Aku selalu membenci setiap kalimat buruk yang orang
sematkan pada Ibu. Ibuku bukan wanita jalang. Ia hanya seorang wanita yang
harus menderita karena suaminya yang tak pernah pulang, menghilang karena
wanita jalang yang sesungguhnya.
“Dasar anak lonte!
Gincu noh ditebelin! Eh, lakinya
siapa lagi noh yang dibawa emak lu?”,
teriakan mereka begitu menganggu ketentraman batinku. Mereka tak pernah tahu
bagaimana ibu bekerja untukku, mencari sesuap nasi untuk membantu pencernaanku
tetap bekerja dengan baik.
“Ibu, carilah pekerjaan yang halal. Aku benci
bagaimana mereka memperlakukanmu, bu!”, ucapku suatu subuh kala aku terjaga dan
mendapati ibu hanya duduk merenung. Aku tahu tubuhnya disitu, tapi tidak dengan
pikirannya yang berkelana entah kemana.
“Buuu! Dengarkanlah aku. Aku malu bu.”, ucapku
takut-takut karena ibu tak kunjung menanggapi ucapanku.
“Pekerjaan halal? Ibumu berkeliling menjajakan
gorengan dan kamu bilang ndak halal? Kamu
malu kenapa, nak? Malu karena ibumu yang menjanda sudah cukup lama?”
“Ibu janda? Bukankah Bapak belum mencera… maaf bu. A..
Aku lancang.”, segera kutangkupkan kedua tanganku ke bibir. Tak sepantasnya aku
berkata seperti itu kepada Ibu.
“Kau benar, nak. Ibu bukan janda. Karena memang Ibu
tidak pernah menikah dengan Bapak.”, mimik Ibu sangat tak seperti biasanya. Aku
belum pernah melihat adonan ekspresi seperti itu yang telah melumerkan
kekecewaan, keputusasaan dan kesakitan yang teramat menakutkan.
“Ibu… maaf. Ibu sepertinya perlu istirahat. Ucapanmu ngelantur bu.”
“Juminten, usiamu beranjak remaja. Takdir menuntutmu
dewasa sebelum masamu, nduk. Berhentilah
berpura-pura tak memahami apa yang Ibumu katakan. Duduk dan renungkanlah. Sini nduk.”, ucap Ibu sambil mengulurkan
kedua tangannya dan meletakkan kepalaku di atas kedua pahanya. Tangan kirinya
meraih sisir yang terletak tak jauh dari kasur kapuk kami dan tangan kanannya
tak henti mengusap kepala hingga rambutku.
“Bu… Itu tadi Inten salah dengar kan? Ibu ngelantur kan?”
“Itu sejarah, nak. Tak bisa dihapus. Hanya saja, kau
bisa belajar darinya. Jangan seperti Ibumu ini.”
“Ibu ngomong apa? Bapak kan pergi karena tante heboh
yang dandannya norak banget itu datang dan membawanya ikut serta, bu. Iya kan?
Karena bapak ganjen kan bu, kegatelan!”, ucapku sambil mendongakkan badan.
Tidak mungkin Ibu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Bapak. Lah wong jelas-jelas Bapak pergi dengan suka
rela diseret oleh perempuan gendeng
itu!
“Itu yang selalu Ibu katakan padamu, nak. Ibumu ini
orang ketiga dalam hubungan rumah tangga orang. Kamu tahu kenapa kita hidup
seperti ini? Ini karena salah ibu. Dulu, Tante Mar, suami Bapakmu, ia yang
memperkerjakan Ibumu di rumahnya. Ia sangat kaya raya. Tapi ya…tak mampu
merawat diri, apalagi mengurus suami.”
“Lalu apa hubungannya semua itu dengan Ibu?”
“Hush! Ibu kan sudah ajarkan. Jangan memotong
pembicaraan orang tua. Hubungannya itu… Ibumu yang rantau jauh-jauh dari
Wonosobo ini ndak tahu diri. Ibu
tergoda sama rayuan Bapakmu. Ibu pikir, Bapakmu itu yang kaya raya. Ibu kira,
dengan menjadi ‘simpanan’nya Bapakmu, Ibu bisa keciprat kekayaannya. Tapi ya…”,
senyum centil Ibu samar terlihat kala disebutnya Bapak.
“Ya Gusti Ibu… Jadi. Aku ini anak haram? Ibu! Kenapa
tega sekali.”
“Hush! Kamu gak usah berlebihan gitu, kayak yang
disinetron-sinetron aja. Cukup Tante Mar yang heboh seperti itu, anak Ibu yang
cantik ini ndak perlu ikut-ikutan.”
Anehnya, bisa-bisanya Ibu tersenyum saat menanggapi amukanku.
“Bu! Apa itu berarti Ibu adalah orang ketiga di dalam
keluarga mereka?”
“Ya.”
“Bukankah Bapak tidak punya satu pun anak kandung di
dalam pernikahannya dengan Tante Mar?”
“Ya.”
“Dan bukankah Tante Mar hanya punya satu anak kandung
bernamaRobert dari pernikahannya dengan mantan suaminya itu?”
“I..iya. Tapi kenapa toh nduk?”, desak Ibu kebingungan.
“Bu… pernah dengar istilah ‘kepalang-tanggung’ kan?
Ibarat bermain di lumpur, sampai ke mata kaki, kita sudah kotor. Kenapa ndak sekalian kita ceburkan diri saja ke
kubangan dan menikmati permainan lumpurnya?”, seketika tubuhku yang masih
tertidur di pangkuan Ibu tersentak dan senyuman kemenangan entah dari mana
asalnya merekah manis di bibirku.
“Maksudmu opo
toh? ‘Ra ngertos aku. Duh Gusti.”
“Tante Mar bu! Tante Mar yang jalang. Tante Mar yang
merebut Bapak dari kita. Tante Mar yang… yang masukkin Ibu supaya tinggal di
gubuk ini kan?”
“Lah terus?”
“Dandani aku bu! Aku tahu Ibu pandai memoles bedak
serta gincu dengan anggun. Itu yang bikin sirik ibu-ibu sekitar sini kan,
kecantikan dan kemampuanmu memahami kelebihanmu itu bu. Aku akan merebut apa
yang seharusnya menjadi milik kita, bu! Robert… 21 tahun! Aku bakal punya anak
darinya, bu! Kita bakal berhenti jadi miskin dan menderita. Dan Ibu bakal bisa
tinggal di rumah gedongan itu lagi!”
“Ndhasmu! Edan
kowe! Ndak. Emoh. Emoh Ibu! Ndak!”, tolak Ibu mentah-mentah.
“Percaya bu. Aku pasti berhasil. Robert akan jadi
suamiku dan kita kembalikan kehormatan kita berdua bu. Persetan dibilang
jalang. Kalau kita menang, toh mereka pasti akan nyambangin kita juga kalau butuh uang.”, senyuman nakal tersungging
di bibirku.
“Kalau kita gagal?”, tanya ibu ragu.
“Kita bakal jadi orang ketiga pertama yang pernah
berusaha dan berjuang sekeras ini untuk mengembalikan nama baiknya di tengah
masyarakat bu. Tuhan juga ndak tidur,
bu. Dia kasihan pasti liat kita susah melulu. Lagian tante Mar kan rumahnya
ndak cuma satu. Warisannya Robert juga berjubel kan? Robert itu bukanya terlalu
lugu ya, bu? Serahin sama Juminten bu. Eh, tunggu, mulai sekarang namaku bukan
Juminten lagi. Panggil aku Intan.” Kulihat kedua rahang ibu menganga tak
keruan. Ahahaha. Lihat saja bu, kita akan berhasil!
NB : #13HariNgelogFF @momo_DM @WangiMS
Gambar > Pelukis : Mas Ryan Toro
Gemeess mbacanya... hehe bagus banget ceritanya ngaliiir gitu aja...
BalasHapusHeeeiii... Udah setahunan usia postingan ini dan aku baru ngeh ada komentar ini. Hehehe. Terima kasih banyak ya. Saya tersanjung. :D
BalasHapus