CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 08 November 2012

Secangkir Dusta



Lelakiku tak pernah ingkar janji. Karena pada kenyataannya ia tak sekalipun pernah berjanji akan selalu setia bersamaku di sisi...

Di sebuah kedai kopi samping kampus aku meneguk secangkir minuman pesananku. Aku hanya suka kopi hitam manis. Tak perlu campuran lain untuk memberikan kenikmatan bagi lidahku saat mengecapnya.

Aku mengambil sebuah cermin mini dari dalam tas dan melihat pantulan deretan gigiku yang terikat behel dengan manisnya disana. Ah gigiku masih cerah, tak nampak noda kekuningan akibat kafein.

 Kekasihku akan datang. Aku tak mau tampak kusam dihadapannya.

“Sayang. Maaf. Lama menunggu?”, ujarnya kemudian setelah kedua telapak tangannya sempat menutup mataku kala posisi dudukku membelakangi pintu masuk.

“Ah kamu! Bikin kaget saja. Tidak juga. Duduk sini. Bagaimana hari ini sayang?”, keriangan menjalari tubuhku kala ku lihat kekasih duduk dihadapanku. Ah wajah yang selalu aku tunggu, wajah yang selalu menghiasi mimpiku dan menjadi inspirasi bagi setiap naskah cerita karanganku.

“Aku lelah sekali. Tugas tak pernah berhenti menghampiri.” Lelakiku menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Hanya saja kala mengucapkan kalimat ini kedua bola matanya tak pernah membalas tatapan yang kuhujani padanya.

“Itu kan pilihan hidupmu. Jalani saja.” kataku pada salah seorang aktivis kampus kebangganku ini.

            Selanjutnya aku dan kekasih menghabisi waktu dengan saling bercengkrama. Menonton film di bioskop adalah hal yang sesungguhnya tidak terlalu kami gemari. Kekasihku lebih menyukai bernyanyi di dalam ruang karaoke. Cara paling ampuh melepas penat baginya adalah dengan meneriakkan setiap kata-kata yang ada di kepalanya melalui rangkaian nada.

“Ah.. kekasih! Ada apa denganmu? Sudah tiga kali kau lantunkan lagu-lagu bertemakan selingkuh, permintaan maaf, kejenuhan! Hei! Ada apa dengan kita?”, tanyaku lembut pada kekasih yang tampak gamang dihapanku.

“Ah tidak. Aku hanya sedang lelah. Maafkan. Jangan salah sangka, sayang. Jemariku kebetulan saja mengetikkan judul lagu-lagu itu.”, perjelasnya. Ah kekasih! Berhentilah membodohiku!

            Kemudian kami habiskan sisa malam itu dengan bercengkrama sampai tengah malam. Kekasihku tak pernah kehabisan bahan cerita. Ya kekasihku memang pencerita ulung yang punya segudang kalimat untuk diucapkannya dihadapanku. Dan setiap rangkaian huruf yang keluar dari bibirnya akan selalu bertengger manis di benakku. Salah satu alasan aku mengagumi kekasih yaitu karena di mataku seorang orator ulung yang sedang berpeluh memvokalkan pemikirannya secara tajam, lugas dan tegas adalah sangat amat seksi.  

            Kekasih membawaku menembus malam dengan kecepatan 110 km/jam. Dinginnya angin malam tak terasa lagi dikulitku yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Aku hanya tahu memeluk pinggang lelakiku, menyebut nama Tuhanku dan memasrahkan hidupku pada kemampuan kekasih mengendarai motor sport kesayangannya itu.

            “Ada apa Richie?”, tanyaku dengan berteriak lantang dari jok belakang motor kekasih. Pertanyaanku hanya berlalu bersama dengan angin yang terus mengusutkan rambut sepinggang milikku. Ah… Sebetulnya aku tidak butuh jawaban. Aku mengenal kekasihku lebih dari aku mengenal diriku sendiri.

            Aku bukanlah si Maha Tahu, tapi setidaknya aku mengetahuinya. Ada sesuatu yang terjadi pada kekasihku. Bukan perkara yang sulit untuk menebak apa yang terjadi dengan lelakiku itu. Bahasa tubuhnya telah memberikanku jawaban yang paling krusial atas apa yang sebenarnya terjadi.

            Sesampainya di teras rumahku, Richie membuka helm kepunyaannya dari kepalaku dan mematung cukup lama sampai akhirnya ia kecup jua keningku. Ah kekasih, berhenti bersikap terlalu manis padaku. Aku tahu Richie!

            “Selamat malam Bening Karilla. Aku mencintaimu.”, hanya itu kalimat yang terucap dari bibirnya. Kekasihku pergi tanpa membiarkanku membalas ucapan manisnya.

            Hari berikutnya dan seterusnya kembali ku habiskan di kedai kopi dekat kampusku. Aku meminta sahabat-sahabat dan orang kenalan terbaikku untuk membantu menandatangani daftar hadirku di kelas. Aku jengah menatap wajah para dosen yang berlagak berwawasan luas namun tak pernah mampu memberikanku jawaban atas pertanyaan ‘Adakah kekasih akan selamanya kekal menjadi kepunyaanku?’

            Aku tengah memikirkan kekasih ketika kedua bola mataku menangkap bayangan sosok dari jauh yang ku rasakan tengah menatapku. Hitunganku akan ciuman yang pernah kekasih berikan masih menggerakan jari-jemariku kala bayangan itu makin nyata dan akhirnya berdiri di hadapanku.

“Sendirian saja?”, tanya mahluk yang bayangannya begitu menjulang di hadapanku. Mengapa mahluk ini begitu menawan?

“Iya. Ada apa?”, tanyaku pada si mahluk yang wajahnya tampak tak asing bagiku. Entah dimana aku pernah melihat wajah serupa ini.

“Perkenalkan. Saya Rico.”, ujarnya seraya menjulurkan tangannya padaku. Tangan kuatnya sempat membuatku mematung dan lupa diri.

“Ah. Hai. Saya Bening. Mahasiswi Atma Jaya.”, ucapku seraya menunjuk arah di depanku, letak kampus tempatku menimba ilmu.

“Oh kamu anak Atma Jaya juga toh. Fakultas apa? Hukum? Saudara saya disana juga soalnya.”, ucapnya seraya melepas kunciran rambutnya. Wangi segar shampoo yang melekat di rambut lelaki asing dihadapanku diantarkan oleh angin menuju indera penciumanku. Wangi yang sangat mampu membuatku berlama-lama menutup mata, menikmatinya dan berfantasi akan pemilik rambut gondrong-ikal-wangi tersebut.

“Eh! Oya? Siapa namanya?”, tanyaku setelah pulih dari lamunan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa berfantasi gila-gilaan akan cinta terhadap lelaki yang baru saja kutemui tak lebih dari lima menit yang lalu.

“Ah tapi apa mungkin kamu kenal? Ahahaha. Sudah lupakan saja.” Segaris senyum manis selalu mewarnai rahang kokoh nan eksotis milik lelaki dihadapanku ini. Ah kekasih, andai kau tahu betapa godaan keinginan untuk memiliki mahluk berjakun dihadapanku ini adalah dosa terbesar bagi kesetiaanku kepadamu.

“Aku penasaran! Siapa? Lebih baik kamu tidak menyebutnya sedari awal daripada dibuat menggantung. Siapa dia?”, terus saja aku mencari cara agar percakapanku dengannya tak pernah berakhir.

“Richie. Saudara kembar saya. Nama yang sangat umum, bukan? Ahahaha. Tidak mungkin juga lagian kan kamu mengenalnya.”, gelak tawanya semakin mengingatkanku pada sosok yang tak asing bagiku. Tunggu dulu! Siapa? Richie? Hei… itu kan…?!

Ah kekasih. Sejak kapan kau punya saudara kembar? Kenapa selama ini aku tak pernah mengetahuinya? Sebegitu tidakpentingnyakah arti keberadaanku di matamu? Tak cukupkah waktu dua tahun jalinan hubungan itu menjadi bukti keharusan adanya kepercayaan di antara kita?

Pertemuan dengan lelaki kembaran kekasihku berakhir dengan saling tukar nomor ponsel. Aku tak akan pernah bisa tidur dengan tenang nantinya jika melepaskan perjumpaan menakjubkan itu tanpa mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan mahluk yang mampu mematahkan mitos yang berkembang pada peradaban manusia selama ini bahwa keindahan hanya milik alam dan wanita.

Beberapa kali aku kembali bertemu dengan kekasih dan bahasa tubuhnya semakin meyakinkanku akan adanya sesuatu yang salah pada dirinya. Ah kekasih, ada apa? Jenuhkah engkau dengan hubungan ini? Aku masih sungguh mencintaimu. Masih nama belakangmu yang aku bangga-banggakan untuk jadi nama marga yang akan ku letakkan di belakang namaku. Bening Karilla Rumengan. Ah, tidakkah nama itu teredengar begitu manis?

Bayangan akan perubahan pada diri kekasih masih memenuhi relungku kala lelaki itu berjalan lagi menuju meja tempat mahluk imajinasiku memerankan peranan aku dan kekasih yang tengah bertengkar hebat hanya karena masalah kecemburuan. Lelaki itu menarik bangku di hadapanku tanpa minta permisi.

“Teruslah menerawang dan jiwamu akan diusir oleh mahluk lain yang tanpa ijin akan menikmati tubuhmu!”, ucapannya lagi-lagi seketika menghapus angan tentang kekasihku.

“Hei kamu! Sejak kapan ada disini?”, ujarku lembut padanya. Lelaki indah ini selalu ada di kala aku merasa membutuhkan sesosok mahluk berjakun untuk mengisi kekosongan hatiku yang sedang gundah-lelah-tak bergairah. Sedangkan kekasih, ah entah di mana dan adakah namaku masih melintas di pikirannya?

“Harusnya aku yang mengajukan pertanyaan itu. Sejak kapan dan sampai kapan kamu akan selalu berada di sini?”, tanyanya sembari jari telunjuk kanannya memilin-milin rambutnya. Ingin sekali aku mengantikkan jari telunjuknya dengan telunjuk milikku untuk memainkan rambut gondrongnya itu.

“Apa maksudmu? Sebegitu nelangsanyakah aku dihadapanmu? Ahahaha. Tega!”

“Karena mata tak cukup cerdas untuk memantulkan penyangkalan isi hati si empunya. Biar aku tebak. Masalah lelaki?” Ah kekasih, mengapa lelaki yang baru kedua kalinya ku temui ini begitu mampu memahami diriku. Di mana perananmu sebagai lelaki gentleman yang selalu kubangga-banggakan selama ini?

“Haruskah aku menjawab jujur pertanyaanmu itu? Kita bahkan baru bertemu untuk yang kedua kalinya. You’re a stranger, sir! Mommy doesn’t allow me to talk to strangers”, godaku.

“How could you get a new friend if you never talk to strangers, miss?” balasnya. Ah kekasih, kenapa kau tak pernah semenarik lelaki yang satu ini dihadapanku?

“Ahahaha. Ok! Kamu cerdas. Apa? Masalah lelaki? Ya, lelakiku! Tak pernah ingkar janji.”
“Tak pernah ingkar janji? Bukankah itu manis? Lelaki mana yang tak pernah tak ingkar janji kepada wanita yang dikasihinya? Meski sedalam apapun lelaki mencintai wanitanya, namun atas nama ‘manusia’nya, tentu ia pernah teledor mengingkari janji. Tunggu dulu? Atau jangan-jangan lelakimu hanya menjadikanmu tameng?”

“Maksudmu? Aku tak mengerti.”

“Mungkin saja selama ini lelakimu tak pernah menyukai wanita. Sehingga tak pernah ia ingkari janji pada wanitanya karena memang ia tak pernah sungguh-sungguh berjanji akan menyukai lawan jenis?”, tebaknya sok tahu. Ahahahaha! Aku hanya terpingkal-pingkal mendengar ucapannya.

“ Hei, mengapa tertawa? Aku tidak sedang bercanda. Ahahaha!” Ya Tuhan! Getaran cinta mana yang mampu aku dustakan dari mahluk indah di hadapanku ini? Ah, jika aku adalah Nabi Adam, maka lelaki ini pastilah buah terlarang. Aku rela mencicipinya meski itu berarti aku harus mendustakan kesetianku pada-Mu dan pada kekasih!

“Aku tak pernah mengerti ada apa dengan lelakiku.”, ucapku perlahan.

“Ceritakanlah. Aku akan diam dan mendegarkannya.”

“Ah… aku baru sekali bertemu denganmu. Ini adalah kali kedua. Entah mengapa aku harus mempercayaimu.” Kali ini aku sepenuh hati menyampaikannya.

“Karena aku akan memapahmu jika kelak engkau terjatuh.”, ujar Rico serius.

“Maksudmu? Sehabis aku menjelaskan kisahku, lalu aku akan terjatuh, begitu?”

“Ahahaha. Mengapa jadi perempuan terlalu naïf? Pantas saja lelakimu mengecewakanmu. Ah…bukan itu maksudku. Namun percayalah, suatu saat kamu akan memahami maksudku. Nah sekarang, kisahkanlah kisahmu!”

            Aku tak pernah memahami sihir apa yang Rico gunakan untuk memancingku menjelaskan setiap hal yang terjadi antara aku dan Richie kepadanya. Utuh. Aku mulai dari awal pertemuanku dengan Richie, proses bagaimana kami saling berkenalan, berteman hingga akhirnya memutuskan untuk menjalin suatu hubungan.

            “Co, aku tak pernah benar-benar mengerti dengan jalan pikiran kekasihku. Mengapa kode milik lelaki itu sungguh sulit dipahami? Ah. Ada yang berbeda dengan sikapnya belakangan ini. Atau sejak awal. Ah entah, co! Aku pun…”

            “Seorang Bening Karilla pun tak benar memahami perasaannya pada kekasihnya yang sejak awal tak ia sebutkan nama asli lelakinya itu. Begitu bukan? Ahahaha. Well… Aku juga tidak perduli siapa nama asli lelakimu!” Ya Tuhan, lagi-lagi lelaki ini menyunggingkan senyuman bulat sabit di bibir merah-indah-merekahnya. Pasti Engkau sedang sangat berbahagia ya Bapa kala menciptakan mahluk dihadapanku ini!

            “Aku tak pernah benar-benar memahami apa yang lelakiku inginkan. Apa yang terjadi dengannya. Apa yang ia kehendaki. Ia milikku, aku tahu itu. Tapi ada bagian yang hilang dalam hubungan kami ini. Entah apa itu. Semuanya indah. Hanya saja…”

            “Kau tak pernah benar-benar tahu apakah hatinya benar-benar untukmu. Begitu kan maksudmu?”

            “Bagaimana bisa kau tahu?”

            “Karena aku pun mengalami hal yang sama.”, ucapnya lesu.

            “Benarkah? Ya Tuhan! Mengapa kisah kita bisa serupa begini. Ayo sekarang giliranmu menceritakan kisahmu itu!”, tuntutku.

            “Ahahaha. Sudah naïf, galak pula. Pantas saja lelakimu bersikap seperti itu. Baiklah. Jadi begini... Sudah satu tahun aku menjalin hubungan asmara dengan seorang mahasiswi Atma Jaya…”

           
 “….Hah? Mahasiswi Atma Jaya? Ya Tuhan! Siapa dia? Satu kampus dong denganku! Pun dengan kekasih!”, segera aku potong ucapannya sebelum sempat ia melanjutkan kalimatnya.

            “Bening Karilla! Kamu ini! Sudah naïf, galak, tidak sopan pula main memotong pembicaraan lawan bicaramu. Pantas saja lelakimu itu…”

            “Yayaya! Cukup! Kumohon lanjutkan kisahmu!”, tak ingin aku dengar kelanjutan ceramahnya.

“Aku pun akan memanggilnya dengan sebutan kekasih. Seperti yang kamu lakukan, menyamarkan nama asli. Nah, jadi begini ceritanya. Kekasihku sangat amat menarik. Ia baik, cantik dan sopan. Sikap malu-malunya yang sangat membikin gemas. Ia tak terlalu banyak berbicara. Namun sekalinya berbicara, Tuan Shakespare pun akan segera menggantikan nama tokoh karangannya Juliet dengan nama kekasihku. Mengapa? Karena kekasihku sungguh amat hampir mendekati sempurna.”

“Lalu dimana letak permasalahannya?”, tanyaku jengah atas pujian berlebihannya atas kekasihnya itu.

“Belajarlah bersabar nona kecil.”, ia malah kembali memainkan rambutnya. Tak melanjutka ucapannya. 

           
 “Hei! Bagaimana kelanjutannya? Kekasihmu itu hampir sempurna, lalu apa?”

“Hampir sempurna bukan berarti sempurna. Disitulah letak permasalahannya. Ia tak sesempurna yang aku kira. Aku mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dengannya. Semacam ada kepalsuan padanya.”, ujar Rico dengan mimik super serius. Ada kedukaan yang terpahat secara terselubung dari kalimatnya itu.

Plastic surgery?”, tanyaku hati-hati.

“Bahahahahhaha! Ya Tuhan mengapa Engkau pertemukanku dengan mahluk satu ini? Bening…Bening! Namamu memang mencerminkan jati dirimu ya, terutama cara berpikirmu. Terlalu bening! Bahahaha!”

Aku tersinggung dengan ucapannya kali itu. Itu bukan pujian. Aku tahu. Itu semacam penghinaan secara halus. Aku diam saja. Ceritanya sedang memasang aksi ngambek. Andalan setiap perempuan untuk meluluhkan lelaki!

“Ahahahaha! Maaf Bening. Yaaah...jangan marah lah. Kamu ini lucu sekali. Bodohnya kekasihmu itu meninggalkanmu.”

“Aku masih punya status taken and in a relationship dengan kekasihku ya!”, marahku.
“Iya iya maaf. Ok. Lebih baik aku lanjutkan kisahku. Bukan. Bukan tubuhnya yang palsu, anak manis. Tetapi… kecintaanya padaku.”

“Maksudmu?”, entah luluh atau atas desakan rasa penasaran, aku sungguh ingin menyelami lebih dalam kisah cinta mahluk indah dihadapanku ini.

“Tak sadar kah kamu bahwa aku yang bukan mahasiswa kampusmu itu rajin berkeliaran di daerah sekitar sini?”

“Ah banyak orang yang sepertimu. Lagian hal seperti itu kan lazim dilakukan. Bukan perkara besar.”

“Aku ke sini untuk memata-matai kekasihku!”, pertegasnya.

“Benarkah?”, aku tak menyangka sejauh itu hal yang mampu seorang lelaki lakukan demi wanita yang dikasihinya.

“Bukan karena aku tak percaya lagi padanya. Hanya saja, instingku yang menuntunku untuk melakukan aksi konyol ini.”

“Lalu bagaimana hasilnya?” tanyaku penasaran.

Posisi dudukku yang memang berhadapan dengan Rico dan menghalangi pintu masuk membuatku tak menyadari berapa manusia yang lalu lalang ke kedai kopi ini. Hanya saja bibir Rico yang tiba-tiba menganga, pupil matanya yang tiba-tiba membesar dan suara tercekat yang dihasilkan tenggorokannya membuatku memutar tubuh dan mengikuti arah padangannya.

Oh! Hanya kekasih dan sahabatku, Mayla. Tak ada yang spesial disana. Ah mungkin Rico hanya terpengarah saja melihat wajah bulat polos milik sahabatku itu. Meski begitu ada sedikit kecemburuan menjalari nadiku kala menyaksikan Rico begitu terkagum-kagum memandangi Mayla.

“Ini yang aku takutkan!”, ucap Rico kemudian setelah kesadarannya mulai pulih.

“Apa?”, tanyaku polos karena memang benar-benar tak memahami maksudnya.

“ Ya Tuhan mengapa mahluk di hadapanku ini begitu cantik tetapi memiliki keterbatasan dalam berpikir jernih? Tidakkah kamu sadari, itu Mayla kekasihku, sedang bersama dengan kekasihmu, kan?”, tanya Rico dengan nada suara sedikit meninggi.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Palsu. Mayla memacariku namun sesungguhnya ia lebih tertarik dengan Richie, kemabaranku. Ia tak mau menyakitimu sahabatnya yang lebih dahulu memadu kasih dengan Richie.”
“Ya Tuhan!”, ku gunakkan kedua tanganku untuk menutupi mulutku.

“Aku sudah tahu sejak awal kamu adalah kekasih Richie. Aku pernah melihat wajahmu kala kau sedang melalukan kontak Skype dengan saudara kembarku itu. Ingat kan siapa diantara kita berdua yang lebih dahulu memadu kasih dengan pasangannya?”

“Richie pun berusaha menjaga perasaanku hanya karena wanita yang kini menghiasi hatinya adalah sahabatku, begitukah maksudmu?”. Rico tidak menjawab. Ia hanya menaikkan kedua pundaknya, menuntut agar aku mencerna sendiri pernyataanku itu.

Ah ya… kekasih. Aku akhirnya menyadari semuanya. Kamu tak pernah benar-benar berjanji akan setia berada disisiku dan naifnya aku tak pernah menuntut hal itu daripadamu.

“Tataplah cangkir dihadapanmu!”, ujar Rico menganggu lamunanku.

“Ada apa?”

“Secangkir kopi hitam. Manis, meski pahit. Itulah kenyataan kisah cinta kita berdua. Tak seburuk yang tampak, tak semanis yang diduga.”

“Secangkir dusta apakah itu masih ada gulanya?”, ucapku beranalogi.

“Setidaknya takdir mempertemukan dua insan yang sedang dikhianati oleh kekasihnya. Ah, Bening, pernahkah kamu mendengar adanya suatu hubungan yang didasari perasaan senasib sepenanggungan?”, goda Rico. Aku hanya mengakak terpingkal-pingkal mendengarnya. Ah! Wahai kekasih dan kamu sahabatku terkasih, terima kasih atas pengkhianatan pahit ini. Ah tuan takdir, inikah kekasih manis yang kau sediakan untuk kucicipi kini dan kelak? Secangkir dusta pembawa cinta! Ahahaha!

“Hei Bening! Malah Bengong! Jawablah! Ahahaha!”, canda Rico Rumengan.