CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 22 September 2012

Gadis Naif


-Apartemenku. 12:19 malam.-
Seperti malam-malam sebelumnya. Aku terbiasa bersahabat dengan sunyi. Ku ingat percakapan di kamar ini 3 jam sebelumnya.
"Kemana lagi istrimu, mas?"
"Dinas kantor. 3 hari dia tak akan pulang. Aku akan disini denganmu."
"Benarkah?"
"Iya. Bagaimana kuliahmu?
"Baik."
"Baguslah. Sini, kemari. Mendekatlah padaku." Aku memeluk mas Andre dengan lembut. Selalu ada kenyamanan dalam tiap dekapannya.

Mas Andre akhirnya pulang ke rumahnya setelah ku beritahukan padanya bahwa Nana akan datang, sahabatku. Di tengah lamunanku Nana membuka pintu dengan kasarnya.
"Dia kesini lagi kan?"
"Na, udah pulang?" sapaku lembut.
"Gue tanya dia kesini lagi kan?", sentak Nana kasar.
"Siapa? Mas Andre?"
"Lo punya malu gak sih? Mikir ga sih? Lo gak kasihan sama istrinya? Inget Made, dia itu suami orang!"
"Na..."
"De, lo gak malu apa kalo orang-orang sampe tau lo bawa laki-laki, beristri, ke apartemen! Apa kata orang De? Inget bokap-nyokap!"
Ya, Nana yang selalu mengingatkanku untuk berhenti berhubungan dengan mas Andre. Aku tidak menggubris, sudah hafal dengan kebiasaan sahabatku yang satu itu. Mas Andre memang suami orang. Tapi lalu kenapa? Aku hanya menemani dalam sepinya.
"Gue gak mau tau! 3 hari ke depan gue nginep sini! Gak ada lagi Andre."
"Ya sudah, kami cari saja apartemen lain. Atau rumah mas Andre sekalian. Lagian motel, hotel dan penginapan bertebaran dimana-mana ini kan?"
"Made! Punya harga diri gak sih lo?"
"Nana! Punya kerjaan lain gak sih kamu selain ngurusin hidup orang lain?"
Perdebatan seperti ini selalu terjadi setiap kali mas Andre menyambangiku.

-Apartemenku. 08:19 pagi.-
"Halo, pagi Nana!", terdengar sapaan kala ku angkat panggilan masuk ke hpku.
"Hoaaam...eh mas Andre! Selamat pagi juga mas!", sahutku girang ketika ku dengar suara bass lelaki usia tigapuluhan tahun dari seberang sana.
"Hari ini kamu kuliah sayang?"
"Tentu."
"Aku antar ya?"
"Kalo masnya gak keberatan. Ehehe. Aku mandi sekarang kalau gitu."
"Sana gih. Biar gak acem." goda mas Andre centil.
Aku menutup telepon. Segera aku berdoa, hendak merapikan kasur dan langsung mandi. Tapi kulihat penghuni kasurku lainnya juga telah bangun. Ah Nana, dia ada kuliah pagi juga toh? Tumben.
"Mau kemana?"
"Eh Nana. Udah mandi? Kamu punya jadwal kuliah pagi toh?"
"Bukan urusan lo! Gua tanya mau kemana lo girang gitu! Ketemu laki orang lagi ya?"
"Na...udahlah! Apa iya setiap baru buka mata sampai tutup mata lagi kita harus debat terus gini?"
"Sebodo! Gue bakal berhenti sampe lo berhenti jalin hubungan sama laki orang!"
"Na....!", nadaku meninggi, rasanya ingin menangis. Nana dulu tak seperti ini. Semenjak aku dekat dengan mas Andre sikapnya berubah.
"Kemana Made yang polos dulu yang gua kenal? Lo naif apa beneran bodoh? Dia suami orang! Lo baru 19 tahun! Hidup lo masih panjang! Laki-laki bejibun di luar sana, De!"
"Tapi aku mengasihinya, Na!"
"Lo udah ngapain aja sama dia?"
"Ya Tuhan na! Picik sekali pikiranmu. Dia baik. Dia tidak pernah macam-macam denganku. Malah sangat mengemongi."
"Jangan mentang-mentang bokap lo udah mati, mantan lo ngehamilin anak orang terus lo jadi sok cari perhatian ke pria dewasa, De!", nada tinggi Nana mulai melemah.
"Aku mencintainya Na. Itu saja. Sudah aku harus bersiap sekarang."

-Mobil mas Andre. 10:19 siang.-
"Nana itu sudah berapa tahun bersahabat denganmu?"
"Sejak dalam kandungan. Orang tua kami bersahabat."
"Oh. Pantesan." Sempat ada keheningan diantara kami sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
"Mas?"
"Ya?"
"Kenapa mendatangiku terus? Kita ini kan seharusnya sebatas dosen-mahasiswi. Kamu tak keberatan jika sampai ketahuan?"
"Ya jangan sampai ketahuan."
"Mas gak menjawab pertanyaanku."
"Ahaha.. Kamu tidak suka aku sambangi?"
"Suka mas. Sangat."
"Lalu kenapa terus-terusan bertanya?"
"Karena kata Nana..... mas ingin menceraikan istri mas."
"Kenapa begitu?"
"Karena dia... maaf aku lancang. Karena dia mandul. Tapi penghasilan mas dibawah dia. Lagipula.... agama..."
"Iyaaap. Malang banget ya pernikahan kami. Kenapa tidak ku kenal kau lebih dahulu?"
"Tapi mas... Apa iya Nana benar?"
"Apalagi yang Nana ucapkan?"
"Aku semata-mata pelampiasan. Benarkah itu?" Mas Andre hanya terdiam. Aku anggap itu sebagai bentuk persetujuan.

Aku minta mas Andre menurunkanku di tepi jalan. Aku limbung. Ingin sendiri dulu. Sedari awal aku sudah tahu bahwa mas Andre memang merasa ada yang kurang dengan pernikahannya. Dan aku...selalu merasa ada sosok kebapakan yang terenggut daripadaku.

-Apartemenku. 19:19 malam.-
"Tumben De udah dirumah. Kemana lelaki kebanggaanmu itu?", cela Nana. Aku hanya diam. Terduduk di kasur king size ku tanpa menggubrisnya.
"De...." Nana mulai panik karena tak biasanya aku mengacuhkannya. Ia mendekatiku. Memelukku erat. Aku diam saja. Ia lebih mempererat pelukannya.
"Nana!", aku tersentak saat ia mulai mencumi pipiku.
"Gua gak suka lo diapa-apain sama laki orang, De!"
"Iya tapi lepasin aku juga. Aku dengerin kok. Iya iya." aku berusaha melepaskan diri dari dekapannya.
"Gua benci liat lo nangis tiap lagi kangen sama si tua itu!"
"Iya Nana... Iya. Tapi kamu meluk aku kenceng banget ini!"
"Gua sayang sama lo!"
"Iya aku tau Nana. Aku mudeng. Udah ya. Yang galau kan mestinya aku, kenapa jadi kamu yang kayak gini?"
"Gua pengen hubungan kita lebih, De!"
"Hubungan kita udah lebih dari apapun kali, Na. Dari jaman masih janin juga kita udah telepatian! Ahahaha!"
"Apa mungkin kita jodoh?"
"Iya mungkin kali ya. Ditakdirin sahabatan dari jabang bayi."
"Aku udah lama mendam perasaan ke seorang wanita, De. Maaf. Aku gak tau dari kapan perasaam ini muncul. Tapi sepertinya aku menyukai sesama jenis De, kamu!"
Rasanya seperti ditampar oleh tangan tak bersosok ketika ku dengar ucapan ini keluar dari mulut sahabatku. Kemana lagi aku harus berteduh dan mengaduh? Senaif itukah aku? Sesial inikah garis takdirku? Masih adakah belas kasihan Tuhan kepadaku?

#cerpen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar