia tak mungkin mampu!”
“Apa masalahmu? Ia pasti akan menolongmu.
Percaya padaku. Aku pun akan membantumu.”
“Hei frater, kau frater kan? Nikahi aku! Ayo!
Aku bilang, nikahi aku! Itu adalah pertolongan untukku. Mampukah kau atau
Tuhanmu entah siapa itu mampu menikahiku? Aahahaha!”, tawanya makin melengking
nyaring.
Frater Gregy membisu. Ia tidak tahu harus
menjawab apa pernyataan yang baru saja didengarnya itu.
“Kau dengar itu? Aku hamil. Entah siapa ayah
dari anak ini. Aku tak ingat mantan pacarku yang keberapa yang menanamkan benih
ini. Kedua orangtuaku malu lalu mengusirku. Aku anak tunggal yang dicoret dari
daftar keluarga karena telah mencorengkan tinta hitam diwajah bapak. Nah,
sekarang, siapa yang akan menikah denganku demi bayi ini? Kau? Atau Tuhanmu
itu? Ahahaha, menikahi Tuhan? Lucu juga. Mungkin namaku akan menjadi termashyur
berabad-abad lamanya. Perempuan tanpa nama yang beristrikan Tuhan! Hmm… Ada
berapa banyak para pengikut Tuhan? Wah… Apa saja yang mampu mereka persembahkan
pada istri Tuhanmu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar