CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 17 Januari 2013

Orang Ketiga Pertama



Aku selalu membenci setiap kalimat buruk yang orang sematkan pada Ibu. Ibuku bukan wanita jalang. Ia hanya seorang wanita yang harus menderita karena suaminya yang tak pernah pulang, menghilang karena wanita jalang yang sesungguhnya.

“Dasar anak lonte! Gincu noh ditebelin! Eh, lakinya siapa lagi noh yang dibawa emak lu?”, teriakan mereka begitu menganggu ketentraman batinku. Mereka tak pernah tahu bagaimana ibu bekerja untukku, mencari sesuap nasi untuk membantu pencernaanku tetap bekerja dengan baik.

“Ibu, carilah pekerjaan yang halal. Aku benci bagaimana mereka memperlakukanmu, bu!”, ucapku suatu subuh kala aku terjaga dan mendapati ibu hanya duduk merenung. Aku tahu tubuhnya disitu, tapi tidak dengan pikirannya yang berkelana entah kemana.

“Buuu! Dengarkanlah aku. Aku malu bu.”, ucapku takut-takut karena ibu tak kunjung menanggapi ucapanku.

“Pekerjaan halal? Ibumu berkeliling menjajakan gorengan dan kamu bilang ndak halal? Kamu malu kenapa, nak? Malu karena ibumu yang menjanda sudah cukup lama?”

“Ibu janda? Bukankah Bapak belum mencera… maaf bu. A.. Aku lancang.”, segera kutangkupkan kedua tanganku ke bibir. Tak sepantasnya aku berkata seperti itu kepada Ibu.

“Kau benar, nak. Ibu bukan janda. Karena memang Ibu tidak pernah menikah dengan Bapak.”, mimik Ibu sangat tak seperti biasanya. Aku belum pernah melihat adonan ekspresi seperti itu yang telah melumerkan kekecewaan, keputusasaan dan kesakitan yang teramat menakutkan.

“Ibu… maaf. Ibu sepertinya perlu istirahat. Ucapanmu ngelantur bu.”

“Juminten, usiamu beranjak remaja. Takdir menuntutmu dewasa sebelum masamu, nduk. Berhentilah berpura-pura tak memahami apa yang Ibumu katakan. Duduk dan renungkanlah. Sini nduk.”, ucap Ibu sambil mengulurkan kedua tangannya dan meletakkan kepalaku di atas kedua pahanya. Tangan kirinya meraih sisir yang terletak tak jauh dari kasur kapuk kami dan tangan kanannya tak henti mengusap kepala hingga rambutku.

“Bu… Itu tadi Inten salah dengar kan? Ibu ngelantur kan?”

“Itu sejarah, nak. Tak bisa dihapus. Hanya saja, kau bisa belajar darinya. Jangan seperti Ibumu ini.”

“Ibu ngomong apa? Bapak kan pergi karena tante heboh yang dandannya norak banget itu datang dan membawanya ikut serta, bu. Iya kan? Karena bapak ganjen kan bu, kegatelan!”, ucapku sambil mendongakkan badan. Tidak mungkin Ibu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Bapak. Lah wong jelas-jelas Bapak pergi dengan suka rela diseret oleh perempuan gendeng itu!

“Itu yang selalu Ibu katakan padamu, nak. Ibumu ini orang ketiga dalam hubungan rumah tangga orang. Kamu tahu kenapa kita hidup seperti ini? Ini karena salah ibu. Dulu, Tante Mar, suami Bapakmu, ia yang memperkerjakan Ibumu di rumahnya. Ia sangat kaya raya. Tapi ya…tak mampu merawat diri, apalagi mengurus suami.”

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan Ibu?”

“Hush! Ibu kan sudah ajarkan. Jangan memotong pembicaraan orang tua. Hubungannya itu… Ibumu yang rantau jauh-jauh dari Wonosobo ini ndak tahu diri. Ibu tergoda sama rayuan Bapakmu. Ibu pikir, Bapakmu itu yang kaya raya. Ibu kira, dengan menjadi ‘simpanan’nya Bapakmu, Ibu bisa keciprat kekayaannya. Tapi ya…”, senyum centil Ibu samar terlihat kala disebutnya Bapak.

“Ya Gusti Ibu… Jadi. Aku ini anak haram? Ibu! Kenapa tega sekali.”

“Hush! Kamu gak usah berlebihan gitu, kayak yang disinetron-sinetron aja. Cukup Tante Mar yang heboh seperti itu, anak Ibu yang cantik ini ndak perlu ikut-ikutan.” Anehnya, bisa-bisanya Ibu tersenyum saat menanggapi amukanku.

“Bu! Apa itu berarti Ibu adalah orang ketiga di dalam keluarga mereka?”

“Ya.”

“Bukankah Bapak tidak punya satu pun anak kandung di dalam pernikahannya dengan Tante Mar?”

“Ya.”

“Dan bukankah Tante Mar hanya punya satu anak kandung bernamaRobert dari pernikahannya dengan mantan suaminya itu?”

“I..iya. Tapi kenapa toh nduk?”, desak Ibu kebingungan.

“Bu… pernah dengar istilah ‘kepalang-tanggung’ kan? Ibarat bermain di lumpur, sampai ke mata kaki, kita sudah kotor. Kenapa ndak sekalian kita ceburkan diri saja ke kubangan dan menikmati permainan lumpurnya?”, seketika tubuhku yang masih tertidur di pangkuan Ibu tersentak dan senyuman kemenangan entah dari mana asalnya merekah manis di bibirku.

“Maksudmu opo toh? ‘Ra ngertos aku. Duh Gusti.”

“Tante Mar bu! Tante Mar yang jalang. Tante Mar yang merebut Bapak dari kita. Tante Mar yang… yang masukkin Ibu supaya tinggal di gubuk ini kan?”

“Lah terus?”

“Dandani aku bu! Aku tahu Ibu pandai memoles bedak serta gincu dengan anggun. Itu yang bikin sirik ibu-ibu sekitar sini kan, kecantikan dan kemampuanmu memahami kelebihanmu itu bu. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita, bu! Robert… 21 tahun! Aku bakal punya anak darinya, bu! Kita bakal berhenti jadi miskin dan menderita. Dan Ibu bakal bisa tinggal di rumah gedongan itu lagi!”

“Ndhasmu! Edan kowe! Ndak. Emoh. Emoh Ibu! Ndak!”, tolak Ibu mentah-mentah.
“Percaya bu. Aku pasti berhasil. Robert akan jadi suamiku dan kita kembalikan kehormatan kita berdua bu. Persetan dibilang jalang. Kalau kita menang, toh mereka pasti akan nyambangin kita juga kalau butuh uang.”, senyuman nakal tersungging di bibirku.

“Kalau kita gagal?”, tanya ibu ragu.

“Kita bakal jadi orang ketiga pertama yang pernah berusaha dan berjuang sekeras ini untuk mengembalikan nama baiknya di tengah masyarakat bu. Tuhan juga ndak tidur, bu. Dia kasihan pasti liat kita susah melulu. Lagian tante Mar kan rumahnya ndak cuma satu. Warisannya Robert juga berjubel kan? Robert itu bukanya terlalu lugu ya, bu? Serahin sama Juminten bu. Eh, tunggu, mulai sekarang namaku bukan Juminten lagi. Panggil aku Intan.” Kulihat kedua rahang ibu menganga tak keruan. Ahahaha. Lihat saja bu, kita akan berhasil!


                                  

NB : #13HariNgelogFF @momo_DM @WangiMS
          Gambar > Pelukis : Mas Ryan Toro 

2 komentar:

  1. Gemeess mbacanya... hehe bagus banget ceritanya ngaliiir gitu aja...

    BalasHapus
  2. Heeeiii... Udah setahunan usia postingan ini dan aku baru ngeh ada komentar ini. Hehehe. Terima kasih banyak ya. Saya tersanjung. :D

    BalasHapus