CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 06 Agustus 2012

Membebaniku



Lelaki itu bernama Ujang. Ia masih lajang pun juga membujang. Meski usianya sudah matang, ia masih menafkahi hidupnya dan sang ibu yang tinggal orangtuanya yang tersisa hanya dengan magang. Ujang bimbang, sampai kapan dia harus berjuang tanpa harus menatap langkahnya di belakang.

Tertidur lagi
Masih menangis dalam sela waktu
Dan tanganku ini
Masih memegang erat kepalaku, kepalaku

"Ujang...bangun! Heh kamu bukannya harus kerja yah! Malah leha-leha di kasur. Ettt!", teriakan Emak Ujang sanggup disandingkan dengan lengkingan tante Mariah Carey.

"Mom, would you please stop waking me up everymorning. I was so tired. You know what, I got frustrated by all of this things.", teriak Ujang dalam Bahasa Enggres yang sangat pas-pasan.

"Hah...ape lu kate! Bangun jang! Jagain tuh jari! Lu kotorin kasur ujung bantal, gua gebuk lu pake rotan!"

Ujang menanggalkan selimut yang melingkupi tubuhnya dengan malas. Hangatnya matahari pagi yang mengintip di balik jendela kamarnya yang masih tertutup tak  ia gubris. Wajahnya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya, datar tanpa ekspresi meski condong tampak memelas. 

Ujang bekerja seharian di kantor. Meski terkadang waktunya hanya dihabiskan untuk mencuci gelas kotor dan berakhir dengan dirinya yang tak tahu harus berbuat apa dan akhirnya malah molor. Teman-temannya menamai dia si pelor alias nempel molor. Ujang memang hebat, bahkan angin kencang pun tak dapat menghalangi dahsyatnya rasa kantuk yang menghampirinya seketika saat ia masih mengendarai motor. Canggih betul Ujang ini, namun meski begitu hingga sekarang ia belum punya bini.

Semua yg membebaniku
Sungguh membebaniku
Sungguh membebaniku
Sungguh membebaniku

Emak tak pernah menuntut banyak hal. Hanya satu pertanyaan Emak yang meresahkan hati Ujang dan sanggup seketika memberinya rasa kesal. "Tong, kapan lu bawain gua mantu? Udah kebelet gua pengen gendong cucu." 

Andai saja Ujang bisa jujur dengan Emak. Andai saja Ujang dapat memberitahukan yang sebenarnya kepada Emak. Ah...Ujang memang tak tampan, rupa sungguh tak menawan. Hidupnya juga pas-pasan, jauh dari yang namanya mapan. Tapi Ujang bukan lelaki sembarangan, ia cukup mampu membuat wanita terkesan dengan ciri khas andalannya, kesopanan. Pembuktian Ujang cukup mencengangkan. Dengan jumlah mantan yang mencapai total delapan orang, ia dapat dikatakan cukup berpengalaman. Namun sayangnya, nasib tak berkata demikian.

"Ujang mas'e... maaf ya, aku tahu kamu aku sayang kamu, tapi untuk satu kekuranganmu itu, aku tak bisa tolerir..."

"Jang Ujang sayang, na mana mungkin aku menikahi lelaki yang tak bisa mengambil keputusan kecil untuk perubahan besar.."

"Lu olang tahu, owe sayang benel sama lu olang. Sayang lu olang ga sayang sama owe. Masa ngelakuin gitu doang lu olang susah banget sih ngejalaninnya. Haia!..."

Lelah tetap menarik langkahku
Mencoba tetap berdiri ku menangis
Masih tetap mencari jalanku
Memahami beban itu

Emak ingin Ujang menikah. Tapi Ujang sendiri lebih ingin uang hasil kerja kerasnya digunakan untuk menerbangkan Emak ke Mekkah. Ah...Ujang hanya pasrah dan berserah. 

Para wanita bukannya tak ingin menikahi Ujang. Hanya saja...Ujang punya suatu kebiasaan yang tak dapat ditolerir wanita manapun. Wanita tahu Ujang cukup sempurna, hingga kebiasaannya itu dia tunjukkan kepada sang kekasih...dhuarrr...buyar semua kenangan indah. 

Waktu terus berputar. Tiap langkah kaki Emak kini selalu ditapaki dengan bergetar. Dengan keadaan Emak yang demikian, Ujang merasa tertampar. Meski kini hidupnya tak lagi hanya dengan magang karena ia sudah naik jabatan, namun ada satu keinginan Emak yang belum terpenuhi. Menikah. Lelaki mana yang tak ingin menikah? Hanya saja, tak ada wanita yang sanggup menerima keburukannya. Hingga akhirnya...

"Jang...pulang tong! Emak kangen. Emak laper. Emak pingin sama lu nih. Buruan yak! Emak udah masak Opor Rendang Pete paporit elu!", suara serak Emak terdengar ketika telpon yang berdering di ruangan Ujang diserahkan kepadanya oleh sekertaris seksinya.

"Ahelah Emak! Ujang miskin, disuruh kerja. Ujang udah perlente, punya kerja tetap, lagi sibuk, malah disuruh pulang makan pete. Udah bukan kelasnya Mak.", bisik Ujang saat menjawab telepon sang bunda.

"Lu jadi anak durhake bener. Emak kagak minta nyang macem-macem. Kemaren-kemarenan Emak emang minta elu bawaiin mantu, tapi sekarang gak usah, pan lu udah ngirimin gua pembantu."

"Nah entu tauk... Terus ngapain nyuruh-nyuruh aye pulang segale. Udahan ya mak, lagi ada urusan penting  nih...." Ujang segera mengganti nada suaranya menjadi lebih baku... "Sisca, tolong ambilkan berkas-berkas saya yang tertinggal di ruangannya Pak Bambang ya."

"Nak..sekali ini aje. Peliiiis. Emak kangen elu!", Emak mencoba melafalkan kata please namun sayangnya ia gagal.

"Yaudah. Liat nanti ya Bunda.", suara Ujang agak berat ketika ia menjawab telepon kali ini. Matanya tak lepas dari Michelle yang memasuki ruangannya dengan langkah kaki bak peragawati diatas catwalk. Ia sangat ingin terlihat macho di depan wanita puajaanya yang satu ini.

"Bunda bunda! Lu kate gua Dorce", Emak berusaha terkekeh santai untuk menanggapi kalimat terakhir anaknya diujung telepon, meski hatinya tak secerah itu. Ia tahu, sesuatu akan terjadi, namun ia tak begitu yakin akan apa yang akan terajdi itu.

Tanpa perlu diduga, sudah pasti ajakan makan malam Michelle serta merta langsung berbalas anggukan mantap oleh Ujang. Ralat! Ia telah mengubah namanya menjadi Zubin yang jelas-jelas nama tersebut sangat India. Namun menurutnya, tubuhnya yang berkulit gelap akan menjadi makin eksotis dengan sapaan tersebut.

Telepon cerdas Ujang berkali-kali berdering. Tidak, itu bukan PING!!! karena Emak tak bisa menggunakan handphone. Itu panggilan dari nomor telepon rumah. Emak berkali-kali menelpon. Emak ingin Ujang cepat pulang karena ada sesuatu yang mengganjalnya yang ingin ia ceritakan pada Ujang.

"Itu siapa? Gak diangkat? Kasihan kan. Kali aja penting?" suara Michelle begitu merdu ditelinga Ujang. Telepon Emakpun tak boleh menjadi perusak kebahagiaan Ujang malam itu.

"Ah enggak. Orang rumah. Paling nitip dibeliin apa gitu di minimarket. Nanti aku hubungin balik. Udahlah. Eh tadi topik awal kita apa? Kamu mau aku nemenin kamu kemana?"

Pembicaraan Ujang dan Michelle terus berlanjut. Tanpa Ujang pernah tahu apa yang terjadi dengan Emak dan semangkuk Opor Rendang Pete buatannya. Michelle dan Ujang asik saja bercerita, saling berbagi kisah. Hingga tiba saatnya...kebiasaan Ujang muncul. Karena keasyikan mendengarkan cerita konyol Michelle, Ujang memasukkan jarinya ke lubang hidung sambil tertawa terbahak-bahak, mengambil upil basah dan kenyal, lalu menaruhnya ke ujung lidah dan menikmati sensasi asinnya.

Seketika itu juga Michelle muntah. Ia langsung ingin pulang dan tak lagi betah duduk berhadapan dengan Ujang. Suara muntahan Michelle dan kepanikan para pelayan restoran membuat getaran handphone Ujang bagaikan garam di tengah lautan, ada namun tak terasa.

Kegaduhan Michelle dan orang serestoran mengalihkan pandangan Ujang dari handphonenya yang tetiba menerima pesan singkat : Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Jang, Emak lu sekarang udah tenag. Lu yang ikhlas. Dia 'tertidur pulas' di atas meja makan dengan sepiring nasi yang mulai dingin dan Opor Rendang Pete yang mulai menggumpal. Kayaknya dia nungguin elu. - Beben, anaknya Mpok Rodiyah tetangga lu.

-------

Segalanya membebani Ujang. Kebiasaan buruknya. Pencarian cintanya. Namun terlepas dari semua itu, tiada yang lebih membebaninya daripada tuntutan sang ibu untuk menghentikan kebiasaan buruknya, menelan upil dimana saja kapan saja atau sekedar memeperinya di tempat-tempat tersembunyi. 




"Ibu adalah sahabat sejati. Hanya ibulah yang tetap bersama kita dalam kesusahan, kesedihan dan saat tergelap dalam hidup kita."
 - Washington Irving-



Insipirasi : #CerpenPeterpan & @wira_panda
Judul lagu : Membebaniku - Peterpan
#cerpen

2 komentar:

  1. it's quite a sad comedy...but good enough!
    and....hey it's rhyme...
    suka sama rima penulisannya...keep writing! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you so much. Well, I like this statement : "it's quite a sad comedy" ehehehe. Let shout our words by keep writing!☺

      Hapus