CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 30 Desember 2012

Prolog


Jakarta adalah kota metropolitan yang katanya tak pernah tidur. Bukankah cinta juga tak mengenal istirahat? Menurutku rasa cinta itu seperti Jakarta, tak pernah lelap dan selalu terjaga. Aku hidup, lahir dan tinggal di Jakarta. Semua orang yang menetap di ‘daerah’, ingin sekali menginjakkan kakinya ke Jakarta. Mungkin sama dengan orang Jakarta yang ngebet pingin merasakan ke luar negeri. Namun untuk saat ini, aku belum kepikiran untuk keluar dari Jakarta, karena di sini, di tempat ini, aku punya puzzle rasa yang harus aku pecahkan. Ah Jakarta!

Setu Babakan, 2 Januari 2013

“Sayang, sini aku suapin. Aaak! Ayo dibuka mulutnya..!”, goda Figo kekasihku yang telah aku pacari satu tahun belakangan ini. Ia adalah seniorku di kampus. Jarak usia kami 2 tahun.

“Figo! Aku udah 19 tahun loh yah! Kuliah jurusan hukum semester tiga. Kenapa masih diperlakukan seperti bocah sih?”, jawabku sebal.

“Neisya cantik, kamu itu baby face banget loh yah. Tinggi badan 149 dengan berat badan 40 kg. Mini. Mihihi… ralat deh! Maksudnya imut.”, jawabnya sambil menyuapiku Kerak Telor.

Mbok yo nyadar toh mas’e. Malu sama rambut gimbal sepunggungmu itu. Muka sangar, gaya gahar, ngomongnya moso klemar-klemer gitu? Ahahahaa. Eh eh… I love you so”. bisikku lembut di telinga kanannya.

            “Nah kan gantian kamunya yang munyu-munyu. Ahahaha. I love you more.”, jawabnya lantang sembari mengecup keningku.
“Eh itu ondel-ondelnye udeh nongol. Mpok Lela begimane? Udah cakep pan? Permasalahannye pan nih kawinan doi nyang punya hajatan.”, peringatku sembari memperbaiki posisi kebaya Betawi modern warna orange. Hari ini kakak perempuannya akan dinikahi oleh seorang pemuda Betawi juga, dan aku yang telah dianggap jadi ‘bagian dari keluarga’ pun ikut menjadi seksi sibuk di hajatan ini.

“Salah sayang! Nyang punya hajatan entu si babeh! Mpok Lela mah enak tinggal nungguin roti buayanye aje.” Ahahaha ya Tuhan, pacarku ini kalau berbicara nyablak sekali, tapi justru di situ letak daya tariknya.

Selanjutnya bunyi petasan yang baru saja dibakar memekakkan telinga semua hadirin yang ada disitu. Tanpa ada yang tahu, Figo sempat mencium pipiku secara mendadak dan dengan sempurna membuat pipiku bersemu merah dengan mata membelalak dan mulut menganga.

Di kota ini aku belajar merangkak, berbicara, mencinta bahkan mencicipi pahitnya hidup ditemani asinnya air mata yang tanpa sengaja meluncur ke mulut. Orang bilang, Jakarta lebih kejam dari ibu tiri. Masalahnya aku tak punya ibu tiri (dan ya Tuhan jangan sampai aku memilikinya) sehingga aku tak pernah bisa menyetujui ataupun menyangsikan pernyataan tersebut. Tapi setidaknya, cinta seseram ondel-ondel hingga secentil banci Taman Lawang dapat aku jumpai di kota ini.

Kemang, 5 Januari 2013
“Neisya! Ikut aku hunting foto yuk. Di Kota Tua. Sekalian masang tato-tatoan. Atau kamu maunya apa? Ke Fatahilah?” ajak Ferza.

“Kapan kapan? Ayuk. Aaaa…mau mau! Tapi naik apa?”, jawabku centil.

“Kamu maunya apa?”, Ferza ini…selalu dan selalu saja memprioritaskan kehendakku.

“Loh kok nanya balik? Hmmm… Bus Trans Jakarta aja kali ya, za. Adem. Bebas macet.”

“Eh kok kendaraan umum. Ahahaha. Maksudku bukan itu. Aku tuh maunya kamu aja yang nentuin, aku ngendarain motor atau mobil. Gitu.”

“Lah tapi kan kamu yang ngajak. Kok malah terserah aku?”

“Karina Neisya Wijaya, kamu kenal aku udah berapa lama deh?  Bukannya dari dulu memang selalu terserah kamu ya?”, senyumnya tulus, sorot matanya halus.

“Ya tapi kan itu dulu. Waktu kita masih….”

“Pacaran? Iya Neisya, aku inget kok. Statusku ini mantanmu. Gitu kan? Tapi emang haram ya jalan sama mantannya?”

“Ahahaha… Yuk sekarang aja. Aku yang nentuin. Pakai motormu. Ada helm cadangan kan? Aku kangen denger deru knalpot kamu.”

“Kangen motornya apa pemiliknya? Kangen deru motornya atau meluk yang empunya?”, goda Ferza dengan centilnya. Ia langsung mengaduh ketika spontan ku cubit perutnya.

“Daripada cubit perut, mending cium pipi.” Ferrrrzaaaa~! Aku pernah memadu kasih dengan Ferza di saat kami masih duduk di bangku SMA.Tiap bel berdering ia pasti langsung stand by di pintu kelas menungguku, ke kantin bareng, pulang-pergi sekolah selalu satu kendaraan sehingga tak heran kalau macetnya Jakarta menjadi alasan wajib bagi kami berdua ketika terlambat tiba di sekolah. Aku pernah begitu mabuk akan cinta pada Ferza.

            Pada akhirnya kami pergi ke Kota Tua. Salah satu daya tarik dari kotaku. Banyak peninggalan zaman Belanda yang masih tertera disana, hanya saja, karena kurang penanganan maka banyak gedung-gedung bersejarah yang hanya menjadi onggokan barang usang tak terawat, namun kadang itu yang jadi daya tariknya.

“Mau tato naga, kupu-kupu atau nama aja ya, sya?” tanyaku minta pendapat.
“Kenapa gak nama aku aja?”

“Sinting! Ya gak lucu lah. Kita kan…” jawabanku menggantung. Ferza, kita kan sudah mantanan dan aku statusnya in a relationship with Figo.

“Neisya! Apa aku harus nembak kamu lagi di depan tukang tato untuk ngajak balikan?”

“Enggak! Norak! Makasih! Hmmm… Aku maunya kamu masang tato sekarang, nama aku, terus kita hunting foto sampai sore dan selanjutnya nyatakanlah perasaan kamu di Bunderan HI! Jam 12 malam. Kalo aku terima, nyebur ke kolam. Gimana? Bernyali gak?”, tantangku centil.

“Ok! Siapa takut!” , jawab Ferza lantang.

“Ya sudah! Buruan buktikan!”, tantangku kemudian. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal karakter seseorang, apalagi kami pernah saling memiliki.

            Huwaaa… siapa yang menyangka kalau hari ini menjadi hari terbaik yang bisa aku habiskan bersama Ferza. Ia tak henti-hentinya mencuri kesempatan untuk mengecup keningku. Aku selalu menjadi objek favorit bidikan SLRnya dan namaku benar-benar terukir di kulit atas nadi kanannya. Ya Tuhan… kenapa dulu kami harus berpisah jika keadaan seindah ini?
“Nggg…za! Aku boleh tanya gak?”, kataku takut-takut.

“Bukannya itu pertanyaan favoritmu ya sebelum menembakkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya?”

“Ehehehe. Aku serius za. Kenapa deh kamu…nggg…kita…”
“Kenapa aku balik lagi ke kamu? Kenapa kita dulu harus bubar? Itu kan yang pengen kamu tanyain?”

“Eh…kok tau. Nggg…iya za. Kenapa?”

Why did I wanna be with you again? well I’ve ever been with her, Sinta, for 3 months. But she doesn’t know me as well as you know me.
“ Kalo soal kita bubaran?”

I’ve fallen in love with Sasha. And she’s not as kind as you. So… I wanna be with you. Again!

“Jadi kamu ngajak balikan karena kamu males sama Sasha, gitu?”

Pertanyaanku belum benar-benar terjawab ketika akhirnya motor Ferza berhenti pun menepi di dekat Patung Selamat Datang. Aku masih penasaran dengan pertanyaanku yang belum terjawab, namun Ferza seakan menghindar dan segera menuju ke Bunderan HI. Tengah malam. 12 teng!

“NEISYA! LISTEN! I AM SORRY FOR ALL OF SORROWS THAT YOU GOT FROM ME. YES, I AM TOTALLY A BASTARD! BUT… WOULD YOU FORGIVE ME AND ACCEPT ME AS YOURS… AGAIN?”, teriak Ferza tak tahu malu.

“Za! Udah! Gila. Eh, ditangkep polisi loh. Ish sumpah…malu-maluin banget.” Jangan ditanya semerah apa pipiku dibuatnya.

“Ahahaha. Aku masih sayang sama kamu, sya. Iya aku bangs*t. Pergi seenak jidat, kembali sesuka dengkul. Tapi sya, aku pengen kita…. BALIKAN!!!”, teriaknya lagi makin norak.

“Iya iya. Kita balikan. Iyaaah! Lo punya gue sekarang, hak milik. Sini dicap dulu.”, teriakku tak kalah noraknya. Ia mendekatiku dan segera ku kecup keningnya. Norak memang. Bollywood sekali, iya! Kemudian aku bisikkan telinganya “Omongan laki-laki itu sumpah loh ya.”

            “I will. Ahahahaha!”, tawanya terhenti seketika saat dirinya sudah mendarat mulus di kolam Bunderan HI. Norak, tapi aku suka. Ya, karena biar bagaimanapun juga kami pernah saling mencinta, memiliki dan menggila bersama. Well, dear emak kota (biar kesannya akrab dan Jakarte banget) I have two boyfriends rite now.

Semanggi, 7 Januari 2013

“Gimana kemarin hajatannya? Seru amat sih udah dianggep anggota keluarga gitu. Padahal kan baru bentar ye lo sama si…ehem…senior kita itu! Ahahaha!”, canda Tita sahabatku.

“Iiiih Titot! Lebay deh. Ya standar. Roti Buaya, Petasan, Ondel-Ondel. Lu tinggal dimana sih begituan aja pake ditanya segala?”, jawabku sebal.

“Lah lo Bbm katanya ada hal seru yang mau diceritain ke gue. Kalo bukan itu, apa dong? Aaaa…babenye Figo minta cucu ye?”, cekikinya kemudian.

“Korban sinetron deh si ibu. Bukan. Gak usah lebay mikirnya. Gak sejauh itu kok. Udah deh. Figo is so yesterday.” Ucapku menggebu-gebu.

“:Lah bukannya lo cinta mati sama dia?”

“Ibarat om Ahmad Dhani, cinta matinya berseri. Dan ini… Cinta Mati 2.”

“Maksudnya?” alis Tita terangkat sebelah. Seentengnya aku jawab bahwa aku sudah menerima Ferza kembali untuk menjadi pacarku.

“Lo putus? Ya Tuhan. I’m so sorry.” ucapnya dengan muka memelas.

“Titot apaan sih! Gue masih sama Figo juga kok. Double FF. Figo and Ferza are mine. Begidu.”

“Sinting. Kalo ketauan gimana?”, tanya Tita sesudah menutupi mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya.

“Ya gak gimana-gimana!”, jawabku enteng sambil menjilati Es Krim Monas murahan.

“Lo… gelo! Kalo mereka tau lo duain, gimana? Kenapa gak milih satu aja sih, sya! Maruk tau gak itu namanya!”

Choose one of them? Gosh, did you know that sun lights to anyone without any exception(s)? Love doesn’t choose. And I won’t choose anything!

“Sya, hidup itu pilihan!”, nasihat Tita sok bijak.

That is life. This is love. Love is totally different from life. Should I spell two of that words to make you understand?”

Sak karepmu! Yang jelas, kalo mereka sampai marah, jangan bawa-bawa nama gue. Sya, lo, gue, Ferza temenan dari SMA. Kak Figo, senior gue yang biar covernya kumuh gitu tapi aslinya baik banget kepribadiannya.“

Well, ini adalah sepenggal kisahku. Kisah cinta yang belum usai. Tak benar-benar baru dimulai. Karena waktu telah membentuk kisah yang begitu panjang dalam kehidupan asmaraku. Setidaknya, ibarat jalanan di Jakarta, aku punya alternatif. Kalau disuruh memilih, aku tidak mau. Hei, banjir Jakarta aja gak kenal objek, masa cinta harus sekasar itu diberikan hanya kepada yang terpilih? Enggak ah! Aye mah cinte ye cinte aje, mo die demen apa kagak, bodo amat. Pan cinte gak kudu memiliki. Mereka mo marah dan pergi, ya seterah. Mo menerima keadaan, yuk mari! Susah amat! Iye gak nyak… nyak? Enyaaaak!

 Menuntut ending untuk kisahku ini ibarat menebak-nebak kapan banjir Jakarta dapat teratasi 100%. Hei, tak selamanya kisah cinta berjalan mulus atau selalu berakhir tragis, kan? Ini baru prolog. Memaksakan ending berarti memperkosa masa depan. Ahahaha! Biar waktu yang menentukan restunya karena aku mencintai keduanya. Titik.


NB : Ferza dan Figo adalah nama anak kunci. 
        Gambar : Cynderland .


1 komentar: