CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 15 September 2012

Berandal Mencinta



"Sudah cukup jauh perjalanan ini.
Lewati duka, lewati tawa.
Lewati segala persoalan."


Sore itu Ronald mengapeli kekasihnya untuk pertama kalinya ke rumah. Mereka biasa berkencan, namun belum pernah ia ke rumah dan memperkenalkan diri kepada Ayah-Ibu kekasihnya. Rambut ikal gondrong sepinggangnya mampu membuat kedua bola mata Ayah-Ibu hampir keluar dari tempatnya. Belum lagi, penampilan uniknya dengan celana jeans belel dan kaos hitam kedodoran. Keunikan Ronald yang membuat Laras sangat tergila-gila padanya. Membawakan sebuah kotak martabak telur yang isinya malah berisikan kepingan CD lagu-lagu Om Iwan Fals, misalnya.

"Mau sampai kapan kamu sama laki-laki seperti dia?", tanya Ibu lembut.
"Memang kenapa bu?"
"Apa iya dia pantas jadi masa depanmu? Ingat, Ras. Kamu sudah 19 tahun. Di usia segini, nenek buyutmu sudah punya momongan."
"Aku menyukainya. Aku percaya padanya. Tolong bu."
"Raden Ajeng Larasati, dia itu.... Ah! Ibu mau kamu jaga nama baik keluarga. Cari yang lebih baik darinya! Ibu mau laki-laki baik-baik, bukan yang seperti itu."

Laras tau pasti sebenarnya bukan hanya tampilan ajaibnya yang membuat Ayah-Ibu langsung menolaknya jadi calon menantu di awal pertemuan mereka.

-----

"Bagaimana kemarin kesan bapak-ibumu, Ras?", kedua tangannya sibuk menyisiri rambut gondrong kebangaannya itu.
"Menurutmu bagaimana?", aku malah bertanya balik.
"Lah, kalau aku tau, gak mungkin aku nanya Ras. Aku kan buka guru, yang jelas-jelas sudah tau, masih aja iseng nanya." candanya. Ah ingin sekali Laras memeluknya terus dan tak rela membaginya dengan siapapun.
"Kamu sebenernya sesayang apa sama aku?"
"Kok gitu nanyanya?", segera ia memutar posisi duduknya. Kali ini mereka menjadi berhadap-hadapan.
"Aku serius."
"Sudah tiga tahun kita sama-sama. Cinta monyet dari SMA. Sekarang sudah jadi Gorila mungkin!"
"Ronald, aku serius!"
"Iya aku juga, Ras. Aku serius sayang kamu."
"Sampai...?"
"Sampai aku dan kamu harus berpisah."
"Kalo gitu kamu gak akan benar-benar 'fight for us' dong?"
"Ras, aku gak tau kamu lagi kenapa. Tapi apa kamu pikir sekian tahun kita sama-sama itu aku main-main sama kamu? Harus berapa lama lagi aku kasih pembuktian?"
"Tapi nald..."
"Aku tau Ras. Aku dan segala kerebelanku kan yang bikin mereka ragu?"
"Nald..." ingin segera Laras memeluknya, namun ia tahan. Ini masih di kampus, ia tak mau sembarangan.

-----

Saat itu malam Minggu dan Laras pamit kepada bapak-ibu untuk pergi bersama lelakinya. Ibu sempat ragu, Bapak malah hampir melarang. Tapi ia ingatkan mereka bahwa kunci mobilnya ditahan hanya jika ia tak mampu mempertahankan IP di batas 3,5. Nyatanya, sudah 2 semester ia mendapat potongan biaya kuliah karena IPnya berturut-turut 3,75.

"Jangan malam-malam pulangnya, nduk."
"Iya bu."
"Besok juga kamu haru bangun pagi!!", sahut Bapak tanpa melirik. Ia masih marah semenjak Laras kenalkan Ronald padanya. Ia sangat benci anak semata wayangnya memadu kasih dengan lelaki berperawakan berandal macam Ronald.
"Ada apa?"
"Besok ikut Bapak."
"Kemana?"
"Bertemu Galang, anaknya sahabatku. Mapan, tampan dan sopan. Pokoknya segera akhiri hubunganmu dengan bocah bengal itu!"
"Bapak!", nada Laras mulai meninggi. Segera ia buka pintu mobil dan tancap gas. 

-----

"Eh tong, mau kemane? Bukannye bantu sepupu lu nyang lagi hajatan! Ettt!", teriak Emak Ronald padanya.
"Bentar, nyak! 2 jam lagi sudah sampai pasti!"
"Iye tapi kemane?"
"Menjemput bidadari. Ehehehe."
"Ape lu kate?", sahut Emak bingung.
Ronald tidak menjawabnya dan justru berteriak lantang ke arah  sepupunya, Kardi yang sedang menjadi raja sehari kala itu. "Di, gua pergi bentar yak! Jangan keburu malam pertama dulu, lu! Tungguin calon bini gua!"
"Wuih sedap. Siap masbro!", sahut sang pengantin ditengah kesibukannya menyalami para tamu undangan.

-----

"Lagi gak ada film yang asik nih. Makan aja kali ya enaknya."
"Kamu udah lapar?", tanya penghuni jok kiri di mobil Laras.
"Belum sih."
"Terus?"
"Enaknya gimana?"
"Ikut aku aja yuk!", ajak Ronald.
"Kemana?"
"Nanti juga kamu tau. Ikutin arahan aku aja ya. Nah, depan situ belok kanan!"

-----

"Ini dimana Nald?"
"Kawinan, Ras. Kardi dan Annisa. Sepupuku yang lakinya."
"Ih kamu kok tega banget! Pantesan hari ini dandan rapi kamunya. Duh, kenapa gak bilang. Aku kucel banget gini lagi!", panik Laras merutuki penampilannya yang hanya mengenakan skinny jeans, flat shoes dan cardigan seadanya.
"Gak apa-apa. Kamu tetap cantik kok!"
"Nald, gila ya kamu! Yang lainnya sasakan, lah rambutku cuma dicepol ngasal gini."
"Tenang Ras. Aku yang bawa kamu kesini. Aku yang bakal jagain kamu." sebagai jawaban, Laras memeluk lengan kanan Ronald.
Laras memasuki gang sempit menuju rumah Kardi. Iya, ini salah satu dari ribuan alasan Bapak-Ibunya kurang menyukai kekasihnya itu. Beda strata, terlebih dengan gelar kebangsawanan Jawa yang dimilikinya.


Pandangan penasaran langsung diterima Laras kala ia memasuki rumah kecil milik keluarga Ronald. Ada padangan mengagumi, menjelajahi bahkan sirik. Tubuh mungilnya terasa semakin menciut di antara orang-orang asing di hadapannya. Ronald menggengam tangannya, memberinya kekuatan.

Tak lama, Emak Ronald meghampiri keduanya. Baru saja tangan Laras dan Emak saling berjabat, tiba-tiba seorang ibu bertubuh tambun menghampiri dan membisiki sesuatu di telinga Emak. Sesudahnya, Emak memicingkan mata dan berusaha mengamati sesuatu pada diri Laras. Laras gelagapan, tak biasa dipandangi seperti itu.

"Assalamualaikum. Emak apa-apaan sih? Iye, calon bini aye cakep. Tapi kagak usah dibikin risih gitu juga dong mak! Kesian pan!" canda Ronald sembari menguatkan genggamannya pada Laras.
"Wallaikumsallam. Iye. Subhanaullah. Cakep sih. Tapi....", kalimat mengantung ini terasa janggal bagi Laras. Firasatnya kurang baik.
"Tapi ape mak? Takut aye gak bisa ngidupin yak? Ahahaha, doain mangkanye aye cepet-cepet jadi sarjane. Terus jadi pengacare handal biar bisa beliin Laras ame Emak sebongkah berlian.", Ronald tak pandai membaca situasi.
"Bukan. Emak takut aje. Disini pan banyak copet kalo lagi hajatan begini. Takut kalung si mpoknye ilang." Hati Laras mencelos. Segera digenggamnya kalung emas putih berliontin Salib miliknya.

-----

Ronald mengajak Laras mengitari daerah sekitar yang masih sepi dari rumah penduduk. Malam itu jam menunjukkan tepat pukul sembilan.
"Ras, maaf ya. Aku gak tau bakal jadi gini."
"Gak apa-apa Nald."
"Mungkin ini juga yang bikin Bapak-Ibumu kurang setuju ya?", Laras hanya mempererat genggamannya Ronald sembari tetap melangkah.
"Ras, kamu tau artinya cinta pertama?"
"Pacar pertama. Gebetan pertama. Kesayangan pertama kalinya?"
"Bukan Ras. Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Kamu mungkin memang bukan yang pertama kalinya untukku Ras. Tapi kamu dengan segala keribetan kita, membuatku benar-benar jatuh cinta, tak pernah bisa lupa dan berusaha terus bertahan. Mungkin ini yang dinamakan cinta pertama. Aku harap kamu mau bekerja sama untuk mempertahankannya, Ras."
"Bantu aku juga ya, Nald." 
Ronald menggengam tangan kekasihnya dan keduanya berjalan beriringan entah sampai kapan, entah sampai mana.

"Aku tak perduli apa kata mereka.
Hari ini engkau disini.
Esok tetap disini."





Inspirasi : Nona-Iwan Fals 
#cerpen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar