CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 14 Januari 2013

Perempuan Tanpa Nama



Kala itu, matahari tampak takut-takut menunjukkan wajahnya. Awan hitam mengikuti irama angin, berjalan lambat menuju satu titik yang tak pernah ada yang tahu ujungnya. Langit diliputi kelabu pun mahluk-mahluk penghuni bumi terburu-buru mencari tempat berteduh. Mereka dengan keagungannya bahkan bisa sebegitu takut dengan bulir-bulir hujan.

Hanya ada sesosok manusia yang tak terpengaruh akan hal itu. Perempuan tanpa nama. Tak pernah ada yang tahu sejak kapan keberadaannya di bangku taman itu. Tak pernah ada yang peduli dengan perihal yang membuatnya sulit menyunggingkan sebuah senyum indah walau hanya sedetik. Perempuan cantik tanpa nama yang mungkin saja gila karena tak pernah bersuara.

Apa yang para manusia itu takuti pun akhirnya terbukti. Dewa Langit menjatuhkan air  matanya, entah Beliau sedang berduka karena apa. Bagi perempuan tanpa nama itu, tak pernah ada yang lebih rapuh dari padanya. Ia tahu, bahkan satu titik air hujan yang menjatuhi ubun-ubunnya, mampu memporakporandakan serakan hatinya yang telah berupa puing-puing.

“Hai! Bolehkah aku duduk sini?”, sapa sebuah suara. Perempuan tanpa nama tak menggubrisnya sedikitpun.

“Namaku Gregorius, cukup kau panggil Gregy.” Riang, kesan pertama yang tergambar dari sosok berjakun ini.

Perempuan tanpa nama pecinta hening. Ia hanya bungkam.

“Ada apa denganmu? Kenapa hujan-hujanan seperti ini? Kau bisa sakit.”

“Bukan urusanmu! Diam dan menjauh dari saya!”, ketus perempuan tanpa nama. Untuk pertama kalinya ia gunakan kembali pita suaranya yang sempat lama berhibernasi.

Alih-alih menjauh, lelaki itu justru mengulurkan payung hitamnya.

“Kemari. Mendekatlah. Tetesan hujan ini akan membuatmu sakit. Siapa namamu? Adakah sesuatu yang mengganjal hatimu? Mungkin aku bisa  membantu?”, sapa Gregy sangat lembut.

Teng. Teng. Dentang jam gereja dekat taman mulai berdenting.

“Itu! Gerejamu! Pergilah! Aku tak membutuhkan bantuanmu, gerejamu atau bahkan Tuhan tololmu itu!”, maki perempuan tanpa nama.

“Ya Tuhan! … Semoga Allah Bapa mengampunimu. Ada apa denganmu? Mengapa kau berkata seperti itu? Tuhan Maha Pengampun pun Penolong. Datanglah pada-Nya. Ia akan membantumu. Aku pun dengan penyertaan-Nya akan membantumu!”

Tiba-tiba perempuan tanpa nama itu malah tertawa. Tawa yang mengerikan, semacam kumpulan kebahagiaan kekal milik Lucifer.

“Kau tolol! Aku berani bertaruh demi namaku sendiri bahkan engkau dan Tuhanmu itu tidak akan mampu melakukan apapun untukku. Idiot!”, seulas senyum beringas samar tersungging di bibir perempuan tanpa nama.

“Apa yang kau bicarakan? Tuhan itu Raja segala Raja. Mari. Ikut aku. Kita menghadap pada-Nya. Aku yakin sekali dia mampu menolongmu?”, ucap Gregy sembari menggenggam ujung salib Rosario yang dikalungkannya.

“Menolong katamu? Bodoh! Ia tak mungkin mampu!”

“Apa masalahmu? Ia pasti akan menolongmu. Percaya padaku. Aku pun akan membantumu.”

“Hei frater, kau frater kan? Nikahi aku! Ayo! Aku bilang, nikahi aku! Itu adalah pertolongan untukku. Mampukah kau atau Tuhanmu entah siapa itu mampu menikahiku? Aahahaha!”, tawanya makin melengking nyaring.

Frater Gregy membisu. Ia tidak tahu harus menjawab apa pernyataan yang baru saja didengarnya itu.

“Kau dengar itu? Aku hamil. Entah siapa ayah dari anak ini. Aku tak ingat mantan pacarku yang keberapa yang menanamkan benih ini. Kedua orangtuaku malu lalu mengusirku. Aku anak tunggal yang dicoret dari daftar keluarga karena telah mencorengkan tinta hitam diwajah bapak. Nah, sekarang, siapa yang akan menikah denganku demi bayi ini? Kau? Atau Tuhanmu itu? Ahahaha, menikahi Tuhan? Lucu juga. Mungkin namaku akan menjadi termashyur berabad-abad lamanya. Perempuan tanpa nama yang beristrikan Tuhan! Hmm… Ada berapa banyak para pengikut Tuhan? Wah… Apa saja yang mampu mereka persembahkan pada istri Tuhanmu?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar