CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 25 Juni 2018

Pujangga Aksara



Ia begitu lihai meramu kata
Meski kadang tak punya makna
Tapi Halimah begitu terpana

Duhai sang pujangga
Yang begitu berani bermain kata
Segala puja Halimah panjatkan padanya

Halimah tahu sang pujangga lihai bicara
Bermain aksara terlebih cinta
Hingga kini entah berapa wanita
Yang dimanja lidah sang pujangga

Bukankah engkau Halimah pernah berjanji
Tak lagi tekuk lutut dibuai kata
Ingat luka yang pernah cinta cipta,
wahai engkau Halimah!

Buka mata dan telinga, wahai Halimah!
Pusara masa lalumu masih basah.
Tanahnya masih merah.
Ingatlah darah telah tertumpah.
Yang di masanya ia pernah begitu gagah.
sampai pada akhirnya ia kalah.
pada lara hasil karya sang Maha Kuasa.

Berhenti. Berbalik arah. Segeralah Halimah.
Sebelum engkau kembali mati.
Nikmatilah hari ini dan kini.
Dimana padamu kesempatan kedua diberi.
Untuk bereinkarnasi, hidup kembali.
Meski kini harus sendiri.

Tak peduli!
Asal jangan jatuh lagi.
Lagi-lagi dalam buaian pujangga!

Jumat, 08 Juni 2018

Bintang Jalang



Kedai Kopi Kemang, 1 September 2016

Apa jadinya bila mengingini kepunyaan orang lain? Pria beristri misalnya?

Kehadiran Ivan dalam hidup Bintang tak pernah ia duga selama ini.
Bak cinta pada hari-hari para remaja.

Ivan, lelaki yang paling jauh dari kriteria idaman. Tak bertato, merokok, apalagi berjambang.
Bukan tipe lelaki yang mampu memikat dalam sekelebat temu pandang.

Bahkan, perkenalan kami lahir dari kedekatannya dengan sahabatku, Gita.
Bodohnya, kala itu aku memandangnya sebagai pria bodoh yang tak pintar bermain cinta.

Sebab, di suatu malam, Gita yang tengah di mabuk kepayang berkat genggamannya,
mendadak menghubungi Bintang tepat pukul 12 malam.

Ceritanya sederhana. Soal Ivan yang telah berkeluarga. Dan nyatanya masih berusaha mencuri kesempatan demi hati Gita.

Bintang hanya perlu mendengar keluh kesah Gita serta menenangkan cerita penuh drama bernafaskan lara.

Toh, nyatanya Bintang tak keberatan jadi orang ketiga.
Asal dekapan Ivan yang penuh manja, selalu tertuju pada Bintang.
Walau pelukan itu hanya hadir sementara,
sebelum Ivan kembali ke dalam dekap hangat istri sahnya.

Kusimpan wujudmu dari sepi ke sepi
Kutoreh hatimu dengan pisau naluri
Dalam sendu, hangatmu rindu
Rengkuhmu penuh racun serupa sendu

Apa dayaku, aku hanya seorang wanita
Aku wanita yang mencintaimu,
hanya menemui jurang
Tak sanggup aku berjuang
Sebab takdir yang kerap jadi penghalang
Atas nama dia yang telah kau pinang
Bahkan mahluk mungil yang kalian timang

Rabu, 07 September 2016

Penggemar Tanda Koma



Jika hidup adalah sebuah perjalanan, maka ada kalanya aku merasa rindu akan rumah.
Dan sekedip mata, aku dapat kembali merasakan rumah.
Tempat dimana seharusnya aku berada.
Bukan hilang dan melangkah tanpa arah.

Aku terus menulis. Untuk menghapus semua luka lama.
Aku rasa, dengan tangis tak akan cukup.
Tapi ternyata aku salah.
Tangis pun tak sanggup melumpuhkan ingatanku tentangnya.

Sampai pada satu titik aku menyadari...

Katanya, menulis itu ibarat berenang. Sehingga, semakin dalam dunia tulis-menulis itu diselaminya, maka akan semakin terasah kemampuan menulisnya. Nah, masalahnya, tiap penulis pasti pernah mengalami kebuntuan.

Ibaratnya, bahan beritanya udah ada. Faktual, banget. Aktual, ya pastinya. Dan kalau dibilang penting atau menarik, ya relatif juga sih ya.

Cuma intinya, tiap penulis pasti pernah menemukan titik hampa. Bukan, bukan jenis yang galau apalah. Tapi hampa, bingung mulai nulis darimana. Padahal, bahannya udah di depan mata.

Nah, untuk menangkis pernyataan itu, maka seorang Dan Poynter pernah berkata "If you wait inspiration to write, you're not a writer. You're a waiter."

Menulis itu adalah menjawab kegelisahan. Jadi, apapun yang kita tulis,harus penting buat diri kita sendiri dulu, baru orang lain. Karena ada kesakitan yang sembuh ketika kamu menulis.

Bahkan seorang Leila S Chudori : "Apakah kita harus mengambil jeda dalam perjalanan yang masih panjang ini? Saat menulis aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. Jangan.

Ah entah ini tulisan apa. Sesuai judulnya, ini memang sebuah tulisan yang tidak untuk dibaca. Hanya sekedar pelampiasan sang penulis. :D



Senin, 08 Februari 2016

Ekonomi Kreatif & Investasi Asing



Film adalah wadah hiburan yang dapat dinikmati oleh siapapun, tua-muda, si kaya hingga yang hidupnya sederhana. Dan film nasional diharapkan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sehingga anggapan ‘Film Indonesia lebih banyak dibicarakan dibanding ditonton’ patutlah dihilangkan.

Banyak persoalan yang melatarbelakangi mengapa film-film Indonesia hanya menjadi tamu di negerinya sendiri. Mulai dari masalah cerita dan tema yang tidak berkembang, cenderung monoton dan sangat predictable, kualitas film itu sendiri yang tidak mumpuni cenderung mengecewakan hingga terbatasnya jumlah bioskop tempat sebuah film disajikan. Maka makin terpuruklah perfilman Indonesia. Ditambah lagi, gempuran film-film asing yang disokong dengan dana fantastis yang membuat film Indonesia bahkan tak mampu memenuhi kriteria untuk menjadi ‘jagoan di kandang sendiri’. Sungguh miris nasib perfilman bangsa ini.

Dengan segala keterbatasan yang melatarbelakangi film-film Indonesia tersebut, maka animo menonton penduduk Indonesia yang jumlahnya 250 juta jiwa ini, ternyata hanya mampu menarik minat tonton sebanyak 2% saja dari rata-rata jumlah penduduk Indonesia. Sehingga industri film yang mapan hanya tinggal angan-angan belaka.

Padahal industri film yang mapan tak hanya bermanfaat bagi penonton film, tapi sedikit banyak juga akan berkontribusi pada perekonomian Indonesia secara umum.

Masalah perfilman Indonesia amatlah kompleks. Beberapa di antaranya adalah akibat kurangnya produksi film yang dapat mempertahankan penonton. Tak hanya itu, produksi film yang didominasi oleh sedikit pelaku industri, dengan kultur produksi yang tidak mengedepankan inovasi dan kreativitas storytelling makin mengakibatkan film-film yang diproduksi adalah film-film tanah air dengan tema dan gaya yang seragam, yang dianggap paling aman untuk menarik minat penonton.

Ditambah lagi fakta bahwa layar bioskop masih sangat sedikit dan penyebarannya tidak merata. Banyak daerah yang bahkan tidak memiliki bioskop. Total layar bioskop di Indonesia per Januari 2016 adalah 1117 layar. Untuk 250 juta jiwa penduduk. Alias 1 layar untuk sekitar 224 ribu penduduk. Padahal kota Beijing yang hanya memiliki 22 juta jiwa penduduk, memiliki jumlah layar yang kurang lebih sama dengan jumlah yang dimiliki tanah air, dari Sabang hingga Merauke. Sungguh miris!

Tak hanya itu, Korea Selatan yang sukses menyebar Korean Wave-nya keseluruh pelosok dunia, dengan hanya total penduduk sebesar 50 juta jiwa penduduk, memiliki 2.480 layar bioskop di negaranya sendiri.

Karena faktor keterbatasan jumlah bioskop inilah yang membuat film-film di Indonesia saling berebutan layar, bahkan tak jarang cara curang dilakukan demi mempertahankan pemutaran filmnya. Hal ini disebabkan karena pemutaran perdana sebuah film amatlah menentukan  kelangsungan pemutaran film tersebut di hari-hari ke depannya.

Apabila di hari-hari pertama pemutaran film ternyata disambut dingin oleh penonton, maka tak perlu diragukan lagi, film tersebut akan tersenggol oleh deretan film lain yang akan berusaha mempertahankan keberlangsungan pemutarannya di bioskop-bioskop Indonesia.

Salah satu cara curang yang digunakan untuk mempertahankan posisi sebuah film dalam penayangannya di bioskop, yakni adalah perbuatan yang dilakukan oleh oknum produer ‘nakal’ dengan memborong sendiri tiket film hasil produksinya di penayangan perdana, demi mempertahankan filmnya tidak ‘diturunkan’ dari bioskop.

Hal tersebut amatlah tidak sehat karena hanya PH (Production House) dengan finasial yang powerfull saja yang dapat bersaing dengan cara demikian. Sehingga untuk film indie (independent), tak perlu ditanyakan lagi bagaimana nasibnya.

Adalah perihal Indonesia yang masuk ke dalam Daftar Negatif Investasi yang membuat para investor asing enggan untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Padahal dengan dukungan investor asing, maka akan membantu pertumbuhan bioskop-bioskop Indonesia yang akan menjamur di tanah air ini.
Larangan bagi investor asing untuk masuk industri film nasional ini merupakan produk orde baru, yang bertujuan untuk melindungi pelaku industri film nasional di masa itu yang sangat dekat dengan para penguasa. Namun sayangnya, setelah era reformasi hingga era demokrasi saat ini pun, larangan tersebut masih tetap berlaku.

Hal ini terutama dikarenakan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, yang isinya menegaskan bahwa industri perfilman sangat membatasi penanaman modal asing.

Sejauh ini beberapa sub sektor usaha perfilman yang dilindungi pemerintah adalah pembuatan film (sarana pengambilan gambar, penyuntingan & pemberian teks film), pertunjukan film, pengedaran film. Sedangkan beberapa sub sektor seperti studio pengambilan gambar film, laboratorium pengambilan film, sarana pengisian suara film serta sarana pencetakan dan/atau penggandaan film, kepemilikan modal asing diperbolehkan dengan maksimal 49%.

Di awal tahun 2016, para insan kreatif perfilman Indonesia menyambut baik usulan pencabutan industri film nasional dari Daftar Negatif Investasi. Sambutan hangat datang dari nama-nama pelaku industri perfilman Indonesia. Baik produser, sutradara serta jajaran pekerja film lainnya. Nama-nama tersebut antara lain : Nia Dinata, Hanung Bramantyo, Lala Timothy, Mira Lesmana, Riri Riza.

Bahkan Joko Anwar, melalui akun Twitter pribadi miliknya @jokoanwar menyatakan secara gamblang dukungannya atas pencabutan industri film nasional dari Daftar Negatif Investasi.

 ‘Jadi, ayolah! Kita pikirkan kepentingan untuk semua pekerja film. Tidak hanya kepentingan sendiri dan takut bersaing. Ke depannya, film Indonesia lebih banyak, beragam, berkualitas. Bioskop dimana-mana ada, lapangan pekerjaan di film bertambah.’, demikian kicau Sutradara Terbaik FFI 2015.

Reza Rahadian pun menekankan bahwa sebaiknya tak boleh ada seorangpun di industri perfilman tanah air yang harus gentar dengan dibukanya investasi asing di negeri ini. Bagi aktor yang telah sukses mengantongi deretan judul film box office ini, yang harus ditingkatkan adalah daya saing. Sehingga persaingan secara sehat dapat dilakukan oleh para insan perfilman Indonesia, dengan dipayungi proteksi hukum yang memadai dan adil bagi para pihak.

Bahkan dukungan juga datang secara terang-terangan oleh Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia. Dalam salah satu press conference peluncuran sebuah film, beliau menuturkan dukungannya terhadap masuknya investasi asing ke negeri Indonesia.

Ayah kandung selebriti Sherina Munaf ini memastikan akan membuka kesempatan untuk investasi asing. “Kita sepakat semua bidang di perfilman di jasa teknik, produksi, distribusi dan eksibisi bioskop dibuka 100% untuk siapa saja. Yang terpenting, film Indonesia harus jadi tuan di negeri sendiri, dan tamu kehormatan di negeri orang lain. Itu adalah prinsip ekonomi kreatif. ”

Meski begitu, usulan terbaru yang membuka seratus persen investasi asing untuk industri film Indonesia ini belum diketahui kapan persisnya akan terlaksana.




-LR-

Sabtu, 06 Februari 2016

Faizal Iskandar!



Entah sejak kapan aku mulai mengagumi lelaki pemilik akun twitter @monstreza ini.
Yang jelas, kekagumanku ini ibarat Harry Potter freak yang begitu menantikan karya-karya teranyar JK. Rowling.

Faizal Iskandar, lelaki yang selalu menggambarkan cinta melalui caranya. Lelaki  yang membuatku mencari tahu makna petrichor dan rasanya. Lelaki yang membuatku kagum, tanpa perlu melihat bagaimana ia tersenyum. Hanya melalui serangkaian kata, semata-mata umpatannya pada cinta.

Tak pernah sekalipun aku bertatap muka dengannya. Tapi justru disitulah tingkat kekagumanku padanya teruji. Tak pernah teringat juga kapan aku mulai mengagumi sosoknya. Lelaki yang tak banyak bicara (sepertinya) tapi mampu memikat hanya dengan beberapa kata.

Setiap cerita yang dibuatnya juga tak pernah menggunakan narasi yang berlebihan. Mengalir apa adanya. Terluka teramat jelasnya. Dan hasrat yang kadang jadi topik utamanya.

Ah... Entah kenapa aku benci ketika terkadang membaca beberapa tulisannya yang lagi-lagi menggambarkan birahi belaka. Bagiku, pengagum beratnya, Faizal Iskandar tak butuh bumbu peluh berbaur rengkuh & lenguh agar tulisannya terus diburu. Ia sensual dengan gaya tulisannya sendiri. Tanpa perlu mengumbar keindahan tubuh sepasang kekasih yang tengah menari dalam cinta.

Tulisan-tulisannya tak pernah bisa aku pahami untuk dikategorikan sebagai apa. Aku tak suka mengatakan ia penulis cerpen, narasi, puisi, atau entah apa. Bagiku, tulisannya berarti tahi di otaknya yang keluar untuk melegakan isi hatinya.

Ia selalu membicarakan perihal cinta : ketidakmampuan untuk bersama, perbedaan yang jadi jurang pemisah utama, aroma sehabis hujan, kopi, bartender, konsep pernikahan yang sebatas dongeng belaka, rasa yang tak pernah terungkap dan segala bentuk duka penuh laknat lainnya.

Entah dari pengalaman pribadinya, dari pengalaman orang lain yang diceritakan padanya, atau sekedar fantasinya belaka... Entah. Apapun bentuknya, aku mengaguminya. Apa adanya.

Faizal Iskandar, sosok yang tak perlu kau tatap matanya, kau dengar bisiknya, atau kau rasakan aroma minyak wanginya...tapi sanggup membuatmu selalu mau dan mampu menikmati setiap rangkaian kata yang ditulisnya. 

Berikut kusampaikan beberapa kata pada penulis favoritku : 

“Kepada seorang lelaki penakluk kata yang dimana kekaguman kusematkan padanya... Sampai kapan kamu terus mengutuki dirimu untuk luka-luka yang dicipta orang lain bagimu? Mungkin kita tak pernah saling kenal, tapi penggambaranmu akan duka teramatlah binal. Teruslah menulis, dan lukislah lukamu melalui aksara. Karena ada pembaca yang selalu mengagumimu. Dalam luka, maupun bahagia. Mujur hingga terbujur. :)”  

Oiya perihal membayangkan menjadi pasangannya...rasanya lebih tepat dikatakan bahwa aku jatuh cinta pada deretan sosok laki-laki penuh karisma, yang bertahan atas nama cinta dan setia pada satu nama di setiap karya-karyanya. Tapi bicara mengenai menjadi pasangan dari penulis yang aku kagumi? Ah.. Aku mendamba pada aksara, pada kata, pada cinta. Haruskah dipaksa berimajinasi dengan pelakunya bila jatuh cinta pada setiap pemikirannya sudah terasa cukup bagiku?

Ahaha. Ok...ok! Bila suatu hari aku mendapatkannya, maka hal yang akan aku lakukan padanya adalah membuatnya berhenti mengutuki hidup.
Karena hidup hanya sekali.
Karena luka hati haruslah dipulihkan kembali. :D

Dan bagiku, sampai kapanpun, Faizal Iskandar tetaplah seorang lelaki misterius yang pandai bicara cinta dengan serius. ;)




-Lopinta Rumengan-


*Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti #30HariMenulisSuratCinta @PosCinta. :)

Kamis, 04 Februari 2016

Barista Berkhianat


Aku duduk di tempat kita biasa bercengkrama
Dengan harapan, aku akan lebih bahagia
Dari dulu aku selalu menanti hari ini
Datang ke sini, tanpa kamu di sisi
Tapi ternyata semuanya malah berbeda
Tak lagi seperti rasa yang pernah ada.

Sepi
Hampa
Ahahaha harusnya aku tak kesini.

Aku memulai awal hari dengan mendatangi tempat yang penuh nostalgia.
Kita
Yang dulunya sangat menunggu hari ini.
Tapi apa daya. Semua telah berakhir.
Habis!

Tak kehabisan akal, aku mendatangi tempat lain.
Beruasaha mencari damai.
Dari sebuah kepedihan bernama sepi.
Lagi-lagi ditemani segelas kopi.

Meski diawali dengan senyum ramah sang barista,
Tetap saja tak sama.
Kopinya hambar.
Lidahku kelu, tak tahu lagi mana rasa yang bermutu.
Ini bukan kopi yang aku mau.
Aku bahkan tak pernah lupa akan rasa kopi milikku. Karya agung sang baristaku.

Tapi apa daya baristaku telah berkhianat.
Membuat kopi dengan rasa yang paling laknat.
Aku bahkan tak pernah mau sentuh kopinya kini meski digombali dengan janji akan sebuah nikmat.
Aku hanya mau kopi baristaku.
Yang dibuatnya khusus untukku.



*Tulisan ini dibuat dalam rangka partisipasi di @PosCinta.
#30HariMenulisSuratCinta

Rabu, 03 Februari 2016

Untuk Sebuah Nama Yang Kusebut Rumah Lama



Untuk sebuah nama yang kusebut rumah lama... Apa kabarmu disana?
Ada satu hal yang harus aku sampaikan, namun hanya mampu sebatas tulisan.

Untuk sebuah nama yang kusebut rumah lama, kemana pun aku pergi, atau kapan pun aku merasa sendiri... Aku hanya perlu memejamkan mata. Dan barisan memori bagai hembusan angin, membawa aku ke sebuah tempat yang kini tak lebih dari suatu persinggahan, rumah lama.

Untuk sebuah nama yang kusebut rumah lama, rindu tak pernah pudar. Meski kita tak lagi bersama, namun rangkaian namamu masih menyisakan debar. Katanya, cinta itu tak kenal kata sabar. Ah... Itu hanya alasan mereka yang tak tahu apa arti berjuang, dan berakhir dengan pulang. Ke satu tempat yang bukan akhir tujuan.

Untuk sebuah nama yang kusebut rumah lama, apakah cukup sebaris doa kupanjatkan pada Dia yang katanya Maha Esa, namun justru memecah berai atas nama beda?

Untuk sebuah nama yang kusebut rumah lama, biar kubasuh segala debu yang menempel pada dinding-dindingmu. Izinkan aku kembali ke dalam dekap hangat perapian rumah lamaku.
Dimana selalu ada secangkir kopi hangat selalu sigap menyambut. Dan memeluk erat sampai lupa aku pada penat.

Tertanda,



Si Empunya Rumah


*Tulisan ini dibuat dalam rangka bentuk partisipasi di @PosCinta.
#30HariMenulisSuratCinta