CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 19 Januari 2013

Cintaku Mentok di Kamu



“Kamu tahu makna cinta mati, sayang?”, tanya Bono sambil mengelus dagu serta pipiku.

“Hentikan! Kau sinting! Gila!”, histerisku.

“Akankah lelaki yang ada di hadapanmu ini mencintaimu sampai mati?”, tanyanya gendheng. Bono termenung sebentar lalu kemudian mengelus parangnya. “Cinta mati itu bohong! Lihat, maukah lelaki ini mati demi menjaga nyawamu, cintaku?”

“Lo bikin muak tau gak! Menjijikkan. Najis!” kuludahi wajah Bono saat ini berusaha mendekatkan bibir brengseknya ke ubun-ubunku.

“Dududu… Lanaku sayang. Kenapa meludah? Kamu haus?”, ujarnya seraya mengelus kedua telapak tanganku yang diikatkannya ke kursi. Menurut analisaku, sudah tiga hari aku disekapnya di ruang bedebu menyeramkan ini.

“Lepasin! Najis lo!”, muakku.

Cinta sejati bukanlah cinta yang harus mati. Cinta sejati adalah cinta yang rela memberi walau hidup dan kenyataan dirasanya sungguh perih.

“Aku sayang sama kamu, Lena. Apa sih hebatnya Mas Ranomu ini? Mobil mewah? Bah, kau pikir aku tak bisa bahagiakan kau dengan harta?”, aku tak menjawab.

“Lihat! Coba saja telanjangi hartanya dan dia tak akan pernah mampu menaikkan kembali dagunya. Laki-laki yang hanya punya harta? Kembalilah padaku, Lena.” Aku sama sekali tak menjawabnya. Diam seribu bahasa terkadang lebih menyakitkan daripada jutaan kata-kata yang menyayat. Dan diam tak selamanya bentuk persetujuan.

“Kita lihat seberapa kuat lelakimu ini Lena.”, secepat hembusan angin parang Bono menghujam jantung Mas Rano.

“Tolooooool! Sintiiiing! Brengsek!”, makiku tak keruan. “Lo! Bangsat! Apa mau lo? Hah?”, histeria tak mampu kukendalikan. Lelaki yang telah menyematkan cincin pertunangan di jari manisku harus meregang nyawa di depan mataku sendiri.

“Aku cinta sama kamu, na. Aku cinta. Reno ini curut murahan. Bukan tandinganku. Banggalah kau bersamaku!”

“Bangsaaaaaattt!” Aku terkesiap. Kurasakan kulit pipiku robek. Baru saja Bono sabetkan ujung parangnya di pipiku. Bau darah segar menjalari hidungku.

“Ya ampun! Bono! Bono gak sengaja, na. Maaf.”, muka beringas culasnya mendadak bagai Helo Kitty manja tanpa dosa.

“Lo beneran gila, no! Psycho! Sinting!!! Brengsek! Mantan bangsat. Bajingan!”, isakku histeris.

Pssst… Diam sayang. Ini karena Bono sayang Lena. Lena mau kan balikan sama Bono?”, ujarnya manis. Rasa bersalah sama sekali malu menghampiri ekspresi wajahnya.

“Cintanya Bono Cuma mentok di kamu, na. Balikan yah. Yah. Nang-ning. Ning-nang-ning-nung.”, senandung Bono bagai sinden. Aku hanya pasrah. Bono pun semakin beringas menempelkan bibirnya pada pipiku. Persis seperti bocah yang baru saja mendapatkan permen kesukaannya.

“Lepaskan aku, no!”

“Tapi janji dulu kita balikan!”

“Iya.” , pasrahku. Sebuah lilitan menyakitkan baru saja terasa melonggar di pipiku kala kurasakan sakit amat luar biasa di dada.

“Dada yang bagus. Ini punya Bono. Bono mau ukir nama Bono disini ya.”. Makin perih kurasakan ketika tangan Bono mulai menembus kulitku, meraba setiap organ tubuhku. Aku kedinginan. Ku dengar suara sirine mendekat. Terlambat.

“Bono, terima kasih.”

“Iya sayang. Bono juga mau berterima kasih. Sekarang kamu jadi milik Bono. Cinta Bono mentok di Lana. Cinta Lana juga bakal Cuma mentok di Bono. Itu ikrar Bono! Dan sekarang, Lana cuma punya Bono yang tersisa untuk dicintai kan? Disini udah gak ada siapa-siapa yang bisa Lana cintai. Iya kan? Mentok sayang. Buntu.” Sesudahnya Bono mengecup keningku dan semua terasa gelap. 

Mas Reno, buntukah jalan di depan sana? Tunggu aku, mas. Aku ikut denganmu. Meski buntu perjalanan yang kita lalui, akan tetap kutempuh asal itu kujalani denganmu, mas.


 NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS

Bales Kangenku, Dong!


Rindu dapat mendera di mana saja dan kapan saja. Mas Arnold, seorang pria tampan, pengusaha muda sukses dengan rahang eksotis dan wangi parfum yang menyegarkan. Mas Damar, seorang pria Jawa tulen dengan logat medok yang tak kuasa disembunyikannya, terasa sangat serasi dengan wajah innocent yang melekat padanya.

Sudah sekitar dua jam aku berdiri di Halte Kuningan ini. Tubuhku sudah terlalu letih untuk duduk dan menunggu lebih lama lagi. Aku tak tahan lagi. Lelah dalam penantian. Sebuah pesan ku kirimkan pada keduanya.
'Mas, dimana? Saya menunggu dari tadi, kok tidak ada kabar.' 

Aku kira ponselku bermasalah. Maka kukirimkan lagi pesan yang sama berulang kali ke kedua nomor yang berbeda tersebut. Masih belum juga ada balasan. Andai mereka tahu apa makna rindu dan bagaimana menyiksanya kata 'butuh' di saat momen yang menuntut adanya kejelasan.

Tiga jam sudah berlalu dan aku masih saja duduk di halte bus ini menantikan dua mahluk berjakun itu. Tetiba sebuah suara menyapa. "Sama saya saja sini!" Aku menghampirinya dan berbicara melalu jendela mobilnya.

"Berani bayar saya berapa?", tantangku sopan.

"Saya sedang butuh! Sudah, berapapun kamu butuh, saya beri! Cepat. Jangan buang waktu saya untuk menunggu!", sentaknya pelan. Ah, mengapa lelaki ini tak selembut mas Arnold atau bersikap manis sesuci mas Damar. Rinduku beranak pinak pada kedua lelaki ini kala hasratku mengalahkan keinginan untuk menanti balasan pesan dari mas Arnold dan Damar.

'Mas Arnold. Maaf. Saya sudah hubungi mas, tapi tak ada balasan. Mas Damar juga sudah saya sms, tapi mungkin sedang menyetir, ya mas? Saya dipakai oleh orang lain dulu ya. Maaf, saya terlalu lama menunggu kalian. Hasrat saya sudah menjerit pilu!'. Send to 2 numbers.

"Mbak, saya perlu ke kantor sekarang loh ya! Kalau masih mau drama-queen sok lambat masuk mobil, saya cari joki lain saja lah! Kenapa? Sudah di-booking orang duluan? Ya sudah, rejeki mbak buat orang lain saja."

"Eh...enggak mas. Saya ikut! Lapar. Lagian langganan saya juga gak bales kerinduan saya akan rejeki dari tadahan tangan mereka.", tersipuku malu-malu pada langganan baruku. Alhamdulillah.


 NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS

Sambungan Hati Jarak Jauh



Cinta sejati sejatinya tahu kapan harus bertahan dan kapan tiba waktunya untuk rela melepaskan. Abimanyu adalah lelaki yang kepadanya aku menjatuhkan pilihan. Hati boleh memilih, namun takdir tetap yang memvonis.

Cinta tak akan pernah mengenal ‘benci’ bila tiada salah satu pihak yang merasa tersakiti. Mas Abi, aku tak pernah merasakan sakit seperih apapun, hanya saja…

“Hei, calon pengantin kok belum tidur? Mesti gugup bener ya nduk?”, dikecupnya keningku.

“Bu, apa setiap awal kehidupan yang baru akan selalu ada pergumulan batin yang mengekori?”

“Nak, Ibu mengerti. Besok adalah hari besar bagimu. Tentukan hatimu, nak. Mantapkan langkahmu. Bapak dan Ibu akan selalu kokoh menyanggamu kelak. Ibu percaya Rangga itu anak baik-baik. Tataplah ke depan, nak. Mata diciptakan di depan untuk menatap ke jalan yang akan kita tapaki kemudian, bukan apa yang telah dilalui. Semua sudah berlalu, nduk. ”

Ibu tak pernah tahu, mereka semua tak ada yang pernah mengerti seperih apa rasanya hati yang tetap terkoneksi tanpa bisa terelisasi kembali. Entah ini hanya ilusi, sekedar halusinasi atau memang intuisi.

‘Mas Abi… Kenapa menatapku seperti itu? Maaf mas. Ini semua keinginan Ibu sama Bapak. Maafkan saya, mas. Saya janji akan merawat Abi junior.’, lirihku perih.

Aku tak akan pernah lupa dengan segala kebahagiaan tak berhujung yang mas Abi limpahkan bagiku. Pernikahan ini… ah aku bersumpah demi Abi junior akan menjalaninya dengan ikhlas.

‘Mas Abi. Senyumanmu manis sekali.’, pujiku tulus. Tanganku terulur begitu saja berusaha untuk menggapai pipi mas Abi.

MasyaAllah Lina. Sadar, lin. Mas Abimu sudah tertanam di tanah merah karena gaharnya demam berdarah. Doakan agar ia bahagia disana, nak.”, isak ibu sembari mendekap dan menciumi keningku.

            Tidak bu, tak ada satupun yang tahu. Raga mas Abi memang berbaring disana, tapi tidak dengan kemurnian cintanya yang selalu setia berhubungan denganku. Meski hati kami terpisah jauh tapi Abi junior ini akan selalu memanggil mas Abi ke sisi. Maafkan aku bu, maaf mas Rangga, anak ini adalah penyatu kekuasaan setelah kematian dan kehidupan yang sedang aku hadapi.



 NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS

Jumat, 18 Januari 2013

Kenalan, Yuk!



Samar-samar udara menghantarkan aroma tubuh lelaki dengan rahang paling eksotis yang pernah ditangkap oleh mataku. Angin tipis seolah menarikan jarinya di kunciran rambut lelaki depan mataku ini. Ah, bisakah jariku yang menggantikan permainan menggemaskan itu?

Aku anaknya paling mudah jatuh cinta. Kemanapun mataku memandang, menangkap bayangan menyenangkan, hatiku langsung sigap berbisik ‘Menarik!’. Namun sebatas ketertarikan tanpa arah. Bukankah Tuhan Maha Adil menciptakan banyak pria-pria tak menarik untuk menaikkan derajat lelaki tampan dan membuat mereka tampak lebih menawan?

Segenap keberanian telah aku kumpulkan. Untuk kali ini ada sebuah bisikan ghaib dari punggungku bahwa lelaki ini harus dimiliki. Aku harus menamatkan namanya dengan apostrophe ‘s di status relationship! Haha!

Tak biasanya aku sebegitu gugup sekaligus liar seperti ini. Suara-suara ghaib dari punggungku semakin meyakinkanku tentang keinginan super untuk sekedar mengetahui namanya. Bagi diriku, seorang penguntit itu salah dan dosa. Untuk apa menguntit seseorang dan membiarkan diri sendiri terluka lalu menuduhnya pemberi harapan palsu? Hei, itu salahmu menggantungkan ekspektasi setinggi itu pada keagungannya!

Ah, Tuhan, kuatkan hamba-Mu ini untuk sekedar menanyakan namanya. Mengapa kulit langsat itu begitu menggoda untuk disentuh? Tuhan, mengapa Engkau tinggikan ketampanannya dengan deretan gigi mengkilap kala ia tersenyum, bulir-bulir peluh menggairahkan tangan untuk mengelapnya, sebuah hidung yang memanggil jemariku untuk menjadikannya perosotan mainan? Ah Tuhan, tega sekali Kau merendahkan jutaan lelaki lain dengan menumpahkan seluruh keindahan padanya.

Aku masih mengintip dari radius 1 meter. Mungkinkah aku menyapanya terlebih dahulu? Ataukah menunggu hingga memutih ujung rambutku tanpa pernah diacuhkannya sama sekali? Ya, jatuh cinta itu memang mudah tapi tidak untuk jatuh hati, ya Tuhan. Dan sepertinya, aku sungguh amat jatuh hati padanya. Bagaimana ini?

Keberanian kian membuncah dalam dadaku dan memaksa kedua lututku untuk berdiri tegak. Dari jauh sudah kugantungkan telapak tanganku di udara, bersiap untuk menjabat miliknya sembari mengucap ‘Hi, kenalan yuk!’. Adrenalinku semakin terpacu kala jarakku dengannya semakin menyempit hingga tibalah aku di depan pandangannya. Ia menatapku sejenak, dan sebelah tanganku masih menggantung di udara.

Aku hampir saja menjabat tangannya hingga seseorang  lebih dahulu menarik tanganku…

“Hi! Kenalkan. Saya Rama. Pacarnya Andrew, cowok yang sedang kamu pandangi sekarang ini. Ada yang bisa dibantu? Percuma kamu ajak dia ngomong, Andrew itu tuna rungu, sayang. Tapi apapun keadaannya, Rama will always be with you, ndrew.”, ucap Rama centil sekaligus ramah. Cinta memang tanpa alasan, makna dan dugaan.  Saya terkesima melihat pancaran cinta yang meluap-luap di mata Rama, semacam cinta yang penuh kehangatan, pengorbanan dan penyerahan diri.

“Ya, Halo Rama. Senang berkenalan dengan Anda. Sampaikan salamku untuk Andrew.”, ucapku sambil melambaikan tangan pada Andrew yang dari tadi seolah berusaha membaca gerakan bibir kami. Ya Tuhan, Engkau memang adil, dibalik kesempurnaan, pasti ada satu kekurangan. Dan kekurangan terbesar bagiku adalah Andrew sudah lebih dahulu menjatuhkan hatinya pada lelaki dengan otot bisep terindah itu, Rama yang penuh perhatian. Ahahaha. Tapi setidaknya cinta mereka mengajarkanku banyak hal, keberanian untuk menerima cinta apa adanya pun memperjuangkannya tetap yang paling utama.


NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS

Kamis, 17 Januari 2013

From the Shawnee People


"So live your life that fear of death can never enter your heart.
Trouble no one about their religion; respect others in their view, and
Demand that they respect yours. Love your life, perfect your life,
Beautify all things in your life. Seek to make your life long and
Its purpose in the service of your people.


Prepare a noble death song for the day when you go over the great divide.
Always give a word or a sign of salute when meeting or passing a friend,
Even a stranger, when in a lonely place. Show respect to all people and
Bow to none. When you arise in the morning, give thanks for the food and
For the joy of living. If you see no reason for giving thanks,
The fault lies only in yourself. Abuse no one and nothing,
For abuse turns the wise ones to fools and robs the spint of its vision.


When it comes your time to die, be not like those whose hearts
Are filled with fear of death, so that when their time comes
They sweep and pray for a little more time to live their lives over again
In a different way. Sing your death song and die like a hero going home."


Chief Tecumseh

Cuti Sakit Hati



Laporan Kepada Tuan Cupid,
Tuan, maaf hari ini sepertinya saya membutuhkan partner untuk melaksanakan tugas saya. Banjir yang melanda ibu kota membuat jutaan janji harus dibatalkan dan kepingan kekecewaan harus berserakan terhanyut oleh air. Tuan, bisakah tuan mengirimkan seseorang yang dapat dipercaya untuk membantu saya?

Sebuah perkamen telah saya titipkan kepada merpati putih untuk disampaikan kepada tuan saya, Mr. Cupid. Ya, saya adalah seorang agen Cupid. Tugas saya cukup mudah, membuat dua hati yang terpaut jauh untuk saling berani mengungkapkan keinginan masing-masing untuk memiliki. Banyak pasangan yang berhasil saya pertemukan di dalam misi ini, namun tak sedikit juga pasangan yang awalnya saling mengasihi harus terpisah hanya karena ego yang tak mampu direda. Fiuuh…para manusia-manusia ini.

“Permisi… Saya Pluto.”, sapa hangat sebuah suara dari arah belakang.

“Eh, kaukah utusan Tuan Cupid? Wah cepat sekali. Padahal perasaan… Ah, lupakan. Hei, kau datang sendiri?”

“Iya saya sendiri.”

“Hmmm, baiklah. Tugasmu cukup mudah. Buatkan saja daftar nama para manusia yang patah hati ataupun tidak mampu melanjutkan hidupnya karena serpihan hatinya terlanjur menyayat lapisan jantungnya. Ingat, meskipun tugas kita terlihat mudah, tapi para manusia ini adalah mahluk-mahluk paling mulia di muka bumi yang paling tidak mampu memahami perasaannya sendiri. Maka tugasmu tak semudah yang kau bayangkan. Sebentar mereka bahagia, sepersekian detik bisa meraung-raung luka karena cintanya sebatas harapan semu. Mengerti?”, kalimatku sanggup membuatku mengambil tarikan panjang nafas.

“Baik. Hmm, maaf sebelumnya, saya ingin bertanya. Haruskah saya memanggil Anda dengan sapaan Nyonya? Oiya, maaf, kita belum berkenalan.”

“Ah, tak perlu. Cukup sapa saya dengan nama panggilan saja. Nona, itu nama saya.”

          “Nama yang indah. Baik Nona. Siap melaksanakan tugas.”, tegasnya seraya tersenyum.

Nah, cukup mudah bukan tugas menjadi seorang Agen Cupid. Iya, kami biasa disapa Matchmaker ataupun Mak Comblang. Tapi tunggu dulu, bukan berarti karena pekerjaan kami, lalu kami sanggup melakukan hal yang sama kepada diri kami sendiri. Ingat bagaimana seorang hair stylist tidak mampu menemukan ketombe di pangkal ubun-ubunnya kan? Nah, pun begitu dengan kami.

Aku memang menyamar menjadi seorang manusia biasa. Tugasku hanya mencomblangi orang-orang. Ya sebetulnya aku bukan benar-benar seorang manusia, hanya saja anak tunggal dari keluargaku The Chamomile Family, terkena kutukan yang mewajibkanku menemui kebahagiaan. Misi hidupku adalah pencarian cinta sejati untuk melepaskan kutukan kelabu ini. Dengan adanya seseorang yang benar-benar mencintaiku, aku akan kembali ke wujudku semula, agen cupid yang sempurna, seorang peri jelita. Ah, tak sabar aku menantikan masa itu. Tapi, dimana laki-laki yang mampu membantuku mewujudkan impian itu?

“Nona, maaf.”, sebuah suara membuyarkan lamunanku.

“Ya? Apakah kau menemui kesulitan?”

“Haduh. Apakah para PHP (Pemberi Harapan Palsu) itu adalah benar-benar manusia?”

“Ahahaha. Apa maksudmu?”

“Kau tahu sendiri kan. Di dunia kita, Fairly Island sana, hanya mengenal dua jawaban untuk statement cinta, hanya : ya atau tidak. Semudah itu. Lagipula, bukankah kejam memberikan harapan tanpa pernah membiarkannya terwujud?”

“Itulah manusia. Lagipula, kumpulan perasaan manusia itu ibarat gunung es. Tunggu sampai kau menyelaminya lebih dalam.”

“Dan menyelidikinya itu ibarat bola salju. Itu kan maksud anda, Nona? Ahahaha. Aku bersumpah tak akan pernah lagi memimpikan menjadi manusia. Mereka ini sungguh sulit dimengerti.”

“Iya. Aku berjanji akan membantumu untuk cepat-cepat pulang ke negeri asal kita. Asalkan kau  mau berjanji untuk kooperatif. Bagaimana?”

“Setuju.”

“Bagus!”, aku mencoba beranjak dari bangku taman yang kami duduki bersama. Namun Pluto menarik tanganku.

“Tunggu. Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan. Sebetulnya kamu…mmm… Sampai kapan kau akan menjadi manusia, Nona?”

“Untuk apa kau tahu?”, sentakku.

“Aku hanya… Entahlah. Tuan Cupid pernah mengungkapkan bahwa kau adalah seorang peri yang, maaf, dikutuk. Bolehkah aku tahu apa penyebabnya?”

“Bukan urusanmu.” Apa maksudnya dia berkata begitu? Ingin menjadikanku bahan olok-olokkannya.

“Tapi aku ingin membantu!”, ujarnya sok tahu.

“Kau! Jangan pernah meremehkanku untuk menemukan cinta sejatiku.” Aku merasakan cincin terkutuk yang memberikan sinyal perasaanku memerah. Merah pertanda marah. Ya Tuan Cupid, mengapa lelaki ini merendahkanku begini?

Aku benci sekali dengan sikap kurang ajarnya ini. Sangat menghina! Saat kurasakan perasaan tidak menyenangkan berkecamuk di hatiku yang memang sedang menjelma menjadi seorang manusia, aku merasakan tubuhku dipaksa berbalik. Tiba-tiba kehangatan menjalari tubuhku kala sebuah kecupan singkat dan cepat melayang di keningku. Tunggu dulu! Perbuatan siapa ini? Hei, tapi mengapa tubuhku terasa ringan melayang begini?

“Jangan marah padaku. Maaf Nona.” Sebuah pernyataan hangat menjalari gendang telingaku. Siapa itu? Ah siapapun dia, aku tak mampu membuka mataku. Perasaan melayang ini belum pernah kurasakan kembali. Hei, kurasakan cincinku mendingin. Biru? Bahagiakah aku? Ah… Tuan Cupid. Biarkan aku cuti untuk sementara dari kelabu hidup. Cuti sakit hati karena terlalu lama menyendiri dalam pencarian & penantian yang tiada henti.

Sebuah akal sehat merasuk ke tubuhku! Tunggu dulu… Yang daritadi berada di dekatku kan hanya…? Hah, apa iya dia lelaki yang disiapkan takdir untukku! Tapi, dia kan, si lelaki sok tahu yang hanya menambah rengutan di wajahku! Hei tuan Cupid, ini apaaa? Arrrgggh! Kenapa.harus.Pluto?  

‘Aku harus mengirimkan sebuah perkamen untuk meminta pertanggungjawaban Tuan Pluto’, batinku.

“Nona, apa kau baik-baik saja? Ayuk kita pulang, saya harus segera menyelesaikan laporan kepada Tuan Cupid. Heeei!”, terpaksa ku dengar sebuah suara yang sangat dekat denganku, yang tak-lain-dan-tak-salah-lagi adalah milik Pluto. Apa ini yang dinamakan ‘takdir cinta yang akan menemukanmu, dimana saja kapan saja tanpa pernah bisa kau tebak pun cegah’? Iiish!



 NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @wangiMS


Orang Ketiga Pertama



Aku selalu membenci setiap kalimat buruk yang orang sematkan pada Ibu. Ibuku bukan wanita jalang. Ia hanya seorang wanita yang harus menderita karena suaminya yang tak pernah pulang, menghilang karena wanita jalang yang sesungguhnya.

“Dasar anak lonte! Gincu noh ditebelin! Eh, lakinya siapa lagi noh yang dibawa emak lu?”, teriakan mereka begitu menganggu ketentraman batinku. Mereka tak pernah tahu bagaimana ibu bekerja untukku, mencari sesuap nasi untuk membantu pencernaanku tetap bekerja dengan baik.

“Ibu, carilah pekerjaan yang halal. Aku benci bagaimana mereka memperlakukanmu, bu!”, ucapku suatu subuh kala aku terjaga dan mendapati ibu hanya duduk merenung. Aku tahu tubuhnya disitu, tapi tidak dengan pikirannya yang berkelana entah kemana.

“Buuu! Dengarkanlah aku. Aku malu bu.”, ucapku takut-takut karena ibu tak kunjung menanggapi ucapanku.

“Pekerjaan halal? Ibumu berkeliling menjajakan gorengan dan kamu bilang ndak halal? Kamu malu kenapa, nak? Malu karena ibumu yang menjanda sudah cukup lama?”

“Ibu janda? Bukankah Bapak belum mencera… maaf bu. A.. Aku lancang.”, segera kutangkupkan kedua tanganku ke bibir. Tak sepantasnya aku berkata seperti itu kepada Ibu.

“Kau benar, nak. Ibu bukan janda. Karena memang Ibu tidak pernah menikah dengan Bapak.”, mimik Ibu sangat tak seperti biasanya. Aku belum pernah melihat adonan ekspresi seperti itu yang telah melumerkan kekecewaan, keputusasaan dan kesakitan yang teramat menakutkan.

“Ibu… maaf. Ibu sepertinya perlu istirahat. Ucapanmu ngelantur bu.”

“Juminten, usiamu beranjak remaja. Takdir menuntutmu dewasa sebelum masamu, nduk. Berhentilah berpura-pura tak memahami apa yang Ibumu katakan. Duduk dan renungkanlah. Sini nduk.”, ucap Ibu sambil mengulurkan kedua tangannya dan meletakkan kepalaku di atas kedua pahanya. Tangan kirinya meraih sisir yang terletak tak jauh dari kasur kapuk kami dan tangan kanannya tak henti mengusap kepala hingga rambutku.

“Bu… Itu tadi Inten salah dengar kan? Ibu ngelantur kan?”

“Itu sejarah, nak. Tak bisa dihapus. Hanya saja, kau bisa belajar darinya. Jangan seperti Ibumu ini.”

“Ibu ngomong apa? Bapak kan pergi karena tante heboh yang dandannya norak banget itu datang dan membawanya ikut serta, bu. Iya kan? Karena bapak ganjen kan bu, kegatelan!”, ucapku sambil mendongakkan badan. Tidak mungkin Ibu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Bapak. Lah wong jelas-jelas Bapak pergi dengan suka rela diseret oleh perempuan gendeng itu!

“Itu yang selalu Ibu katakan padamu, nak. Ibumu ini orang ketiga dalam hubungan rumah tangga orang. Kamu tahu kenapa kita hidup seperti ini? Ini karena salah ibu. Dulu, Tante Mar, suami Bapakmu, ia yang memperkerjakan Ibumu di rumahnya. Ia sangat kaya raya. Tapi ya…tak mampu merawat diri, apalagi mengurus suami.”

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan Ibu?”

“Hush! Ibu kan sudah ajarkan. Jangan memotong pembicaraan orang tua. Hubungannya itu… Ibumu yang rantau jauh-jauh dari Wonosobo ini ndak tahu diri. Ibu tergoda sama rayuan Bapakmu. Ibu pikir, Bapakmu itu yang kaya raya. Ibu kira, dengan menjadi ‘simpanan’nya Bapakmu, Ibu bisa keciprat kekayaannya. Tapi ya…”, senyum centil Ibu samar terlihat kala disebutnya Bapak.

“Ya Gusti Ibu… Jadi. Aku ini anak haram? Ibu! Kenapa tega sekali.”

“Hush! Kamu gak usah berlebihan gitu, kayak yang disinetron-sinetron aja. Cukup Tante Mar yang heboh seperti itu, anak Ibu yang cantik ini ndak perlu ikut-ikutan.” Anehnya, bisa-bisanya Ibu tersenyum saat menanggapi amukanku.

“Bu! Apa itu berarti Ibu adalah orang ketiga di dalam keluarga mereka?”

“Ya.”

“Bukankah Bapak tidak punya satu pun anak kandung di dalam pernikahannya dengan Tante Mar?”

“Ya.”

“Dan bukankah Tante Mar hanya punya satu anak kandung bernamaRobert dari pernikahannya dengan mantan suaminya itu?”

“I..iya. Tapi kenapa toh nduk?”, desak Ibu kebingungan.

“Bu… pernah dengar istilah ‘kepalang-tanggung’ kan? Ibarat bermain di lumpur, sampai ke mata kaki, kita sudah kotor. Kenapa ndak sekalian kita ceburkan diri saja ke kubangan dan menikmati permainan lumpurnya?”, seketika tubuhku yang masih tertidur di pangkuan Ibu tersentak dan senyuman kemenangan entah dari mana asalnya merekah manis di bibirku.

“Maksudmu opo toh? ‘Ra ngertos aku. Duh Gusti.”

“Tante Mar bu! Tante Mar yang jalang. Tante Mar yang merebut Bapak dari kita. Tante Mar yang… yang masukkin Ibu supaya tinggal di gubuk ini kan?”

“Lah terus?”

“Dandani aku bu! Aku tahu Ibu pandai memoles bedak serta gincu dengan anggun. Itu yang bikin sirik ibu-ibu sekitar sini kan, kecantikan dan kemampuanmu memahami kelebihanmu itu bu. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita, bu! Robert… 21 tahun! Aku bakal punya anak darinya, bu! Kita bakal berhenti jadi miskin dan menderita. Dan Ibu bakal bisa tinggal di rumah gedongan itu lagi!”

“Ndhasmu! Edan kowe! Ndak. Emoh. Emoh Ibu! Ndak!”, tolak Ibu mentah-mentah.
“Percaya bu. Aku pasti berhasil. Robert akan jadi suamiku dan kita kembalikan kehormatan kita berdua bu. Persetan dibilang jalang. Kalau kita menang, toh mereka pasti akan nyambangin kita juga kalau butuh uang.”, senyuman nakal tersungging di bibirku.

“Kalau kita gagal?”, tanya ibu ragu.

“Kita bakal jadi orang ketiga pertama yang pernah berusaha dan berjuang sekeras ini untuk mengembalikan nama baiknya di tengah masyarakat bu. Tuhan juga ndak tidur, bu. Dia kasihan pasti liat kita susah melulu. Lagian tante Mar kan rumahnya ndak cuma satu. Warisannya Robert juga berjubel kan? Robert itu bukanya terlalu lugu ya, bu? Serahin sama Juminten bu. Eh, tunggu, mulai sekarang namaku bukan Juminten lagi. Panggil aku Intan.” Kulihat kedua rahang ibu menganga tak keruan. Ahahaha. Lihat saja bu, kita akan berhasil!


                                  

NB : #13HariNgelogFF @momo_DM @WangiMS
          Gambar > Pelukis : Mas Ryan Toro 

Senin, 14 Januari 2013

Pukul 2 Dini Hari



Masih teringat dalam benakku bagaimana sulitnya aku memilih nomor ponsel yang katanya ‘cantik’. Aku sudah menyiapkan budget, tapi entah kenapa yang tersisa hanyalah tinggal 1 nomor ‘cantik’ yang sayangnya harus berakhiran 666. Ish! Itu kan angka…? Hiii serem! Tapi ya, percuma kan hp kece kalau nomornya kurang menarik? Ahahaha!

Hei, aku punya seorang kekasih yang jika dalam bahasa Inggris selalu ku teriakkan padanya : “Hei Mr. Galang, You know what? I love, like, need, want and even really adore you!” Sempurna banget kan rasaku ini untuknya? Eh tapi tunggu, lagi-lagi huruf G itu bukannya kalau ditulis sedikit kegaulan bin alay jatuhnya malah jadi angka 6 ya? Ya terus kenapaaa?

Ada yang berniat mengetahui tanggal ulang tahunku? Siapa tahu saja bersedia memberikanku hadiah cantik, misalnya? Harap dicatat dan diingat ya, aku terlahir pada tanggal 6 Juni 1993. Angka cantik kan? Ehehe. Kata mama, aku terlahir normal, yang berarti aku memang ingin dibrojolin saja pada saat itu. tanggal enam bulan enam di tahun yang jika kedua digit terakhirnya dikurangi maka menghasilkan angka 6 lagi yang itu berarti…? Fiuh, lagi-lagi angka 6 dan triple 6 kan? Nah!  

“Hai Chacha sayang! Eh, kamu udah ngerjain tugas belum?”, teriak suara diseberang telepon sana.

“Hola Galang. Kamu dimana deh? Kok teriak-teriak?”, jawab Chacha tak kalah kencangnya. Bagi Chaha si perempuan yang notabene bersuara melengking wajib mengarahkan seluruh tenaga kalau harus beradu dengan suara tenor milik Galang.

“Di hatimu!”, goda Galang.

“Norak! Norak! Katrok!”, sentak Chacha cepat.

“Ahahahaha… Eh cha. Tebak deh. Tanpa disengaja ya, masa sekarang kita teleponan pas jam 6 sore, gitu cha! Denger gak ada adzan maghrib gitu kan?”

“Eh iya, ya. Yaudah deh. Daaaa Mr. Six.”

“Hah? Apaan tuh?”

“Kamu kan pacarku. Nah, akunya Ms. Six. Gak inget ya segala hal yang berkenaan dengan aku pasti gak jauh-jauh dari angka 6, iya kan?”, manjaku.

“Eia. Ya sudah gih, sana. Bukannya kamu harus les piano ya?”, usirnya lembut.

“Iya. Nyebelin ya. Masa malam-malam harus les piano sih? Bikin ngantuk. Mending kalo piano jazz, pop atau koplo kek gitu. Niat banget sih si mama masukkin aku ke kelas piano klasik! Emang lagunya Mozzart mau disenandungin? Hih!”

“Ahahaha. Jangan ngeluh terus. Jalanin aja. Goodluck, Ms. Six. Ahahaha! Love you!”

Miss you already. Smoochy smoochy.”, ucapku menutup pembicaraan di telepon.

Begitulah hari-hari dan kehidupanku. Selalu dipenuhi dengan rangkaian angka 6. Tapi toh siapa yang peduli? Ini kan hidupku. Sama seperti setiap 6 detik sekali nama Galang selalu melintas seenak jidat di benak aku, atau setiap hari berturut-turut setiap Senin hingga Jumat ditambah hari Sabtu ataupun Minggu yang mewajibkan kami bertemu terus menerus. Ehehehe, kenapa 6 bukan 7? Karena cinta kan butuh libur, biar ada kangennya juga, kan?

Aku menyadari bahwa rangkaian triple 6 itu memang angka keramat. Angka Dajjal dan Lucifer. Tapi ya ampun, demi keagungan dan kebahagiaanku, aku bersumpah akan mengkhianati Tuhanku jika itu membuatku bahagia kok. Hmmm, menghabiskan sisa hidupku bersama dengan lelaki yang paling kita cintai di muka bumi, bukankah itu impian setiap perempuan?

Pendetaku pernah berkata bahwa Tuhan tidak pernah menyuruh umat-Nya memeluk agama tertentu, yang Ia minta hanyalah “Ikutlah aku!”. Nah, iya, aku mengikuti-Nya kok. Aku memasrahkan seluruh jiwaku pada-Nya. Tapi tidak dengan hatiku. Eh, hatiku juga bagi-Nya kok. Aku ikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Bukankah aku umat-Nya yang baik?

Tapi tunggu… Apakah mengikuti Tuhan juga harus menyerahkan hatiku seutuhnya bagi kemuliaan nama-Nya? Wah, kalau hatiku, sudah ku persembahkan khusus bagi Galang. ‘Hmmm, Tuhanku sayang, demi lelakiku, aku akan mengikuti kemanapun ia pergi. Maaf ya. Itu ikrarku.’

Lamunanku tentang pernikahan sederhana nan kudus sedang memenuhi anganku ketika rasa kantuk menyerangku. Aku tertidur dan mimpiku sangat indah. Galang menghampiriku dan tersenyum indah. Ah Tuhan, apa aku bilang? Galang itu indah bukan kepalang. Aku bersumpah akan menghambakan hatiku pada lelakiku seorang. Ehehe. Agak over dramatis, ya?

Drrrrt. Drrrrrrt. Pukul 2 lewat 6 menit dini hari. Sebuah pesan masuk ke ponselku.

Innalillahi wa'inaillaihi roji'un.Telah berpulang ke sisi Tuhan, anak, saudara, sahabat terkasih kita, Galang Maheswara pada pukul 2 dini hari. Semoga kita yang ditinggalkan diberi ketabahan dan Galang terkasih diberi tempat terbaik disisi-Nya.’

Kala membaca pesan itu, entah mengapa aku tidak terkejut. Bahkan air mata seolah enggan membasahi pipiku. Satu hal yang aku tahu : Tuhan pencemburu. Hih, aku kan bukan anak-Nya! Aku ini anak Lucifer, bukan? Lihat saja, segala hal di dalam hidupku selalu berkaitan dengan triple 6. Kenapa harus cemburuan, sih? Kenapa harus merebut kebahagiaan orang lain sesuka hati-Nya? Curang!  


NB : #13HariNgeblogFF @momo_DM @WangiMS

Perempuan Tanpa Nama



Kala itu, matahari tampak takut-takut menunjukkan wajahnya. Awan hitam mengikuti irama angin, berjalan lambat menuju satu titik yang tak pernah ada yang tahu ujungnya. Langit diliputi kelabu pun mahluk-mahluk penghuni bumi terburu-buru mencari tempat berteduh. Mereka dengan keagungannya bahkan bisa sebegitu takut dengan bulir-bulir hujan.

Hanya ada sesosok manusia yang tak terpengaruh akan hal itu. Perempuan tanpa nama. Tak pernah ada yang tahu sejak kapan keberadaannya di bangku taman itu. Tak pernah ada yang peduli dengan perihal yang membuatnya sulit menyunggingkan sebuah senyum indah walau hanya sedetik. Perempuan cantik tanpa nama yang mungkin saja gila karena tak pernah bersuara.

Apa yang para manusia itu takuti pun akhirnya terbukti. Dewa Langit menjatuhkan air  matanya, entah Beliau sedang berduka karena apa. Bagi perempuan tanpa nama itu, tak pernah ada yang lebih rapuh dari padanya. Ia tahu, bahkan satu titik air hujan yang menjatuhi ubun-ubunnya, mampu memporakporandakan serakan hatinya yang telah berupa puing-puing.

“Hai! Bolehkah aku duduk sini?”, sapa sebuah suara. Perempuan tanpa nama tak menggubrisnya sedikitpun.

“Namaku Gregorius, cukup kau panggil Gregy.” Riang, kesan pertama yang tergambar dari sosok berjakun ini.

Perempuan tanpa nama pecinta hening. Ia hanya bungkam.

“Ada apa denganmu? Kenapa hujan-hujanan seperti ini? Kau bisa sakit.”

“Bukan urusanmu! Diam dan menjauh dari saya!”, ketus perempuan tanpa nama. Untuk pertama kalinya ia gunakan kembali pita suaranya yang sempat lama berhibernasi.

Alih-alih menjauh, lelaki itu justru mengulurkan payung hitamnya.

“Kemari. Mendekatlah. Tetesan hujan ini akan membuatmu sakit. Siapa namamu? Adakah sesuatu yang mengganjal hatimu? Mungkin aku bisa  membantu?”, sapa Gregy sangat lembut.

Teng. Teng. Dentang jam gereja dekat taman mulai berdenting.

“Itu! Gerejamu! Pergilah! Aku tak membutuhkan bantuanmu, gerejamu atau bahkan Tuhan tololmu itu!”, maki perempuan tanpa nama.

“Ya Tuhan! … Semoga Allah Bapa mengampunimu. Ada apa denganmu? Mengapa kau berkata seperti itu? Tuhan Maha Pengampun pun Penolong. Datanglah pada-Nya. Ia akan membantumu. Aku pun dengan penyertaan-Nya akan membantumu!”

Tiba-tiba perempuan tanpa nama itu malah tertawa. Tawa yang mengerikan, semacam kumpulan kebahagiaan kekal milik Lucifer.

“Kau tolol! Aku berani bertaruh demi namaku sendiri bahkan engkau dan Tuhanmu itu tidak akan mampu melakukan apapun untukku. Idiot!”, seulas senyum beringas samar tersungging di bibir perempuan tanpa nama.

“Apa yang kau bicarakan? Tuhan itu Raja segala Raja. Mari. Ikut aku. Kita menghadap pada-Nya. Aku yakin sekali dia mampu menolongmu?”, ucap Gregy sembari menggenggam ujung salib Rosario yang dikalungkannya.

“Menolong katamu? Bodoh! Ia tak mungkin mampu!”

“Apa masalahmu? Ia pasti akan menolongmu. Percaya padaku. Aku pun akan membantumu.”

“Hei frater, kau frater kan? Nikahi aku! Ayo! Aku bilang, nikahi aku! Itu adalah pertolongan untukku. Mampukah kau atau Tuhanmu entah siapa itu mampu menikahiku? Aahahaha!”, tawanya makin melengking nyaring.

Frater Gregy membisu. Ia tidak tahu harus menjawab apa pernyataan yang baru saja didengarnya itu.

“Kau dengar itu? Aku hamil. Entah siapa ayah dari anak ini. Aku tak ingat mantan pacarku yang keberapa yang menanamkan benih ini. Kedua orangtuaku malu lalu mengusirku. Aku anak tunggal yang dicoret dari daftar keluarga karena telah mencorengkan tinta hitam diwajah bapak. Nah, sekarang, siapa yang akan menikah denganku demi bayi ini? Kau? Atau Tuhanmu itu? Ahahaha, menikahi Tuhan? Lucu juga. Mungkin namaku akan menjadi termashyur berabad-abad lamanya. Perempuan tanpa nama yang beristrikan Tuhan! Hmm… Ada berapa banyak para pengikut Tuhan? Wah… Apa saja yang mampu mereka persembahkan pada istri Tuhanmu?”