CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 30 Desember 2012

Prolog


Jakarta adalah kota metropolitan yang katanya tak pernah tidur. Bukankah cinta juga tak mengenal istirahat? Menurutku rasa cinta itu seperti Jakarta, tak pernah lelap dan selalu terjaga. Aku hidup, lahir dan tinggal di Jakarta. Semua orang yang menetap di ‘daerah’, ingin sekali menginjakkan kakinya ke Jakarta. Mungkin sama dengan orang Jakarta yang ngebet pingin merasakan ke luar negeri. Namun untuk saat ini, aku belum kepikiran untuk keluar dari Jakarta, karena di sini, di tempat ini, aku punya puzzle rasa yang harus aku pecahkan. Ah Jakarta!

Setu Babakan, 2 Januari 2013

“Sayang, sini aku suapin. Aaak! Ayo dibuka mulutnya..!”, goda Figo kekasihku yang telah aku pacari satu tahun belakangan ini. Ia adalah seniorku di kampus. Jarak usia kami 2 tahun.

“Figo! Aku udah 19 tahun loh yah! Kuliah jurusan hukum semester tiga. Kenapa masih diperlakukan seperti bocah sih?”, jawabku sebal.

“Neisya cantik, kamu itu baby face banget loh yah. Tinggi badan 149 dengan berat badan 40 kg. Mini. Mihihi… ralat deh! Maksudnya imut.”, jawabnya sambil menyuapiku Kerak Telor.

Mbok yo nyadar toh mas’e. Malu sama rambut gimbal sepunggungmu itu. Muka sangar, gaya gahar, ngomongnya moso klemar-klemer gitu? Ahahahaa. Eh eh… I love you so”. bisikku lembut di telinga kanannya.

            “Nah kan gantian kamunya yang munyu-munyu. Ahahaha. I love you more.”, jawabnya lantang sembari mengecup keningku.
“Eh itu ondel-ondelnye udeh nongol. Mpok Lela begimane? Udah cakep pan? Permasalahannye pan nih kawinan doi nyang punya hajatan.”, peringatku sembari memperbaiki posisi kebaya Betawi modern warna orange. Hari ini kakak perempuannya akan dinikahi oleh seorang pemuda Betawi juga, dan aku yang telah dianggap jadi ‘bagian dari keluarga’ pun ikut menjadi seksi sibuk di hajatan ini.

“Salah sayang! Nyang punya hajatan entu si babeh! Mpok Lela mah enak tinggal nungguin roti buayanye aje.” Ahahaha ya Tuhan, pacarku ini kalau berbicara nyablak sekali, tapi justru di situ letak daya tariknya.

Selanjutnya bunyi petasan yang baru saja dibakar memekakkan telinga semua hadirin yang ada disitu. Tanpa ada yang tahu, Figo sempat mencium pipiku secara mendadak dan dengan sempurna membuat pipiku bersemu merah dengan mata membelalak dan mulut menganga.

Di kota ini aku belajar merangkak, berbicara, mencinta bahkan mencicipi pahitnya hidup ditemani asinnya air mata yang tanpa sengaja meluncur ke mulut. Orang bilang, Jakarta lebih kejam dari ibu tiri. Masalahnya aku tak punya ibu tiri (dan ya Tuhan jangan sampai aku memilikinya) sehingga aku tak pernah bisa menyetujui ataupun menyangsikan pernyataan tersebut. Tapi setidaknya, cinta seseram ondel-ondel hingga secentil banci Taman Lawang dapat aku jumpai di kota ini.

Kemang, 5 Januari 2013
“Neisya! Ikut aku hunting foto yuk. Di Kota Tua. Sekalian masang tato-tatoan. Atau kamu maunya apa? Ke Fatahilah?” ajak Ferza.

“Kapan kapan? Ayuk. Aaaa…mau mau! Tapi naik apa?”, jawabku centil.

“Kamu maunya apa?”, Ferza ini…selalu dan selalu saja memprioritaskan kehendakku.

“Loh kok nanya balik? Hmmm… Bus Trans Jakarta aja kali ya, za. Adem. Bebas macet.”

“Eh kok kendaraan umum. Ahahaha. Maksudku bukan itu. Aku tuh maunya kamu aja yang nentuin, aku ngendarain motor atau mobil. Gitu.”

“Lah tapi kan kamu yang ngajak. Kok malah terserah aku?”

“Karina Neisya Wijaya, kamu kenal aku udah berapa lama deh?  Bukannya dari dulu memang selalu terserah kamu ya?”, senyumnya tulus, sorot matanya halus.

“Ya tapi kan itu dulu. Waktu kita masih….”

“Pacaran? Iya Neisya, aku inget kok. Statusku ini mantanmu. Gitu kan? Tapi emang haram ya jalan sama mantannya?”

“Ahahaha… Yuk sekarang aja. Aku yang nentuin. Pakai motormu. Ada helm cadangan kan? Aku kangen denger deru knalpot kamu.”

“Kangen motornya apa pemiliknya? Kangen deru motornya atau meluk yang empunya?”, goda Ferza dengan centilnya. Ia langsung mengaduh ketika spontan ku cubit perutnya.

“Daripada cubit perut, mending cium pipi.” Ferrrrzaaaa~! Aku pernah memadu kasih dengan Ferza di saat kami masih duduk di bangku SMA.Tiap bel berdering ia pasti langsung stand by di pintu kelas menungguku, ke kantin bareng, pulang-pergi sekolah selalu satu kendaraan sehingga tak heran kalau macetnya Jakarta menjadi alasan wajib bagi kami berdua ketika terlambat tiba di sekolah. Aku pernah begitu mabuk akan cinta pada Ferza.

            Pada akhirnya kami pergi ke Kota Tua. Salah satu daya tarik dari kotaku. Banyak peninggalan zaman Belanda yang masih tertera disana, hanya saja, karena kurang penanganan maka banyak gedung-gedung bersejarah yang hanya menjadi onggokan barang usang tak terawat, namun kadang itu yang jadi daya tariknya.

“Mau tato naga, kupu-kupu atau nama aja ya, sya?” tanyaku minta pendapat.
“Kenapa gak nama aku aja?”

“Sinting! Ya gak lucu lah. Kita kan…” jawabanku menggantung. Ferza, kita kan sudah mantanan dan aku statusnya in a relationship with Figo.

“Neisya! Apa aku harus nembak kamu lagi di depan tukang tato untuk ngajak balikan?”

“Enggak! Norak! Makasih! Hmmm… Aku maunya kamu masang tato sekarang, nama aku, terus kita hunting foto sampai sore dan selanjutnya nyatakanlah perasaan kamu di Bunderan HI! Jam 12 malam. Kalo aku terima, nyebur ke kolam. Gimana? Bernyali gak?”, tantangku centil.

“Ok! Siapa takut!” , jawab Ferza lantang.

“Ya sudah! Buruan buktikan!”, tantangku kemudian. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal karakter seseorang, apalagi kami pernah saling memiliki.

            Huwaaa… siapa yang menyangka kalau hari ini menjadi hari terbaik yang bisa aku habiskan bersama Ferza. Ia tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk mengecup keningku. Aku selalu menjadi objek favorit bidikan SLRnya dan namaku benar-benar terukir di kulit atas nadi kanannya. Ya Tuhan… kenapa dulu kami harus berpisah jika keadaan seindah ini?
“Nggg…za! Aku boleh tanya gak?”, kataku takut-takut.

“Bukannya itu pertanyaan favoritmu ya sebelum menembakkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya?”

“Ehehehe. Aku serius za. Kenapa deh kamu…nggg…kita…”
“Kenapa aku balik lagi ke kamu? Kenapa kita dulu harus bubar? Itu kan yang pengen kamu tanyain?”

“Eh…kok tau. Nggg…iya za. Kenapa?”

Why did I wanna be with you again? well I’ve ever been with her, Sinta, for 3 months. But she doesn’t know me as well as you know me.
“ Kalo soal kita bubaran?”

I’ve fallen in love with Sasha. And she’s not as kind as you. So… I wanna be with you. Again!

“Jadi kamu ngajak balikan karena kamu males sama Sasha, gitu?”

Pertanyaanku belum benar-benar terjawab ketika akhirnya motor Ferza berhenti pun menepi di dekat Patung Selamat Datang. Aku masih penasaran dengan pertanyaanku yang belum terjawab, namun Ferza seakan menghindar dan segera menuju ke Bunderan HI. Tengah malam. 12 teng!

“NEISYA! LISTEN! I AM SORRY FOR ALL OF SORROWS THAT YOU GOT FROM ME. YES, I AM TOTALLY A BASTARD! BUT… WOULD YOU FORGIVE ME AND ACCEPT ME AS YOURS… AGAIN?”, teriak Ferza tak tahu malu.

“Za! Udah! Gila. Eh, ditangkep polisi loh. Ish sumpah…malu-maluin banget.” Jangan ditanya semerah apa pipiku dibuatnya.

“Ahahaha. Aku masih sayang sama kamu, sya. Iya aku bangs*t. Pergi seenak jidat, kembali sesuka dengkul. Tapi sya, aku pengen kita…. BALIKAN!!!”, teriaknya lagi makin norak.

“Iya iya. Kita balikan. Iyaaah! Lo punya gue sekarang, hak milik. Sini dicap dulu.”, teriakku tak kalah noraknya. Ia mendekatiku dan segera ku kecup keningnya. Norak memang. Bollywood sekali, iya! Kemudian aku bisikkan telinganya “Omongan laki-laki itu sumpah loh ya.”

            “I will. Ahahahaha!”, tawanya terhenti seketika saat dirinya sudah mendarat mulus di kolam Bunderan HI. Norak, tapi aku suka. Ya, karena biar bagaimanapun juga kami pernah saling mencinta, memiliki dan menggila bersama. Well, dear emak kota (biar kesannya akrab dan Jakarte banget) I have two boyfriends rite now.

Semanggi, 7 Januari 2013

“Gimana kemarin hajatannya? Seru amat sih udah dianggep anggota keluarga gitu. Padahal kan baru bentar ye lo sama si…ehem…senior kita itu! Ahahaha!”, canda Tita sahabatku.

“Iiiih Titot! Lebay deh. Ya standar. Roti Buaya, Petasan, Ondel-Ondel. Lu tinggal dimana sih begituan aja pake ditanya segala?”, jawabku sebal.

“Lah lo Bbm katanya ada hal seru yang mau diceritain ke gue. Kalo bukan itu, apa dong? Aaaa…babenye Figo minta cucu ye?”, cekikinya kemudian.

“Korban sinetron deh si ibu. Bukan. Gak usah lebay mikirnya. Gak sejauh itu kok. Udah deh. Figo is so yesterday.” Ucapku menggebu-gebu.

“:Lah bukannya lo cinta mati sama dia?”

“Ibarat om Ahmad Dhani, cinta matinya berseri. Dan ini… Cinta Mati 2.”

“Maksudnya?” alis Tita terangkat sebelah. Seentengnya aku jawab bahwa aku sudah menerima Ferza kembali untuk menjadi pacarku.

“Lo putus? Ya Tuhan. I’m so sorry.” ucapnya dengan muka memelas.

“Titot apaan sih! Gue masih sama Figo juga kok. Double FF. Figo and Ferza are mine. Begidu.”

“Sinting. Kalo ketauan gimana?”, tanya Tita sesudah menutupi mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya.

“Ya gak gimana-gimana!”, jawabku enteng sambil menjilati Es Krim Monas murahan.

“Lo… gelo! Kalo mereka tau lo duain, gimana? Kenapa gak milih satu aja sih, sya! Maruk tau gak itu namanya!”

Choose one of them? Gosh, did you know that sun lights to anyone without any exception(s)? Love doesn’t choose. And I won’t choose anything!

“Sya, hidup itu pilihan!”, nasihat Tita sok bijak.

That is life. This is love. Love is totally different from life. Should I spell two of that words to make you understand?”

Sak karepmu! Yang jelas, kalo mereka sampai marah, jangan bawa-bawa nama gue. Sya, lo, gue, Ferza temenan dari SMA. Kak Figo, senior gue yang biar covernya kumuh gitu tapi aslinya baik banget kepribadiannya.“

Well, ini adalah sepenggal kisahku. Kisah cinta yang belum usai. Tak benar-benar baru dimulai. Karena waktu telah membentuk kisah yang begitu panjang dalam kehidupan asmaraku. Setidaknya, ibarat jalanan di Jakarta, aku punya alternatif. Kalau disuruh memilih, aku tidak mau. Hei, banjir Jakarta aja gak kenal objek, masa cinta harus sekasar itu diberikan hanya kepada yang terpilih? Enggak ah! Aye mah cinte ye cinte aje, mo die demen apa kagak, bodo amat. Pan cinte gak kudu memiliki. Mereka mo marah dan pergi, ya seterah. Mo menerima keadaan, yuk mari! Susah amat! Iye gak nyak… nyak? Enyaaaak!

 Menuntut ending untuk kisahku ini ibarat menebak-nebak kapan banjir Jakarta dapat teratasi 100%. Hei, tak selamanya kisah cinta berjalan mulus atau selalu berakhir tragis, kan? Ini baru prolog. Memaksakan ending berarti memperkosa masa depan. Ahahaha! Biar waktu yang menentukan restunya karena aku mencintai keduanya. Titik.


NB : Ferza dan Figo adalah nama anak kunci. 
        Gambar : Cynderland .


Kamis, 08 November 2012

Secangkir Dusta



Lelakiku tak pernah ingkar janji. Karena pada kenyataannya ia tak sekalipun pernah berjanji akan selalu setia bersamaku di sisi...

Di sebuah kedai kopi samping kampus aku meneguk secangkir minuman pesananku. Aku hanya suka kopi hitam manis. Tak perlu campuran lain untuk memberikan kenikmatan bagi lidahku saat mengecapnya.

Aku mengambil sebuah cermin mini dari dalam tas dan melihat pantulan deretan gigiku yang terikat behel dengan manisnya disana. Ah gigiku masih cerah, tak nampak noda kekuningan akibat kafein.

 Kekasihku akan datang. Aku tak mau tampak kusam dihadapannya.

“Sayang. Maaf. Lama menunggu?”, ujarnya kemudian setelah kedua telapak tangannya sempat menutup mataku kala posisi dudukku membelakangi pintu masuk.

“Ah kamu! Bikin kaget saja. Tidak juga. Duduk sini. Bagaimana hari ini sayang?”, keriangan menjalari tubuhku kala ku lihat kekasih duduk dihadapanku. Ah wajah yang selalu aku tunggu, wajah yang selalu menghiasi mimpiku dan menjadi inspirasi bagi setiap naskah cerita karanganku.

“Aku lelah sekali. Tugas tak pernah berhenti menghampiri.” Lelakiku menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Hanya saja kala mengucapkan kalimat ini kedua bola matanya tak pernah membalas tatapan yang kuhujani padanya.

“Itu kan pilihan hidupmu. Jalani saja.” kataku pada salah seorang aktivis kampus kebangganku ini.

            Selanjutnya aku dan kekasih menghabisi waktu dengan saling bercengkrama. Menonton film di bioskop adalah hal yang sesungguhnya tidak terlalu kami gemari. Kekasihku lebih menyukai bernyanyi di dalam ruang karaoke. Cara paling ampuh melepas penat baginya adalah dengan meneriakkan setiap kata-kata yang ada di kepalanya melalui rangkaian nada.

“Ah.. kekasih! Ada apa denganmu? Sudah tiga kali kau lantunkan lagu-lagu bertemakan selingkuh, permintaan maaf, kejenuhan! Hei! Ada apa dengan kita?”, tanyaku lembut pada kekasih yang tampak gamang dihapanku.

“Ah tidak. Aku hanya sedang lelah. Maafkan. Jangan salah sangka, sayang. Jemariku kebetulan saja mengetikkan judul lagu-lagu itu.”, perjelasnya. Ah kekasih! Berhentilah membodohiku!

            Kemudian kami habiskan sisa malam itu dengan bercengkrama sampai tengah malam. Kekasihku tak pernah kehabisan bahan cerita. Ya kekasihku memang pencerita ulung yang punya segudang kalimat untuk diucapkannya dihadapanku. Dan setiap rangkaian huruf yang keluar dari bibirnya akan selalu bertengger manis di benakku. Salah satu alasan aku mengagumi kekasih yaitu karena di mataku seorang orator ulung yang sedang berpeluh memvokalkan pemikirannya secara tajam, lugas dan tegas adalah sangat amat seksi.  

            Kekasih membawaku menembus malam dengan kecepatan 110 km/jam. Dinginnya angin malam tak terasa lagi dikulitku yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Aku hanya tahu memeluk pinggang lelakiku, menyebut nama Tuhanku dan memasrahkan hidupku pada kemampuan kekasih mengendarai motor sport kesayangannya itu.

            “Ada apa Richie?”, tanyaku dengan berteriak lantang dari jok belakang motor kekasih. Pertanyaanku hanya berlalu bersama dengan angin yang terus mengusutkan rambut sepinggang milikku. Ah… Sebetulnya aku tidak butuh jawaban. Aku mengenal kekasihku lebih dari aku mengenal diriku sendiri.

            Aku bukanlah si Maha Tahu, tapi setidaknya aku mengetahuinya. Ada sesuatu yang terjadi pada kekasihku. Bukan perkara yang sulit untuk menebak apa yang terjadi dengan lelakiku itu. Bahasa tubuhnya telah memberikanku jawaban yang paling krusial atas apa yang sebenarnya terjadi.

            Sesampainya di teras rumahku, Richie membuka helm kepunyaannya dari kepalaku dan mematung cukup lama sampai akhirnya ia kecup jua keningku. Ah kekasih, berhenti bersikap terlalu manis padaku. Aku tahu Richie!

            “Selamat malam Bening Karilla. Aku mencintaimu.”, hanya itu kalimat yang terucap dari bibirnya. Kekasihku pergi tanpa membiarkanku membalas ucapan manisnya.

            Hari berikutnya dan seterusnya kembali ku habiskan di kedai kopi dekat kampusku. Aku meminta sahabat-sahabat dan orang kenalan terbaikku untuk membantu menandatangani daftar hadirku di kelas. Aku jengah menatap wajah para dosen yang berlagak berwawasan luas namun tak pernah mampu memberikanku jawaban atas pertanyaan ‘Adakah kekasih akan selamanya kekal menjadi kepunyaanku?’

            Aku tengah memikirkan kekasih ketika kedua bola mataku menangkap bayangan sosok dari jauh yang ku rasakan tengah menatapku. Hitunganku akan ciuman yang pernah kekasih berikan masih menggerakan jari-jemariku kala bayangan itu makin nyata dan akhirnya berdiri di hadapanku.

“Sendirian saja?”, tanya mahluk yang bayangannya begitu menjulang di hadapanku. Mengapa mahluk ini begitu menawan?

“Iya. Ada apa?”, tanyaku pada si mahluk yang wajahnya tampak tak asing bagiku. Entah dimana aku pernah melihat wajah serupa ini.

“Perkenalkan. Saya Rico.”, ujarnya seraya menjulurkan tangannya padaku. Tangan kuatnya sempat membuatku mematung dan lupa diri.

“Ah. Hai. Saya Bening. Mahasiswi Atma Jaya.”, ucapku seraya menunjuk arah di depanku, letak kampus tempatku menimba ilmu.

“Oh kamu anak Atma Jaya juga toh. Fakultas apa? Hukum? Saudara saya disana juga soalnya.”, ucapnya seraya melepas kunciran rambutnya. Wangi segar shampoo yang melekat di rambut lelaki asing dihadapanku diantarkan oleh angin menuju indera penciumanku. Wangi yang sangat mampu membuatku berlama-lama menutup mata, menikmatinya dan berfantasi akan pemilik rambut gondrong-ikal-wangi tersebut.

“Eh! Oya? Siapa namanya?”, tanyaku setelah pulih dari lamunan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa berfantasi gila-gilaan akan cinta terhadap lelaki yang baru saja kutemui tak lebih dari lima menit yang lalu.

“Ah tapi apa mungkin kamu kenal? Ahahaha. Sudah lupakan saja.” Segaris senyum manis selalu mewarnai rahang kokoh nan eksotis milik lelaki dihadapanku ini. Ah kekasih, andai kau tahu betapa godaan keinginan untuk memiliki mahluk berjakun dihadapanku ini adalah dosa terbesar bagi kesetiaanku kepadamu.

“Aku penasaran! Siapa? Lebih baik kamu tidak menyebutnya sedari awal daripada dibuat menggantung. Siapa dia?”, terus saja aku mencari cara agar percakapanku dengannya tak pernah berakhir.

“Richie. Saudara kembar saya. Nama yang sangat umum, bukan? Ahahaha. Tidak mungkin juga lagian kan kamu mengenalnya.”, gelak tawanya semakin mengingatkanku pada sosok yang tak asing bagiku. Tunggu dulu! Siapa? Richie? Hei… itu kan…?!

Ah kekasih. Sejak kapan kau punya saudara kembar? Kenapa selama ini aku tak pernah mengetahuinya? Sebegitu tidakpentingnyakah arti keberadaanku di matamu? Tak cukupkah waktu dua tahun jalinan hubungan itu menjadi bukti keharusan adanya kepercayaan di antara kita?

Pertemuan dengan lelaki kembaran kekasihku berakhir dengan saling tukar nomor ponsel. Aku tak akan pernah bisa tidur dengan tenang nantinya jika melepaskan perjumpaan menakjubkan itu tanpa mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan mahluk yang mampu mematahkan mitos yang berkembang pada peradaban manusia selama ini bahwa keindahan hanya milik alam dan wanita.

Beberapa kali aku kembali bertemu dengan kekasih dan bahasa tubuhnya semakin meyakinkanku akan adanya sesuatu yang salah pada dirinya. Ah kekasih, ada apa? Jenuhkah engkau dengan hubungan ini? Aku masih sungguh mencintaimu. Masih nama belakangmu yang aku bangga-banggakan untuk jadi nama marga yang akan ku letakkan di belakang namaku. Bening Karilla Rumengan. Ah, tidakkah nama itu teredengar begitu manis?

Bayangan akan perubahan pada diri kekasih masih memenuhi relungku kala lelaki itu berjalan lagi menuju meja tempat mahluk imajinasiku memerankan peranan aku dan kekasih yang tengah bertengkar hebat hanya karena masalah kecemburuan. Lelaki itu menarik bangku di hadapanku tanpa minta permisi.

“Teruslah menerawang dan jiwamu akan diusir oleh mahluk lain yang tanpa ijin akan menikmati tubuhmu!”, ucapannya lagi-lagi seketika menghapus angan tentang kekasihku.

“Hei kamu! Sejak kapan ada disini?”, ujarku lembut padanya. Lelaki indah ini selalu ada di kala aku merasa membutuhkan sesosok mahluk berjakun untuk mengisi kekosongan hatiku yang sedang gundah-lelah-tak bergairah. Sedangkan kekasih, ah entah di mana dan adakah namaku masih melintas di pikirannya?

“Harusnya aku yang mengajukan pertanyaan itu. Sejak kapan dan sampai kapan kamu akan selalu berada di sini?”, tanyanya sembari jari telunjuk kanannya memilin-milin rambutnya. Ingin sekali aku mengantikkan jari telunjuknya dengan telunjuk milikku untuk memainkan rambut gondrongnya itu.

“Apa maksudmu? Sebegitu nelangsanyakah aku dihadapanmu? Ahahaha. Tega!”

“Karena mata tak cukup cerdas untuk memantulkan penyangkalan isi hati si empunya. Biar aku tebak. Masalah lelaki?” Ah kekasih, mengapa lelaki yang baru kedua kalinya ku temui ini begitu mampu memahami diriku. Di mana perananmu sebagai lelaki gentleman yang selalu kubangga-banggakan selama ini?

“Haruskah aku menjawab jujur pertanyaanmu itu? Kita bahkan baru bertemu untuk yang kedua kalinya. You’re a stranger, sir! Mommy doesn’t allow me to talk to strangers”, godaku.

“How could you get a new friend if you never talk to strangers, miss?” balasnya. Ah kekasih, kenapa kau tak pernah semenarik lelaki yang satu ini dihadapanku?

“Ahahaha. Ok! Kamu cerdas. Apa? Masalah lelaki? Ya, lelakiku! Tak pernah ingkar janji.”
“Tak pernah ingkar janji? Bukankah itu manis? Lelaki mana yang tak pernah tak ingkar janji kepada wanita yang dikasihinya? Meski sedalam apapun lelaki mencintai wanitanya, namun atas nama ‘manusia’nya, tentu ia pernah teledor mengingkari janji. Tunggu dulu? Atau jangan-jangan lelakimu hanya menjadikanmu tameng?”

“Maksudmu? Aku tak mengerti.”

“Mungkin saja selama ini lelakimu tak pernah menyukai wanita. Sehingga tak pernah ia ingkari janji pada wanitanya karena memang ia tak pernah sungguh-sungguh berjanji akan menyukai lawan jenis?”, tebaknya sok tahu. Ahahahaha! Aku hanya terpingkal-pingkal mendengar ucapannya.

“ Hei, mengapa tertawa? Aku tidak sedang bercanda. Ahahaha!” Ya Tuhan! Getaran cinta mana yang mampu aku dustakan dari mahluk indah di hadapanku ini? Ah, jika aku adalah Nabi Adam, maka lelaki ini pastilah buah terlarang. Aku rela mencicipinya meski itu berarti aku harus mendustakan kesetianku pada-Mu dan pada kekasih!

“Aku tak pernah mengerti ada apa dengan lelakiku.”, ucapku perlahan.

“Ceritakanlah. Aku akan diam dan mendegarkannya.”

“Ah… aku baru sekali bertemu denganmu. Ini adalah kali kedua. Entah mengapa aku harus mempercayaimu.” Kali ini aku sepenuh hati menyampaikannya.

“Karena aku akan memapahmu jika kelak engkau terjatuh.”, ujar Rico serius.

“Maksudmu? Sehabis aku menjelaskan kisahku, lalu aku akan terjatuh, begitu?”

“Ahahaha. Mengapa jadi perempuan terlalu naïf? Pantas saja lelakimu mengecewakanmu. Ah…bukan itu maksudku. Namun percayalah, suatu saat kamu akan memahami maksudku. Nah sekarang, kisahkanlah kisahmu!”

            Aku tak pernah memahami sihir apa yang Rico gunakan untuk memancingku menjelaskan setiap hal yang terjadi antara aku dan Richie kepadanya. Utuh. Aku mulai dari awal pertemuanku dengan Richie, proses bagaimana kami saling berkenalan, berteman hingga akhirnya memutuskan untuk menjalin suatu hubungan.

            “Co, aku tak pernah benar-benar mengerti dengan jalan pikiran kekasihku. Mengapa kode milik lelaki itu sungguh sulit dipahami? Ah. Ada yang berbeda dengan sikapnya belakangan ini. Atau sejak awal. Ah entah, co! Aku pun…”

            “Seorang Bening Karilla pun tak benar memahami perasaannya pada kekasihnya yang sejak awal tak ia sebutkan nama asli lelakinya itu. Begitu bukan? Ahahaha. Well… Aku juga tidak perduli siapa nama asli lelakimu!” Ya Tuhan, lagi-lagi lelaki ini menyunggingkan senyuman bulat sabit di bibir merah-indah-merekahnya. Pasti Engkau sedang sangat berbahagia ya Bapa kala menciptakan mahluk dihadapanku ini!

            “Aku tak pernah benar-benar memahami apa yang lelakiku inginkan. Apa yang terjadi dengannya. Apa yang ia kehendaki. Ia milikku, aku tahu itu. Tapi ada bagian yang hilang dalam hubungan kami ini. Entah apa itu. Semuanya indah. Hanya saja…”

            “Kau tak pernah benar-benar tahu apakah hatinya benar-benar untukmu. Begitu kan maksudmu?”

            “Bagaimana bisa kau tahu?”

            “Karena aku pun mengalami hal yang sama.”, ucapnya lesu.

            “Benarkah? Ya Tuhan! Mengapa kisah kita bisa serupa begini. Ayo sekarang giliranmu menceritakan kisahmu itu!”, tuntutku.

            “Ahahaha. Sudah naïf, galak pula. Pantas saja lelakimu bersikap seperti itu. Baiklah. Jadi begini... Sudah satu tahun aku menjalin hubungan asmara dengan seorang mahasiswi Atma Jaya…”

           
 “….Hah? Mahasiswi Atma Jaya? Ya Tuhan! Siapa dia? Satu kampus dong denganku! Pun dengan kekasih!”, segera aku potong ucapannya sebelum sempat ia melanjutkan kalimatnya.

            “Bening Karilla! Kamu ini! Sudah naïf, galak, tidak sopan pula main memotong pembicaraan lawan bicaramu. Pantas saja lelakimu itu…”

            “Yayaya! Cukup! Kumohon lanjutkan kisahmu!”, tak ingin aku dengar kelanjutan ceramahnya.

“Aku pun akan memanggilnya dengan sebutan kekasih. Seperti yang kamu lakukan, menyamarkan nama asli. Nah, jadi begini ceritanya. Kekasihku sangat amat menarik. Ia baik, cantik dan sopan. Sikap malu-malunya yang sangat membikin gemas. Ia tak terlalu banyak berbicara. Namun sekalinya berbicara, Tuan Shakespare pun akan segera menggantikan nama tokoh karangannya Juliet dengan nama kekasihku. Mengapa? Karena kekasihku sungguh amat hampir mendekati sempurna.”

“Lalu dimana letak permasalahannya?”, tanyaku jengah atas pujian berlebihannya atas kekasihnya itu.

“Belajarlah bersabar nona kecil.”, ia malah kembali memainkan rambutnya. Tak melanjutka ucapannya. 

           
 “Hei! Bagaimana kelanjutannya? Kekasihmu itu hampir sempurna, lalu apa?”

“Hampir sempurna bukan berarti sempurna. Disitulah letak permasalahannya. Ia tak sesempurna yang aku kira. Aku mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dengannya. Semacam ada kepalsuan padanya.”, ujar Rico dengan mimik super serius. Ada kedukaan yang terpahat secara terselubung dari kalimatnya itu.

Plastic surgery?”, tanyaku hati-hati.

“Bahahahahhaha! Ya Tuhan mengapa Engkau pertemukanku dengan mahluk satu ini? Bening…Bening! Namamu memang mencerminkan jati dirimu ya, terutama cara berpikirmu. Terlalu bening! Bahahaha!”

Aku tersinggung dengan ucapannya kali itu. Itu bukan pujian. Aku tahu. Itu semacam penghinaan secara halus. Aku diam saja. Ceritanya sedang memasang aksi ngambek. Andalan setiap perempuan untuk meluluhkan lelaki!

“Ahahahaha! Maaf Bening. Yaaah...jangan marah lah. Kamu ini lucu sekali. Bodohnya kekasihmu itu meninggalkanmu.”

“Aku masih punya status taken and in a relationship dengan kekasihku ya!”, marahku.
“Iya iya maaf. Ok. Lebih baik aku lanjutkan kisahku. Bukan. Bukan tubuhnya yang palsu, anak manis. Tetapi… kecintaanya padaku.”

“Maksudmu?”, entah luluh atau atas desakan rasa penasaran, aku sungguh ingin menyelami lebih dalam kisah cinta mahluk indah dihadapanku ini.

“Tak sadar kah kamu bahwa aku yang bukan mahasiswa kampusmu itu rajin berkeliaran di daerah sekitar sini?”

“Ah banyak orang yang sepertimu. Lagian hal seperti itu kan lazim dilakukan. Bukan perkara besar.”

“Aku ke sini untuk memata-matai kekasihku!”, pertegasnya.

“Benarkah?”, aku tak menyangka sejauh itu hal yang mampu seorang lelaki lakukan demi wanita yang dikasihinya.

“Bukan karena aku tak percaya lagi padanya. Hanya saja, instingku yang menuntunku untuk melakukan aksi konyol ini.”

“Lalu bagaimana hasilnya?” tanyaku penasaran.

Posisi dudukku yang memang berhadapan dengan Rico dan menghalangi pintu masuk membuatku tak menyadari berapa manusia yang lalu lalang ke kedai kopi ini. Hanya saja bibir Rico yang tiba-tiba menganga, pupil matanya yang tiba-tiba membesar dan suara tercekat yang dihasilkan tenggorokannya membuatku memutar tubuh dan mengikuti arah padangannya.

Oh! Hanya kekasih dan sahabatku, Mayla. Tak ada yang spesial disana. Ah mungkin Rico hanya terpengarah saja melihat wajah bulat polos milik sahabatku itu. Meski begitu ada sedikit kecemburuan menjalari nadiku kala menyaksikan Rico begitu terkagum-kagum memandangi Mayla.

“Ini yang aku takutkan!”, ucap Rico kemudian setelah kesadarannya mulai pulih.

“Apa?”, tanyaku polos karena memang benar-benar tak memahami maksudnya.

“ Ya Tuhan mengapa mahluk di hadapanku ini begitu cantik tetapi memiliki keterbatasan dalam berpikir jernih? Tidakkah kamu sadari, itu Mayla kekasihku, sedang bersama dengan kekasihmu, kan?”, tanya Rico dengan nada suara sedikit meninggi.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Palsu. Mayla memacariku namun sesungguhnya ia lebih tertarik dengan Richie, kemabaranku. Ia tak mau menyakitimu sahabatnya yang lebih dahulu memadu kasih dengan Richie.”
“Ya Tuhan!”, ku gunakkan kedua tanganku untuk menutupi mulutku.

“Aku sudah tahu sejak awal kamu adalah kekasih Richie. Aku pernah melihat wajahmu kala kau sedang melalukan kontak Skype dengan saudara kembarku itu. Ingat kan siapa diantara kita berdua yang lebih dahulu memadu kasih dengan pasangannya?”

“Richie pun berusaha menjaga perasaanku hanya karena wanita yang kini menghiasi hatinya adalah sahabatku, begitukah maksudmu?”. Rico tidak menjawab. Ia hanya menaikkan kedua pundaknya, menuntut agar aku mencerna sendiri pernyataanku itu.

Ah ya… kekasih. Aku akhirnya menyadari semuanya. Kamu tak pernah benar-benar berjanji akan setia berada disisiku dan naifnya aku tak pernah menuntut hal itu daripadamu.

“Tataplah cangkir dihadapanmu!”, ujar Rico menganggu lamunanku.

“Ada apa?”

“Secangkir kopi hitam. Manis, meski pahit. Itulah kenyataan kisah cinta kita berdua. Tak seburuk yang tampak, tak semanis yang diduga.”

“Secangkir dusta apakah itu masih ada gulanya?”, ucapku beranalogi.

“Setidaknya takdir mempertemukan dua insan yang sedang dikhianati oleh kekasihnya. Ah, Bening, pernahkah kamu mendengar adanya suatu hubungan yang didasari perasaan senasib sepenanggungan?”, goda Rico. Aku hanya mengakak terpingkal-pingkal mendengarnya. Ah! Wahai kekasih dan kamu sahabatku terkasih, terima kasih atas pengkhianatan pahit ini. Ah tuan takdir, inikah kekasih manis yang kau sediakan untuk kucicipi kini dan kelak? Secangkir dusta pembawa cinta! Ahahaha!

“Hei Bening! Malah Bengong! Jawablah! Ahahaha!”, canda Rico Rumengan.