CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 23 Juli 2015

Pemuda dan Kearifan Lokal



Pemuda adalah sosok kompleks di mana di pundaknya terbebani harapan bangsa akan esok hari yang lebih cerah. Pemuda diharapkan mampu membawa estafet perjuangan. Bung Karno pernah berujar bahwa dengan sepuluh orang pemuda bersamanya, beliau mampu mengubah dunia. Namun timbul pertanyaan atas pernyataan itu, pemuda seperti apa yang beliau maksud yang diharapkan mampu mengubah dunia tersebut?
         Anang Hermansyah di dalam lirik lagunya “biarkanlah ku begini, ini jalanku… biarkanlah ku begini, ini hidupku…” merupakan representasi dari idealisme seorang pemuda. Ya, memang idealisme harga mati yang kerap dijunjung seseorang kala ia berada di masa muda. Pemuda punya cita-cita yang kadang kala dianggap terlalu tinggi dan ngoyo. Namun bagi sebagian pemuda tidak ada yang tidak mungkin, termasuk mengubah dunia. Kesuksesan Wright bersaudara dalam merealisasikan kemungkinan manusia untuk “terbang” adalah salah satu landasan pemuda dalam menancapkan idealismenya.
         Betapa beruntungnya Indonesia karena memiliki tradisi sejarah dimana pemuda punya peranan ke arah pembebasan. Pemuda adalah pembuat sejarah! Pada tahun 1998, pemuda berperan sebagai pendobrak untuk membuat terobosan politik. Latar belakang obsesi kemerdekaan negeri juga pernah menginspirasi Alfred Simanjuntak dalam menciptakan lagu “Bangun Pemudi Pemuda” yang hingga masa kini lagu ini seperti hendak menyapa para pemuda dengan intonasi hardikan agar benar-benar bangkit dan menularkan kembali semangat kebangsaan yakni persatuan, cita-cita “kemerdekaan”, impian akan kesejahteraan dan cita-cita bangsa.
         Setiap insan di muka bumi ini pasti memiliki sejarahnya sendiri. Pemuda terlahir dari sejarah. Keadaan di masa lalu menciptakan masa kini. Masa lalu mempunyai kisahnya sendiri. Pun setiap pemuda punya latar belakang yang beragam. Hanya saja ada satu kesamaan di antara mereka, kearifan lokal adalah sesuatu yang sepatutnya menjadi pijakannya dalam menentukan arah dan tujuan hidup. 
         Rene Descrates pernah menuliskan “cogito, ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada.” Ini adalah titik tolak awal perubahan sudut pandang manusia akan alam dan lingkungannya. Alam bukan lagi sesuatu yang dianggap keramat, menakutkan dan penuh misteri. melainkan sesuatu yang bisa dan harus bisa dipikirkan untuk ditaklukkan. Francis Bacon, telah memastikan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Maka ilmu-ilmu yang berkembang dari pemikiran Descrates seakan memperoleh pengesahan logis bagi tujuan-tujuan “eskploitasi dan penguasaan”. Atau, dengan kata lainnya : imperialisme dan kolonialisme.
         Raffles dengan kebijakan liberalnya mewarisi Indonesia dari tangan Belanda pada tahun 1811. Meski kekejaman fisik berkurang, namun kultur modernisme justru berkembang hebat dan Raffles melihat bahwa pola pikir adat adalah hambatan paling kuat dari struktur ekonomi yang hendak diciptakannya sehingga harus diminimalkan.
         Pemerintahan Raffles kala itu telah meletakkan pijakan pertama yang sangat penting pada cara pandang rakyat Hindia Belanda di awal abad 20. Karena dialah juga maka sebagian orang bekas jajahannya kala itu mulai meyakini bahwa modernisme tak bisa terus menerus ditampik, sebab tradisionalisme sendiri ternyata tidak sanggup membawa perubahan apapun. Ilmu dan teknologi harus dikuasai.
         Modernisme memang tak bisa terelakkan. Namun sayangnya, terkadang atas nama modernisme, kearifan lokal malah kerap kali dianggap irrasional dan berbenturan dengan “kemasa-kinian”. Hal ini tercermin dari sisa-sisa modernisme kolonial masa dulu yang membawa dua kerusakan sekaligus, yakni : kerusakan fisik berupa punahnya suku-suku adat dan dicampakkanya keyakinan dan kearifan lokal suku-suku itu melalui penawaran serta pemaksaan atas panji-panji gospel dan rasionalitas sebagai satu-satunya keyakinan baru.
         Di zaman dahulu, nenek moyang menyembah alam, roh-roh pendahulunya dan sangat menjujung tinggi keselarasan hubungan manusia dengan alam Di zaman “mengisi kemerdekaan” kini, modernisme diwujudkan dalam ideologi pembangunan yang menjadi agenda resmi pemerintah dan tak mungkin diganggu gugat. Mengejar variabel-variabel statistik yang lazim ditetapkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat seperti inflasi, GNP, laju pertumbuhan dan lain-lain seolah menghalalkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditumpukkan pada pembangunan material belaka. Ini seolah-olah melegalkan pembabatan hutan sebesar-besarnya, pengaspalan tanah-tanah, pembangunan gedung-gedung. Dan sama sekali mengabaikan aspek-aspek yang lebih humanis, seperti pembangunan spiritual dan kultural masyarakat.
         Egoisme manusia telah membuatnya lupa akan siapa dan darimana ia berasal. Kearifan lokal yang sering dicap “irrasional” itu pun punya makna dan makna-makna serta tujuan-tujuan logisnya sendiri sering kali baru terlacak dan disadari kebenarannya setelah manusia dan alam “terluka parah”. Seperti tercermin dalam lirik lagu“Mungkin alam mulai bosan, melihat tingkah kita…. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang” milik musisi Ebiet G. Ade yang merupakan cerminan atas keangkuhan, egoisme dan kepicikan manusia. Ketika manusia sudah sampai pada titik dasar tak mampu lagi menandingi kekuasaan alam, malah mulai menyalahkan alam dan mempertanyakan peranan Tuhan.
         Kearifan Lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan Lokal merupakan batas-batas dasar akan setiap tindakan yang hendak diambil oleh setiap orang termasuk pemuda. Seperti filsafat Jawa yang mengajarkan tepa selira, hendaknya pemuda menempatkan dirinya dengan tepat dan bijaksana.
         Raja yang hebat bukanlah raja yang mampu mengubah masyarakat yang merupakan lingkup hidupnya, melainkan dia sebagai seorang ksatria belajar hidup di tengah-tengah bermacam-macam struktur dan keadaan lalu mengambil keputusan paling arif dan bijaksana. Pemuda yang hebat adalah pemuda yang tahu bagaimana menempatkan diri dengan tepat. Planet bumi ini selamanya tidak akan pernah bisa diubah, hanya bisa diperindah. Pemuda dengan kesegaran idealismenya hendaknya menyadari realitas yang ada. Idealis tanpa realistis itu ibarat iman tanpa perbuatan yang pada hakekatnya adalah mati.
         Memahami, mempelajari dan mengamalkan kearifan lokal sangat baik bagi setiap pemuda yang merupakan generasi estafet pembangunan suatu bangsa. Seperti kata Bung Karno, “JAS MERAH, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!” Pemuda harus ingat darimana dia berasal, bagaimana ia harus bijaksana menempatkan diri dan berusaha mengubah kembali paradigma “sok kekiniannya” dengan tetap mencintai, menghargai dan menjunjung tinggi budayanya.
- See more at: http://www.atmajaya.ac.id/web/KontenUnit.aspx?gid=artikel-hki&ou=hki&cid=pemuda-dan-kearifan-lokal#sthash.CEqWHyot.dpuf
- Puji Tuhan tulisanku ini dimuat di website Atmajaya. Dan bangganya lagi bukan aku yang mengirimkan, tapi pihak Atmajaya sendiri yang meminta agar tulisan ini dapat diposting di website kampus. Lucky me!~