CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 28 September 2012

Pemuja Rahasia

-Surat Pertama-

Aku memujamu dalam diam. Di tengah riuh suasana, aku merasa temaram.
Ahahahaha...kekagumanku ini seperti dendam, terpendam, namun tak akan pernah padam.
Aku menyukaimu tanpa pernah kau tahu! Bahkan hati kecilku sendiri pun tak pernah menyadari kapan
rasa ini tumbuh. Aku hanya memuja, tanpa berani mengungkap.
Aku memperhatikanmu dari jauh. Saat dirimu tersenyum, menerawang, bahkan saat berpeluh. Aku merekam semuanya dalam ingatanku, menjadikannya bahan mimpi indahku.
Aku mengagumimu dalam sepi. Aku terlalu rajin untuk bermimpi, namun sekedar menyapamu aku tak bernyali. Mendengar suaramu bahkan baru sekali. Ah...kenapa kau begitu sulit untuk ditebak?
Aku menikmatimu untukku sendiri. Dan akan selalu begitu.
Wahai engkau keturunan Adam, aku mencintaimu dalam diam.




Pemuja Rahasiamu,


 Gadis Naif

----------


"Kamu ini gila?", tanya Mika tercengang.
Memangnya kenapa?", balas Lola malas.
"Mau dialamatkan kemana surat ini?"
"Kepada dia yang aku puja dari jauh."
"Siapa?"
"Rocky Maheswara"
"Sinting!"
"Ada masalah?"
----------

-Surat Kedua-

Bisa tolong dijaga senyumnya agar tak menyaingi manisnya madu?
Bisa tolong berhenti menatap agar samudera tak menciut karena kalah dalam?
Bisa tolong jangan pernah tutupi wajahmu agar para pujangga memahami keindahan tak hanya milik wanita dan alam?
Bisa tolong dengarkan lagu D'Allays-Superglad bersama saya?
Apa? Kamu tanya apa? Itu lagu! Kamu tidak tahu? Ahahahaha. Tidak apa. Intinya itu lagu.
Bisa tolong tanyakan apa relevansinya lagu itu dengan kamu?
Ah...tolong jangan salah sangka. Aku tidak sedang menghina, justru teramat sangat memuja.
Bisa tolong tanyakan alasannya 'mengapa'?
Hmmm...sepertinya kamu tak menanggapi. Ahahahaha! Sebut aku Naif. Bagaimana mungkin kamu menyadari. Ini kan percakapan monolog, hanya antara aku dan diriku.
Baik. Akan aku jelaskan sendiri untukku seorang.
"Aku bisa jadi alay dari alay manapun untuk mengungkapkan perasaan yang aku rasakan. Dengan hormat Tuan Shakespare, Romeomu bukan apa-apa jika disandingkan dengan lelakiku ini. Persetan aku disebut jablay, jika bersamamu adalah apa yang akan aku nikmati. Lebay? Ahahahahaha bukankah 'lebay'-nya karismamu yang menjadikanmu lebih indah?"
Nah! Sekarang... Bisa tolong buat aku berani mengungkapkan semua ini padamu, lelaki yang aku pandang dari jauh dan tak pernah sekalipun bertegur sapa denganku?



----------

"Lo! Asli! Gua gak mau punya adek kayak lo! Bikin risih tau gak! Jijik!"
"Ya terus kenapa? Merugikan situ? Enggak kan."
"Ya tapi... Lo yakin?"
"Kenapa enggak? Kan surat tanpa identitas pengirim."
"Kenapa lo jadi gini sih dek?"
"Nothing but love."
"Tapi tau darimana kalo dia juga suka sama kamu?"
"He often to see me on my eyes."
"Gitu doang?"
"Dia kemarin nyapa aku, ya walaupun cuma nanya tugas sih."
"Itu namanya kamu dimanfaatin dek."
"Dia bahkan minta nomor handphoneku."
"Untuk?"
"Katanya sih diminta sama temannya, Intan, yang sekelompok sama aku. Ah tapi kayaknya akal-akalannya dia aja sih."
"Apalagi?"
"Setiap kali aku papasan sama dia, dianya senyum gitu bang."
"Itu mah bentuk kesopanan aja kali!"
"Enggak, aku yakin itu namanya pengharapan bang. Baru tahap permulaan."
"Yakin?"
"Sangat!"
----------

-Surat Ketiga-

Hola lelakiku! Bagiku, surga itu kamu. Ahahahaha! Tidak, sungguh berlebihan. Cinta bukan agama dan kamu bukan Tuhan.


Aku. Kamu. Kita. Tak lupa pihak ketiga, pengganjal perut.
Hei, aku ingin mengenalkanmu pada my Little Heaven on Earth! Bukan, ini bukan tentang cake yang fenomenal itu. Ini bukan si kue pelangi, ataupun si merah cantik itu. 

Iya aku tahu mereka seksi, menggairahkan dan...menggemukkan! Ahahahaha! Tapi ini bukan tentang mereka. Ini tentang surga miniku, kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan tempat mewah dan suasana romantis. Ini tentang cara menikmati dan dengan siapa menikmatinya. Aku menyadari betul,dengan adanya 'kita', semuanya akan menjadi indah. Ditambah lagi dengan bumbu cinta. Aiiiih...sedaaaap!

Ini diaaaa.... Tadaaarrrr!
Ciki-cikian murah meriah + es buah-es buahan! Mereka ini ibarat kita, sangat berbeda namun serasi. Kapan bisa bersama-sama kita menikmati? Aku tunggu kamu sampai nanti wahai Adam! :)


Dengan cinta,


Hawa

----------
"Kasih ke gua sini cepet!"
"Eh, mau lo apain?"
"Bakar!"
"Eh, kok lo lancang sih? Balikin sini. Jangan rese deh!"
"Lo punya malu kan?"
"Balikin!"
"Atau udah putus tuh urat malu!"
"Abang, balikin. Aku aduin mama nih!"
"Adanya malah mama bakal sama kayak gua sikapnya."
"Ya sudah balikin"
"Gak akan. Awas lo!"
"Itu surat...."
"Apa? Mau lo kasi ke dia yang lo suka entah siapa itu namanya. Biar dia tau gitu kalo lo sukain! Biar dia kegeeran sendiri dan lo nelangsa di pojok kamar nyusun surat baru?"
"Gak pernah terkirim bang."
"Maksudnya?"
"Cuma numpuk di antara novel koleksiku. Tanpa pernah disentuhnya."

----------

-Surat Terakhir- 

Aku benci pada angin... yang mampu membelai lembut tubuhmu tanpa pernah kau sadari.
Aku benci pada pakaian... yang dengan lembut melindungi dirimu.
Aku benci pada sepatu... yang dengan setia melindungi setiap langkah kakimu.
Aku benci pada telepon genggam... yang setiap saat selalu ada disampingmu.
Aku benci pada matahari... yang mampu memata-mataimu dari jauh.
Aku benci pada bulan... yang mampu menerangi duka pedihmu.
Aku benci pada alat makan-minum... yang dengan manis menyetuh kedua bibir indahmu.
Aku benci pada buku... yang kau bawa kemanapun kau melangkah.
Aku benci pada teman... yang akan bersamamu di kala sedih dan senang.
Aku benci pada wanita itu... dia yang selama ini kau puja dan cinta!




----------
 'Innalillahi wa'inaillaihi roji'un. Telah berpulang sahabat, adik, rekan kita Lola Aurelia Zita (2011-050-666) tadi malam pukul 23:13 di kediaman orangtuanya.' Handphone Rocky berdering. Sebuah pesan masuk. 
"Cewek ini siapa ya?"
"Junior kita."
"Oh. Yang mana sih orangnya?"
"Gak tau. Katanya sih agak cupu gitu anaknya."
"Kasihan ya."
"Denger-denger gosipnya bunuh diri karena patah hati."
"Serius? Sayang banget nyawanya. Patah hati gimana maksudnya?"
"Cintanya gak berbalas. Ungkapan perasaannya tertinggal di surat."
"Ya Tuhan. Naif sekali dia! Masih jaman mainan surat ya memangnya?"
"Rocky!", sentak Maille kekasihnya.


-Surat dari Ruang Putih-

Kak Rocky, hari ini adalah hari pertamaku. Entah ini dimana. Tapi semuanya indah kak. Serba putih.
Aku pakai jubah putih. Banyak wanita cantik dengan wajah mempesona mengitariku. Ah iya, aku sedang meminjam perkamen milik salah seorang diantara mereka. Lucu deh, masa nulisnya pakai tinta dan bulu ayam. 
Kak Rocky, ini semua harapan palsu semata atau aku yang salah menafsirkan keadaan ya? Salah seorang dari wanita-wanita ini bilang kalau aku baru saja melakukan tindakan bodoh dan dibenci oleh Tuannya. Entah apa itu. Aku tak ingat banyak. Hanya nama kakak saja yang terakhir terlintas dibenakku.
Kak Rocky, kata wanita penjagaku, aku boleh pergi menemuimu beberapa kali sampai hari yang ke-40 tiba. Entah apa maksudnya. Tapi tunggu aku ya kak. Aku akan datang dengan baju indah putih bagai pengantin yang entah kapan dikenakan padaku ini. Semoga kamu suka, kak!

Dengan cinta.


Harus kau dengar semua yang harus kau dengarkan
isi hatiku yang belum ku sampaikan.

Ternyata tak semudah itu keinginan bisa terjadi
tapi ku berharap semoga masih ada kesempatan...
Sekali lagi!



Inspirasi : (Sekali Lagi-Ipang) & #30HariLagukuBercerita 
*Tulisan ini telah dimuat di 30harilagukubercerita.blogspot.com .

Senin, 24 September 2012

Cincin Bunda


Ping!

Sms masuk : 'Beebeep! Hola nona Venus. Ini Bombo. Akhirnya, setelah sekian lama ya...waktu yang kita nantikan tiba juga. Gak sabar nih!'

Balas : 'Beebeep! Hola juga tuan Mars. Di Venus jaringannya kurang bagus, maaf baru bisa balas sekarang ya. Sangat. Semoga mr. Mars tidak kecewa.'

Sms masuk kembali : 'Bomboom! Diterima. Tidak apa-apa nyonya. Aku sayang kamu. Mungkin klise, gombal pula. Tapi terima kasih selalu support aku selama ini. Aku woombaboomba kamu.'

Balas : 'Woomba boomba juga! Ehehe.' 

Sms terakhir : 'Yang terhormat nyonya Venus, saya sudah dipanggil. Sampai ketemu secepatnya nona Mini!'

(•̯͡.•̯͡)

"Sinting lo! Masih percaya aja sama orang yang ditemuin lewat chatting-chattingan doang. Hiii...ngeri om-om kesepian lo!", celetuk Echa.
"Hush! Jangan suka negative-thinking gitu ah. Gak baik."
"Beneran polos atau emang naif sih lo?"
"Eh kamu pikirannya. Tega amat!" sahut Lili manis.

(•̯͡.•̯͡)

Sudah empat bulan Lili aktif berkomunikasi dengan sosok yang ia temui melalui jejaring sosial, Twitter. Dengan nama akun yang disamarkan Lili aktif menulis berbagai hal, seringnya tentang cinta, meski ia sendiri belum pernah merasakan apa itu Eros secara harafiah.

Lili yakin sekali bahwa sosok ini adalah laki-laki, seumuran dengannya dan senasib pula dengannya. Lili tergolong nerdy di kampusnya. Hanya mengenakan kaos tanpa aksesoris, tas polos dan flat shoes yang tidak     
ada modis-modisnya setiap hari. Ya, sudah 19 tahun Lili belum pernah merasakan berpacaran. Bukannya tidak ingin, hanya saja ia terlalu tenggelam dalam kesenangannya akan buku, blogging dan belajar.

(•̯͡.•̯͡)

Siang itu kampus cukup ramai. Ada pertandingan futsal antar kampus yang rutin digelar tiap tahun untuk mempromosikan kampus secara halus. Lili tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Namun atas desakan Echa, akhirnya Lili mau juga duduk di pinggir lapangan dan menikmati pertandingan.

"Lo mesti tau ya Li! Lo mesti liat gini-ginian. Jangan natepin layar laptop sama buku-buku aja!" Lili diam saja. Echa kembali melanjutkan celotehannya yang bagaikan tanpa titik. "Liat deh tuh yang nomor punggungnya 13. Nah itu tuh! Senior kita. FH juga. Angkatan 2009. Ya beda 2 tahun lah sama kita. Ganteng banget kan. Jaim-jaim misterius ngegemesin gimana gitu."
"Siapa namanya?""Rosserdo Jerolin Sinclair"
"Oh!"
"Lah kok 'oh'? Cuma itu doang? Hallooo, it should be 'WOW', not just 'oh'!"
"Ahahaha centil kamu! Cowok tajir, cakep, jagoan pula macam mereka mah mana nyadar sama keberadaan kita? Orang-orang macam kita gini tuh kasat mata buat kaumnya mereka."
"Iya juga sih. Bener juga kamu. Tapi jangan pesimis gitu ah! Kali aja salah 1 dari jadian sama salah 1 dari kaum mereka itu.", Lili tak memperhatikannya.
"Aminin kek! Diem aja kayak nahan orang poop!", ledek Echa gembira.

Para pemain diberikan waktu rehat 5 menit. Semua pemain keluar dari lapangan dan segera mengambil botol air mineral ataupun handuk. Namun tidak dengan Edo, ia justru langsung mengambil ponsel miliknya. Sebuah pesan ia kirimkan untuk seseorang di seberang sana.

Lili yang tampak murung seketika langsung bergairah kala dirasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, batinnya. Langsung ia buka pesan itu dan seketika membalasnya. Kirim-kiriman pesan berlanjut beberapa kali sampai akhirnya yang di seberang sana mohon pamit.

(•̯͡.•̯͡)

Pertandingan dilanjutkan kembali. Echa dan sekian gadis-gadis lainnya sibuk memperhatikan Edo. Sedangkan Lili, ia hanya duduk melamun dengan tatapan kosong. Meski begitu, sempat beberapa kali dilihatnya sosok Edo secara mendetail. 'Apa sih bagusnya mahluk ini? Kaum beginian mah kaum tak berpijak pada tanah. Mimpi aja Echa mau memilikinya.' Di tengah lamumannya, ia rasakan Edo sempat melirik ke arahnya dan tersenyum. Segera ia alihkan perhatiannya dan menekuni novel di pangkuannya. Tak mau apa yang ia alami barusan merusak penilaiannya akan kaum-kaumnya lelaki itu.

Entah karena kelelahan atau apa ternyata pemain bernomor punggung 13 meminta keluar dari lapangan dan digantikan dengan pemain lain. Edo sang pemilik nomor punggung malah melintas di pinggir lapangan dan bercengkrama dengan beberapa temannya yang duduk di dekat Echa dan Lili. Echa girang bukan kepalang. Lili masih saja sibuk dengan iPod, sebuah Bakpao Ayam dan tatapan kosongnya.

Tiba-tiba entah apa yang terjadi, sebuah bola melayang jauh keluar dari lapangan dan.... GEDEBUM! Tepat menghantam kening Edo dan membuatnya mendarat mulus seketika. Semua orang panik. Para groupiesnya
segera mengerubungi, pun Echa. Lili hanya berdiri dekat situ. Tubuhnya kaku, terpaku. Ia lihat ponsel milik Edo tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pungut ponsel itu dan shock bukan kepalang melihat apa yang tertera disitu. :
'Hola nyonya Venus. Hari ini aku lelah sekali. Apa kabarnya planetmu kini? Ah ya, hari ini aku sedang mengenakan Cincin Bunda yang sangat ingin sekali aku kenakan di jari manismu. Karena kamu, seindah bundaku.'
Pesan itu belum sempat terkirim. Keburu terjadi insiden payah tersebut.
Lili genggam erat-erat ponsel tersebut. Ia obrak-abrik isinya dan semakin takjub dengan apa yang ditemukannya. Benar itu ponsel Edo, benar ia selama ini chatting dengan mahluk langit ini, benar bahwa ia tak mungkin memperkenalkan dirinya kepada Edo sebagai dia apa adanya.


(•̯͡.•̯͡)

-3 bulan semenjak insiden itu-
"Eh, masih juga sibuk sama layar hp? Kapan beneran tatap-tatapannya?"
"Entah, Cha. Lagian mana mungkin juga dia mau sama aku."
"Memang sudah dicoba?"
"Belum."
"Lalu?"
"Dia terlalu jauh."
"Atau kamu yang gak punya keberanian untuk bermimpi?"
"Ahahaha. Entah Cha."
"Mau sampai kapan seperti ini?"
"Sampai dia jenuh dan berhenti penasaran denganku."
"Bagaimana dengan kamu, Li?"
"Mati dalam elegi patah hati. Terlalu munafik untuk mengungkapkan jati diri."
"Bodoh!", Echa mengacak-acak rambut Lili.

Sabtu, 22 September 2012

Gadis Naif


-Apartemenku. 12:19 malam.-
Seperti malam-malam sebelumnya. Aku terbiasa bersahabat dengan sunyi. Ku ingat percakapan di kamar ini 3 jam sebelumnya.
"Kemana lagi istrimu, mas?"
"Dinas kantor. 3 hari dia tak akan pulang. Aku akan disini denganmu."
"Benarkah?"
"Iya. Bagaimana kuliahmu?
"Baik."
"Baguslah. Sini, kemari. Mendekatlah padaku." Aku memeluk mas Andre dengan lembut. Selalu ada kenyamanan dalam tiap dekapannya.

Mas Andre akhirnya pulang ke rumahnya setelah ku beritahukan padanya bahwa Nana akan datang, sahabatku. Di tengah lamunanku Nana membuka pintu dengan kasarnya.
"Dia kesini lagi kan?"
"Na, udah pulang?" sapaku lembut.
"Gue tanya dia kesini lagi kan?", sentak Nana kasar.
"Siapa? Mas Andre?"
"Lo punya malu gak sih? Mikir ga sih? Lo gak kasihan sama istrinya? Inget Made, dia itu suami orang!"
"Na..."
"De, lo gak malu apa kalo orang-orang sampe tau lo bawa laki-laki, beristri, ke apartemen! Apa kata orang De? Inget bokap-nyokap!"
Ya, Nana yang selalu mengingatkanku untuk berhenti berhubungan dengan mas Andre. Aku tidak menggubris, sudah hafal dengan kebiasaan sahabatku yang satu itu. Mas Andre memang suami orang. Tapi lalu kenapa? Aku hanya menemani dalam sepinya.
"Gue gak mau tau! 3 hari ke depan gue nginep sini! Gak ada lagi Andre."
"Ya sudah, kami cari saja apartemen lain. Atau rumah mas Andre sekalian. Lagian motel, hotel dan penginapan bertebaran dimana-mana ini kan?"
"Made! Punya harga diri gak sih lo?"
"Nana! Punya kerjaan lain gak sih kamu selain ngurusin hidup orang lain?"
Perdebatan seperti ini selalu terjadi setiap kali mas Andre menyambangiku.

-Apartemenku. 08:19 pagi.-
"Halo, pagi Nana!", terdengar sapaan kala ku angkat panggilan masuk ke hpku.
"Hoaaam...eh mas Andre! Selamat pagi juga mas!", sahutku girang ketika ku dengar suara bass lelaki usia tigapuluhan tahun dari seberang sana.
"Hari ini kamu kuliah sayang?"
"Tentu."
"Aku antar ya?"
"Kalo masnya gak keberatan. Ehehe. Aku mandi sekarang kalau gitu."
"Sana gih. Biar gak acem." goda mas Andre centil.
Aku menutup telepon. Segera aku berdoa, hendak merapikan kasur dan langsung mandi. Tapi kulihat penghuni kasurku lainnya juga telah bangun. Ah Nana, dia ada kuliah pagi juga toh? Tumben.
"Mau kemana?"
"Eh Nana. Udah mandi? Kamu punya jadwal kuliah pagi toh?"
"Bukan urusan lo! Gua tanya mau kemana lo girang gitu! Ketemu laki orang lagi ya?"
"Na...udahlah! Apa iya setiap baru buka mata sampai tutup mata lagi kita harus debat terus gini?"
"Sebodo! Gue bakal berhenti sampe lo berhenti jalin hubungan sama laki orang!"
"Na....!", nadaku meninggi, rasanya ingin menangis. Nana dulu tak seperti ini. Semenjak aku dekat dengan mas Andre sikapnya berubah.
"Kemana Made yang polos dulu yang gua kenal? Lo naif apa beneran bodoh? Dia suami orang! Lo baru 19 tahun! Hidup lo masih panjang! Laki-laki bejibun di luar sana, De!"
"Tapi aku mengasihinya, Na!"
"Lo udah ngapain aja sama dia?"
"Ya Tuhan na! Picik sekali pikiranmu. Dia baik. Dia tidak pernah macam-macam denganku. Malah sangat mengemongi."
"Jangan mentang-mentang bokap lo udah mati, mantan lo ngehamilin anak orang terus lo jadi sok cari perhatian ke pria dewasa, De!", nada tinggi Nana mulai melemah.
"Aku mencintainya Na. Itu saja. Sudah aku harus bersiap sekarang."

-Mobil mas Andre. 10:19 siang.-
"Nana itu sudah berapa tahun bersahabat denganmu?"
"Sejak dalam kandungan. Orang tua kami bersahabat."
"Oh. Pantesan." Sempat ada keheningan diantara kami sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
"Mas?"
"Ya?"
"Kenapa mendatangiku terus? Kita ini kan seharusnya sebatas dosen-mahasiswi. Kamu tak keberatan jika sampai ketahuan?"
"Ya jangan sampai ketahuan."
"Mas gak menjawab pertanyaanku."
"Ahaha.. Kamu tidak suka aku sambangi?"
"Suka mas. Sangat."
"Lalu kenapa terus-terusan bertanya?"
"Karena kata Nana..... mas ingin menceraikan istri mas."
"Kenapa begitu?"
"Karena dia... maaf aku lancang. Karena dia mandul. Tapi penghasilan mas dibawah dia. Lagipula.... agama..."
"Iyaaap. Malang banget ya pernikahan kami. Kenapa tidak ku kenal kau lebih dahulu?"
"Tapi mas... Apa iya Nana benar?"
"Apalagi yang Nana ucapkan?"
"Aku semata-mata pelampiasan. Benarkah itu?" Mas Andre hanya terdiam. Aku anggap itu sebagai bentuk persetujuan.

Aku minta mas Andre menurunkanku di tepi jalan. Aku limbung. Ingin sendiri dulu. Sedari awal aku sudah tahu bahwa mas Andre memang merasa ada yang kurang dengan pernikahannya. Dan aku...selalu merasa ada sosok kebapakan yang terenggut daripadaku.

-Apartemenku. 19:19 malam.-
"Tumben De udah dirumah. Kemana lelaki kebanggaanmu itu?", cela Nana. Aku hanya diam. Terduduk di kasur king size ku tanpa menggubrisnya.
"De...." Nana mulai panik karena tak biasanya aku mengacuhkannya. Ia mendekatiku. Memelukku erat. Aku diam saja. Ia lebih mempererat pelukannya.
"Nana!", aku tersentak saat ia mulai mencumi pipiku.
"Gua gak suka lo diapa-apain sama laki orang, De!"
"Iya tapi lepasin aku juga. Aku dengerin kok. Iya iya." aku berusaha melepaskan diri dari dekapannya.
"Gua benci liat lo nangis tiap lagi kangen sama si tua itu!"
"Iya Nana... Iya. Tapi kamu meluk aku kenceng banget ini!"
"Gua sayang sama lo!"
"Iya aku tau Nana. Aku mudeng. Udah ya. Yang galau kan mestinya aku, kenapa jadi kamu yang kayak gini?"
"Gua pengen hubungan kita lebih, De!"
"Hubungan kita udah lebih dari apapun kali, Na. Dari jaman masih janin juga kita udah telepatian! Ahahaha!"
"Apa mungkin kita jodoh?"
"Iya mungkin kali ya. Ditakdirin sahabatan dari jabang bayi."
"Aku udah lama mendam perasaan ke seorang wanita, De. Maaf. Aku gak tau dari kapan perasaam ini muncul. Tapi sepertinya aku menyukai sesama jenis De, kamu!"
Rasanya seperti ditampar oleh tangan tak bersosok ketika ku dengar ucapan ini keluar dari mulut sahabatku. Kemana lagi aku harus berteduh dan mengaduh? Senaif itukah aku? Sesial inikah garis takdirku? Masih adakah belas kasihan Tuhan kepadaku?

#cerpen

Kamis, 20 September 2012

Pangeran Kata


Lilo kini hanya bisa menyesali segalanya. Terlambat. Menangis darah pun tak akan ada gunanya.
"Kenapa kamu ini mengurung diri berhari-hari begini?" seru putri Feisya, sahabat sang putri.
"Aku baik-baik saja!"
"Berhenti bermunafik! Kejar dia!"
"Percuma?"
"Kenapa?"
-----

Alkisah ada seorang pangeran bernama Ric. Ia tak tampan ataupun menawan. Tuhan Maha Adil karena pangeran ini memiliki simpati dan karisma yang sangat tinggi. Tak seperti pangeran lain yang sangat mengagungkan penampilannya, ia justru memanjangkan rambut ikal kecokletan miliknya hingga sepunggung.

Ada seorang putri bernama Lilo. Ia gendut dan selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Ia tak pernah bangga akan dirinya. Tak ada kata cinta pada kamus hidupnya.

Suatu hari mereka dipertemukan dalam suatu acara. Kaum bangsawan dari berbagai penjuru dunia datang berkumpul dalam acara yang diadakan tiap seratus tahun sekali itu. Para putri-putri bangsawan sangat mengagumi pangeran Vio. Sedangkan sang putri bantet sangat mengagumi pangeran Ric. Baginya sang pangeran sangat heroik.

Pangeran Ric berperang dengan kata-kata. Ia berani menyerukan ketidakadilan yang dilakukan oleh Raja Buldoser melalui perkamen-perkamen yang ia sebarkan ke seluruh rakyat dan surat untuk raja itu sendiri. Meski begitu, pangeran Vio tetap lebih disukai karena berhasil menumpas raksasa gendut-bau-pemalas si Huvog yang gemar mencuri hasil panen warga.

Saking sukanya, sang putri pun menjadi punya pekerjaan baru yaitu penguntit amatir. Ia kali pertamanya sang putri merasa bergairah dalam hidupnya. Setiap saat pun ia akan menatap ke jendelanya pada saat ayam baru saja berkokok karena biasanya sang pangeran akan lewat depan kastilnya dan menyapa para rakyat jelata.

Setiap pangeran melewati kastil milik putri Lilo, selalu saja pangeran menatap ke atas, ke tempat putri Lilo biasa memandanginya. Kalau sudah begitu, sang putri akan menunduk dan menjerit pelan. Bahagia dan berbunga.

Hingga akhirnya sang putri merasakan bahwa sang pangeran juga jatuh hati padanya. Kapanpun dimanapun mereka bertemu atau sekedar papasan, pangeran selalu memandangi, tersenyum dan bahkan sesekali menyapanya.

Sang putri yang kini lebih mencintai dirinya semakin berhasrat menjalani hari-harinya. Ia pun bercerita pada boneka beruang ajaibnya.
"Popo, siapa menurutmu yang dicintai sang pangeran?"
"Ampun Yang Mulia. Popo tidak tahu."
"Hmmm, kalau begitu, apakah pangeran benar-benar jatuh hati padaku?"
"Ampun Yang Mulia. Lagi-lagi Popo tidak tahu."
"Popo, apakah aku benar-benar jatuh cinta pada sang pangeran?"
"Ampun Yang Mulia. Apakah yang mulia masih meragukan rasa yang telah yang mulia pendam selama ini?"
"Yayaya...baiklah. Po, kamu punya solusi untukku kah?"
"Dengan segala hormat Yang Mulia. Popo punya. Namanya cincin ajaib. Kenakan ini yang mulia. Jika yang mulia berhasil mendapatkan kecupan dari sang pangeran, maka cincin ini akan lenyap dengan sendirinya. Namun jika gagal, yang mulialah yang akan lenyap dari ingatan, benak dan bahkan pandangan sang paduka."
"Maksudmu, jika aku gagal, aku seakan-akan bagaikan hantu dihadapan Ric?"
"Ampun Yang Mulia."', Popo menunduk sangat dalam.

Setelah berhari-hari memikirkan teknik, akhirnya Lilo menemukan rencana yang cukup mudah. Masuk ke dalam kamar pangeran Ric, menemuinya dan menceritakan segalanya.
Hari yang dinanti tiba. Putri Lilo kabur dari istananya menuju kediaman Ric. Ia bisa dengan mudahnya memasuki kawasan istana tersebut, namun ttidak untuk memasuki kamar Ric, area pribadi. Ia kenakan cincinnya segera dan mencoba bersembunyi di lemari Ric menunggunya masuk ke kamar tersebut.

Malang bagi putri Lilo karena yang memasuki ruangan itu bukanlah Ric melainkan ibundanya, Ratu Lucifera. Si jahat tukang belanja, bergosip dan tak pernah memikirkan rakyatnya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Ah ratu! Maaf. Aku....", kalimat terhambat di kerongkonan putri Lilo.
"Memata-matai anakku, Ric?"
"Ah, maaf ratu. Hanya saja..."
"Ahahaha! Kau jatuh cinta padanya?", pipi putri Lilo memerah sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
"Ingat siapa dirimu! Kau memang sama kastanya dengan kami! Tapi kau si murung yang tak pernah menghargai hidupnya! Apa yang bisa dibanggakan darimu?"
"Lihat dirimu! Pendek, gendut, jelek! Kau macam monster! Pergi kau! Enyah dari hadapanku!"
"Tapi ratu..."
"Pulang dan berkacalah!"
Entah berapa banyak lagi hinaan yang putri Lilo dapatkan hingga akhirnya....
"Lihat, putraku sedang melukis. Tentu putri Viola yang jadi objeknya. Ah belakangan juga ia sering tersipu sendiri. Sudah tentu putri Viola yang dia bayangkan."
Terlalu banyak cacian, hinaan dan kepedihan yang Lilo rasakan hingga akhirnya...

PRANG!!!
Putri Lilo menjatuhkan dirinya ke bawah. Kaca megah kamar Ric pecah. Ia dekati Ric dan bertanya. Namun tak ada jawaban. Ia lihat lagi apa yang sedang dilukis pangeran...ternyata dirinya. Namun seketika pangeran berhenti melukis dan nampak bingung.
"Apa yang sedang kulakukan? Mahluk apa yang sedang aku lukis?"

Putri Lilo teringat kata-kata Popo : "Namun jika gagal, yang mulialah yang akan lenyap dari ingatan, benak dan bahkan pandangan sang paduka."

-----

"Ketika emosi merusak segalanya!", rutuk putri Lilo.
"Astaga.. Yang Mulia! Mengapa kau sebodoh itu?"
"Cemburu. Semata-mata aku menyukainya dan ingin sepenuh memiliki."
"Andai kesempatan kedua itu ada!"


#dongeng

# 3





When the amount of this pict is the representation of my choice!
Well, I wish they won't make us dissapointed. Amen.




Senin, 17 September 2012

Merah Muda Menua


“Happy Birthday Queenta…!”
“Abang! Berisik! Aku semalem baru abis diguyur sama anak-anak ya, dingin. Menggigil nih. Iya makasi deh. Udah sana!” usir Queenta.
“Kasar amat dek! Buka dulu matanya. Liat dong kejutan buatan abang. Pasti terpesona deh kamunya!”
“Sebodo amat! Aku …….hoam…. menggigil.”
“Tiup lilin juga gak mau ta? Jiaaah… ya sudah Bolu Ketan buatan mak’e favoritmu ini aku aja yang habisin! Asik-asik! Dadaaaah Tata!”, goda Rexy.
“Eeeehhhh…mau mau! MAAAUUUU! Mana sini sini kesiniin!,”, seketika Queenta meniup lilin angka 17 tahunnya dan menjilati kuenya. Tanpa ia sadari, Rexy mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sekotak sepatu Converse warna merah muda.
“Astaga…. Huwaaa! Abang baik banget! Terima kasih! Waaah pink! Warna kesukaanku. Size 4,5. Ini kan susah nyarinya bang. Kok dapet sih?”
“Kakimu kan ukuran bocah, abang nyarinya di…..ada deh! Itu mah rahasia! Tapi gak dibungkus, ehehehe maaf ya. Happy birthday adekku!” Rexy mengecup kening Tata dengan lembut, sang empunya kening malah sibuk meneliti kuenya, mencari cara terbaik melahapnya.


Ayah Rexy dan Queenta bersahabat sejak mereka masih bujangan. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk berumah tangga dan membangun istana masing-masing pun, mereka tetap sepakat untuk menjadi tetangga. Hingga lahirlah Rexy terlebih dahulu dan kemudian disusul Queenta tiga tahun kemudian.


‘Selamat ulang tahun Tata sayang! Bangga aku sekarang adik manisku sudah dewasa. Sudah di penghujung
remaja! Happy 19th birthday dear Queenta! Smoochy smoochy!’ sebuah pesan masuk ke hp Queenta.
‘Sembarangan si kakak. Aku kan baru 19 tahun. Iya sih. Belum juga kepala 2. Ehehe. Tapi mana kado untukku?’, ketik Tata dengan cepat.
‘Nanti abang teraktir deh. Bakso mang Ojo! Ok!?’ balas Rexy agak lama. Queenta tak lagi membalas pesan itu. Ia tahu akan kesibukan Rexy membantu ayahnya mengurusi usaha gallery lukisan di Kemang Timur.

Queenta bosan dan jenuh, tak tahu harus berbuat apa. Hingga kemudian, ia teringat kebiasaannya semasa kecil…..
“Tata, ngapain disini? Rexynya gak ada sayang. Makan aja yuk sama tante. Tante lagi masak Ayam Penyet loh… Enak deh!”
“Eh tante…. Tata kaget. Kok tante ada disini?”
“Adanya tante yang harusnya bertanya. Ini kan kamar anak tante. Kamu juga. Sudah gadis, masih aja manjat-manjat.”
“Gak manjat kok tante. Cuma ‘menyeberang’. Mihihi!”, yang Tata maksud dengan ‘menyeberang’ adalah memasuki kamar Rexy dengan melewati pagar besi setinggi pinggang Tata di balkon kamar keduanya dan masuk melalui jendela sebesar pintu di rumah Rexy. Kamar keduanya memang berhadapan dan jarak balkon keduanya hanya 60 cm. Pembangunan seperti ini tidak pernah direncanakan oleh orang tua mereka, terjadi secara kebetulan.

Aroma Ayam Penyet buatan tante Anggi menyeruak memasuki ruang kamar Rexy. Meski begitu, aroma parfum Rexy tetap samar-samar terasa. Tata memandangi kamar itu. Dominasi merah. Bola basket di lantai kamar, seperangkat drum di pojok ruangan dan tumpukan novel karya Pramoedya Ananta Toer memenuhi ruang kamar ini. Rapi. Sudah tentu itu karena tante Anggi yang menatanya.

Tata merasa kesepian. Ia ingat bagaimana dulu ia dan Rexy selalu bermain bersama. Kini Tata sudah menjadi mahasiswi semester 3 fakultas hukum universitas swasta unggulan, sedangkan Rexy baru diwisuda setahun lalu. Tentu kesibukan mereka berbeda. Sulit untuk bermain bersama seperti saat keduanya masih bocah.

Setelah habis melahap masakan tante Anggi, Queenta berjalan lemas ke kamar Rexy, siap untuk kembali menuju kamarnya. Namun langkahnya malah tertahan di kasur empuk milik Rexy yang nampak menggoda baginya yang kadung kekenyangan.
 
Queenta berbaring, memandangi langit-langit kamar Rexy dan ia menyadari ada sesuatu disana. Daritadi ia tak memperhatikan. Ia pandangi lekat-lekat benda itu. Sebuah foto. Gambar seorang wanita muda, kira-kira seusia dengan Rexy. Tata bertanya-tanya siapa wanita itu. Namun rasa kenyang berhasil membuat matanya terpejam dan tertidur lelap di kamar Rexy.

“Tidur sembarangan di kamar laki-laki! Kamu ini perempuan macam apa?”, setengah mati Tata membuka matanya, berusaha melihat siapa yang berani membentaknya.
“Eh… abang. Baru pulang? Sini!”, Rexy berbaring disampingnya.
“Ih..gila ya! Dulu ini kasur jadi tempat ompolanku.”
“Sekarang juga masih! Buahaha!”
“Sembarangan kamu bang! Ahahaha. Gak kerasa sekarang kita udah tua. Aku udah mau kepala dua! Eia, kayaknya tadi sebelum tidur aku liat ada apa gitu deh di langit-langit. Itu apaan sih bang?”
“Ah perasaanmu aja dek.”
“Serius. Aku liat sesuatu.”
“Ah masa….,” goda Rexy sambil menggelitiknya. Tata malah cekikikan geli meminta ampun dan lupa dengan pertanyaan yang sempat menggelitiknya tadi.

Mereka jatuh lelah di atas kasur Rexy. Rexy memandangi Tata dengan tatapan ‘mengemongi’ sembari membelai lembut keningnya.
“Dek…kamu sampai kapan ngintilin aku terus? Kamu udah gadis. Keluar sana! Bergaul! Jangan jadi kupu-kupu gitu ah, kuliah-pulang-kuliah-pulang! Cari pacar! Jalan! Nonton! Dikasi cokelat, bunga, surprise, couple t-shirt! Cari pacar harus yang bener, biar dia bisa jagain kamu!,” nasihat Rexy lembut.
“Pokoknya nanti kalau aku punya pacar, aku mau bawa ke abang dulu! Kalo dia tipe brengsek, langsung hajar aja bang! Ahahaha… tapi itu nanti. Masih lama!”
“Kok gitu?”
“Untuk apa aku cari pacar kalau cuma dijadiin bogdyguard & driver! Ada kamu ini bang! Gak pamrih harus dismsin, teleponin, chatting, webcam! Iya kan? Abang masih bakal jagain aku kan?”, Tata menatap mata abangnya itu penuh harap. Rexy hanya tersenyum penuh arti.


Rangkaian bunga memenuhi pekarangan rumah keluarga Galih Saputro dan Brotoseno Widjojono.  Happy Wedding! Rexy-Queenta!’, pesan ini terpampang jelas di setiap sudut. Warna putih mendominasi dekorasi. Kursi, meja bulat, taplak, bahkan karpet yang membentang pun berwarna putih bersih, tak merah seperti pada umumnya.

Tamu-tamu undangan tampak sumringah, cekikikan, terbahak, bahkan menangis bahagia. Semua senang. Lilin-lilih putih, rangkaian bunga lili, kain putih, wangi melati dan mawar putih menjadi teman bisu para tamu. Ketenangan, keramahan dan kesucian menyeruak tatkala tamu menginjakkan langkah pertama di atas rerumputan rapi yang dilapisi karpet putih di salah satu sisinya, tepatnya yang menuju mimbar. Sang pendeta pun sudah menunggu dengan senyum damainya. Para tamu seketika memenuhi kursi yang tertata menghadap mimbar.

Pasangan Rexy-Queenta turun dari mobil Mercedes Benz sport putih milik Rexy yang sudah dihias beberapa buket bunga mawar putih. Keduanya tersenyum bahagia, bergandengan tangan dengan mesra menuju mimbar.  Para tamu undangan tertegun menatap keduanya, pasangan sempurna, si tampan dan si cantik. Sangat serasi dan membikin iri.

Keduanya tiba di mimbar setelah dalam beberapa langkahnya para tamu berdiri menghormati dan tak henti berdecak kagum memandangi. Setelah kebaktian pemberkatan selesai, pendeta mempersilahkan Rexy untuk mengecup kening istrinya, namun Rexy malah berbuat lebih dan mencium mesra bibir Queenta yang telah resmi menjadi istrinya itu.

“Aaaaaaaaaaa!” kompak bibir-bibir para undangan melafalakan huruf pertama dalam deretan abjad itu dengan setengah berteriak. Ada rasa haru, bahagia dan iri di dalamnya.
“Tahan! Satu, dua…” Jepret! Sang tukang foto tak mau ketinggalan mengabadikan momen ini.
“Eh sebentar! Ini kenapa high heels si mbaknya gak keliatan ya? Saya takut diprotes nih!”, protes pemuda yang berprofesi sebagai fotografer lepasan itu.
“Eh… Oia! Ulang mas. Rexy sayang, kamu gendong aku aja ya. Biar sepatuku keliatan.” Queenta langsung ke punggung Rexy dan melompat ke sana. Alhasil, Rexy membopong istrinya atau yang lazim disebut piggyback. Ia hanya pasrah dan bahagia, masih penasaran juga mengapa istri centilnya ini bisa salah memilih alas kaki padahal hari ini sudah Queenta rancang secara mendetail dari jauh-jauh hari.
“Rexy! Say cheese honey!”, teriak Queenta sambil menghadap kamera sementara kamera menjepret justru ketika Rexy sedang memperhatikan alas kaki wanitanya itu.
“Ya Tuhan! Sepatu ini… Queenta! Gila kamu ya?”, mata Rexy melotot melihat sepatu Converse pink yang pernah ia hadiahkan kepada wanita itu, sudah sejak delapan tahun yang lalu. Sepatu itu nampak sedikit usang -namun bukan kotor- karena memang tak pernah dikenakan Queenta. Sepatu itu hanya sedikit menua dimakan usia.
“Gak ada yang salah kan? Ini memang mimpiku. Sejak kamu kasih sepatu itu, aku hanya menyimpannya. Tapi seiring waktu, warnanya memudar. Tapi yang penting bisa tetap nyaman dikenakan! Lagian ini kan kenang-kenangan!”, Queenta mengecup mesra pipi lelakinya.
“Gaun pengantin, acara pernikahan, sneakers Pink ngjreng! Damn! I love you so!”, bisik Rexy kemudian mengakhirinya dengan ciuman panjang.
Lagi-lagi pelafalan A panjang terdengar dari arah bangku para tamu undangan dan keluarga besar serta rekan-rekan mereka. Semuanya itu tak menganggu ciuman panjang Rexy dan Queenta, malah semakin dalam dan hangat. Sesekali mereka tersenyum dan melanjutkan ciumannya kembali.
“Woooi! Sudah sudah! Kami para jomblo dengan ini menyatakan…..SANGAT IRI!!!”, seru salah seorang sahabat Rexy dengan lantang dan diakhiri dengan tawa. Kedua pasangan menyadarinya. Queenta segera melemparkan sebuket mawar putihnya dan teman-temannya yang masih membujang berlarian berusaha menangkapnya.
‘Goodluck for all of girls out there who are still looking for their Prince(s) Charming!  This is my shoes story, happy ending forever and ever! The one who stay beside me since I was born gonna accompany me until I close my eyes for the last time. No drama, no stardust!  Bye-bye fairytale!’, batin Queenta menjerit bahagia. Kembali ia mencium suaminya itu, tak perduli dengan keadaan sekitar. Dunia hanya milik mereka berdua.


 “Ta…. Tata! Tataku sayang. Adek…. Yuhuuuu….. WOI BANGUN QUEENTA! Memalukan banget jadi cewek. Tidur sembarangan di kamar laki-laki, mengingau pula. Senyam-senyum sendiri. Hih! Cowok mana yang mau jadi pacarmu dek?”
“Hah? Apa?”, Tata mengelap liurnya di ujung bibir dengan tangannya.
“HAH? APA? BANG REXY! INI DIMANA? ITU TADI? AAAAAAARRRRGGHHHH!! SIAL! CUMA MIMPI!!!”, jerit Queenta frustasi.
“Lah kamu ileran disitu. Daritadi ngigo ‘iya sayang, iya sayang’. Hayo itu tadi mimpi apa? Abang curiga nih sama kamu! Udah punya pacar ya ternyata, aheeem! Cie cie!”, goda Rexy.
“SOK TAU!”, masih kesal Queenta dengan mimpi indahnya yang lagi-lagi hanya bunga tidur.
“Eh dek. Dengerin lagu karangan abang deh. Rencananya mau dibawain sama band abang. Begini liriknya :

Kita ini ibarat sepasang sepatu. Berjalan beringinan.
Melangkah bersama dalam satu irama.
Kita tetap satu, meski tak pernah bisa menyatu.
Meninggalkan kenangan, menapaki kehidupan.
Bentuk kita berbeda, meski nampak sama.
Aku menjadi tak berarti tanpamu, karena kita satu.
Jadilah kita satu. Sepasang sepatu. Aku kamu.

“Huwaaaaaaaw… keren! Judulnya apa bang?”, puji Queenta tulus.
“Belum kepikiran dek. Ada saran?”, mimik Rexy berubah serius.
“Kisah sepatu. Gimana? Bahasa inggrisnya Shoes Story. Translate aja bang ke Bahasa Inggris. Biar lebih universal.”, seketika Queenta bangkit dari kasurnya, mimiknya sumringah.
“Ah boleh juga. Tapi aku gak mau diganti ah liriknya. Aku cinta rimanya. Lagipula nadanya belum ketemu, nanti dirembukin lagi bareng anak-anak .”
“Oh. Inspirasinya dari mana kak?”
“Hmmmm… jadi gini loh dek. Sebenernya abang mau ngungkapin sesuatu ke kamu. Jadi…mmm…aduh abang bingung gimana memulainya…..”
“Apa? To the point aja deh bang!”, tuntut Queenta. Ia sebenarnya juga berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan Rexy berikan. Apakah dirinya yang dimaksud? Queenta sejak lama menyayangi Rexy, entah sebagai abang, atau bahkan lebih. Namun ia tidak pernah tahu nama apa yang paling pantas diberikan atas rasa berdebar, bahagia dan berharap yang ia rasakan tiap di dekat Rexy.
“Jadi gini loh dek… Sebenenya… Abang mau jujur sama kamu. Abang itu….hmmm…tapi janji ya jangan marah. Aduh kenapa jadi canggung gini sih! Ok! Tarik nafas, buang! Abangmu, Rexy Xavier Maheswara, jatuh cinta, sangat cinta lebih tepatnya pada seorang gadis. Ia adalah….”, setengah mati Rexy merangkai kata untuk bercerita.
Ting-tong! Bel rumah Rexy berdering sekali.
“REXY!!! LE! TOLE! LE! YUHUUU! VANESSA DATANG NIH LE! CANTIK BETUL DIA PARASNYA. INI YANG KAMU CERITAKAN KE BUNDA WAKTU ITU? INI TOH PACARMU!,”teriak tante Anggi dari lantai bawah.
Rexy menatap lekat wajah adek kesayangannya itu. Queenta balas memandang, lama.
“I know. She is the one that you mean, isn’t she?”, jawab Queenta sembari menunduk, tak ingin Rexy melilhat air matanya yang memaksa ingin menetes keluar.
“Iyeees! Aku pengen ngenalin kamu ke dia dek. Ayo turun!”
“Duluan gih bang. Aku mau cuci muka. Gak enak kucel begini.”
“Ok! Jangan kelamaan ya!”, ceria Rexy.
‘Ahahahaa.. sepasang sepatu. Saling mengiringi, serasi, melengkapi. Tak pernah benar-benar bisa menyatu! Hahaha!’ ucap Queenta pada dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi Rexy. Air mata membasahi pipinya. Ia terisak dalam diam, berusaha menghapus airmatanya, namun kunjung membanjiri wajahnya.
“Sebentar bang! Sabar dong! I’m coming…”, jawab Tata lirih pada Rexy yang memintanya untuk turun segera dan menyalami kekasihnya itu.

Samar-samar terdengar alunan lagu dari radio dari ruang tamu yang diputar tante Anggi. Pelan. Namun bagi Queenta makna lagu ini sungguh dalam, menusuk dan menghujam. 


I refused to believe that it could be so.

There’s no way I’m in love with you.

I lied to myself that it’s just a petty jealousy.

That I must be feeling lonely, but I can’t hide it anymore.



We are not meant for each other.

And being friends is the best thing for us.
There isn’t single thing we have in common.
So I claimed there’s no way we can be lovers.
But I don’t want to make excuses anymore.

Why didn’t I know that it was you.
Why couldn’t I see it when it was right in front of me.
It was beside me all along.
But only now I can see is love.

I think I love you
But it must be so, cause I miss you.
Without you I can’t do anything.
And now you’re always on my mind.
So seeing this. It must be
I was unaware.
But now I can see that.
Your presence have delved deeply into my heart.







Inspirasi : [I Think I - Byul] -english version #30HariLagukuBercerita #ShoesStoryProject
*Tulisan ini telah dimuat di 30harilagukubercerita.blogspot.com
#cerpen


Sabtu, 15 September 2012

Berandal Mencinta



"Sudah cukup jauh perjalanan ini.
Lewati duka, lewati tawa.
Lewati segala persoalan."


Sore itu Ronald mengapeli kekasihnya untuk pertama kalinya ke rumah. Mereka biasa berkencan, namun belum pernah ia ke rumah dan memperkenalkan diri kepada Ayah-Ibu kekasihnya. Rambut ikal gondrong sepinggangnya mampu membuat kedua bola mata Ayah-Ibu hampir keluar dari tempatnya. Belum lagi, penampilan uniknya dengan celana jeans belel dan kaos hitam kedodoran. Keunikan Ronald yang membuat Laras sangat tergila-gila padanya. Membawakan sebuah kotak martabak telur yang isinya malah berisikan kepingan CD lagu-lagu Om Iwan Fals, misalnya.

"Mau sampai kapan kamu sama laki-laki seperti dia?", tanya Ibu lembut.
"Memang kenapa bu?"
"Apa iya dia pantas jadi masa depanmu? Ingat, Ras. Kamu sudah 19 tahun. Di usia segini, nenek buyutmu sudah punya momongan."
"Aku menyukainya. Aku percaya padanya. Tolong bu."
"Raden Ajeng Larasati, dia itu.... Ah! Ibu mau kamu jaga nama baik keluarga. Cari yang lebih baik darinya! Ibu mau laki-laki baik-baik, bukan yang seperti itu."

Laras tau pasti sebenarnya bukan hanya tampilan ajaibnya yang membuat Ayah-Ibu langsung menolaknya jadi calon menantu di awal pertemuan mereka.

-----

"Bagaimana kemarin kesan bapak-ibumu, Ras?", kedua tangannya sibuk menyisiri rambut gondrong kebangaannya itu.
"Menurutmu bagaimana?", aku malah bertanya balik.
"Lah, kalau aku tau, gak mungkin aku nanya Ras. Aku kan buka guru, yang jelas-jelas sudah tau, masih aja iseng nanya." candanya. Ah ingin sekali Laras memeluknya terus dan tak rela membaginya dengan siapapun.
"Kamu sebenernya sesayang apa sama aku?"
"Kok gitu nanyanya?", segera ia memutar posisi duduknya. Kali ini mereka menjadi berhadap-hadapan.
"Aku serius."
"Sudah tiga tahun kita sama-sama. Cinta monyet dari SMA. Sekarang sudah jadi Gorila mungkin!"
"Ronald, aku serius!"
"Iya aku juga, Ras. Aku serius sayang kamu."
"Sampai...?"
"Sampai aku dan kamu harus berpisah."
"Kalo gitu kamu gak akan benar-benar 'fight for us' dong?"
"Ras, aku gak tau kamu lagi kenapa. Tapi apa kamu pikir sekian tahun kita sama-sama itu aku main-main sama kamu? Harus berapa lama lagi aku kasih pembuktian?"
"Tapi nald..."
"Aku tau Ras. Aku dan segala kerebelanku kan yang bikin mereka ragu?"
"Nald..." ingin segera Laras memeluknya, namun ia tahan. Ini masih di kampus, ia tak mau sembarangan.

-----

Saat itu malam Minggu dan Laras pamit kepada bapak-ibu untuk pergi bersama lelakinya. Ibu sempat ragu, Bapak malah hampir melarang. Tapi ia ingatkan mereka bahwa kunci mobilnya ditahan hanya jika ia tak mampu mempertahankan IP di batas 3,5. Nyatanya, sudah 2 semester ia mendapat potongan biaya kuliah karena IPnya berturut-turut 3,75.

"Jangan malam-malam pulangnya, nduk."
"Iya bu."
"Besok juga kamu haru bangun pagi!!", sahut Bapak tanpa melirik. Ia masih marah semenjak Laras kenalkan Ronald padanya. Ia sangat benci anak semata wayangnya memadu kasih dengan lelaki berperawakan berandal macam Ronald.
"Ada apa?"
"Besok ikut Bapak."
"Kemana?"
"Bertemu Galang, anaknya sahabatku. Mapan, tampan dan sopan. Pokoknya segera akhiri hubunganmu dengan bocah bengal itu!"
"Bapak!", nada Laras mulai meninggi. Segera ia buka pintu mobil dan tancap gas. 

-----

"Eh tong, mau kemane? Bukannye bantu sepupu lu nyang lagi hajatan! Ettt!", teriak Emak Ronald padanya.
"Bentar, nyak! 2 jam lagi sudah sampai pasti!"
"Iye tapi kemane?"
"Menjemput bidadari. Ehehehe."
"Ape lu kate?", sahut Emak bingung.
Ronald tidak menjawabnya dan justru berteriak lantang ke arah  sepupunya, Kardi yang sedang menjadi raja sehari kala itu. "Di, gua pergi bentar yak! Jangan keburu malam pertama dulu, lu! Tungguin calon bini gua!"
"Wuih sedap. Siap masbro!", sahut sang pengantin ditengah kesibukannya menyalami para tamu undangan.

-----

"Lagi gak ada film yang asik nih. Makan aja kali ya enaknya."
"Kamu udah lapar?", tanya penghuni jok kiri di mobil Laras.
"Belum sih."
"Terus?"
"Enaknya gimana?"
"Ikut aku aja yuk!", ajak Ronald.
"Kemana?"
"Nanti juga kamu tau. Ikutin arahan aku aja ya. Nah, depan situ belok kanan!"

-----

"Ini dimana Nald?"
"Kawinan, Ras. Kardi dan Annisa. Sepupuku yang lakinya."
"Ih kamu kok tega banget! Pantesan hari ini dandan rapi kamunya. Duh, kenapa gak bilang. Aku kucel banget gini lagi!", panik Laras merutuki penampilannya yang hanya mengenakan skinny jeans, flat shoes dan cardigan seadanya.
"Gak apa-apa. Kamu tetap cantik kok!"
"Nald, gila ya kamu! Yang lainnya sasakan, lah rambutku cuma dicepol ngasal gini."
"Tenang Ras. Aku yang bawa kamu kesini. Aku yang bakal jagain kamu." sebagai jawaban, Laras memeluk lengan kanan Ronald.
Laras memasuki gang sempit menuju rumah Kardi. Iya, ini salah satu dari ribuan alasan Bapak-Ibunya kurang menyukai kekasihnya itu. Beda strata, terlebih dengan gelar kebangsawanan Jawa yang dimilikinya.


Pandangan penasaran langsung diterima Laras kala ia memasuki rumah kecil milik keluarga Ronald. Ada padangan mengagumi, menjelajahi bahkan sirik. Tubuh mungilnya terasa semakin menciut di antara orang-orang asing di hadapannya. Ronald menggengam tangannya, memberinya kekuatan.

Tak lama, Emak Ronald meghampiri keduanya. Baru saja tangan Laras dan Emak saling berjabat, tiba-tiba seorang ibu bertubuh tambun menghampiri dan membisiki sesuatu di telinga Emak. Sesudahnya, Emak memicingkan mata dan berusaha mengamati sesuatu pada diri Laras. Laras gelagapan, tak biasa dipandangi seperti itu.

"Assalamualaikum. Emak apa-apaan sih? Iye, calon bini aye cakep. Tapi kagak usah dibikin risih gitu juga dong mak! Kesian pan!" canda Ronald sembari menguatkan genggamannya pada Laras.
"Wallaikumsallam. Iye. Subhanaullah. Cakep sih. Tapi....", kalimat mengantung ini terasa janggal bagi Laras. Firasatnya kurang baik.
"Tapi ape mak? Takut aye gak bisa ngidupin yak? Ahahaha, doain mangkanye aye cepet-cepet jadi sarjane. Terus jadi pengacare handal biar bisa beliin Laras ame Emak sebongkah berlian.", Ronald tak pandai membaca situasi.
"Bukan. Emak takut aje. Disini pan banyak copet kalo lagi hajatan begini. Takut kalung si mpoknye ilang." Hati Laras mencelos. Segera digenggamnya kalung emas putih berliontin Salib miliknya.

-----

Ronald mengajak Laras mengitari daerah sekitar yang masih sepi dari rumah penduduk. Malam itu jam menunjukkan tepat pukul sembilan.
"Ras, maaf ya. Aku gak tau bakal jadi gini."
"Gak apa-apa Nald."
"Mungkin ini juga yang bikin Bapak-Ibumu kurang setuju ya?", Laras hanya mempererat genggamannya Ronald sembari tetap melangkah.
"Ras, kamu tau artinya cinta pertama?"
"Pacar pertama. Gebetan pertama. Kesayangan pertama kalinya?"
"Bukan Ras. Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Kamu mungkin memang bukan yang pertama kalinya untukku Ras. Tapi kamu dengan segala keribetan kita, membuatku benar-benar jatuh cinta, tak pernah bisa lupa dan berusaha terus bertahan. Mungkin ini yang dinamakan cinta pertama. Aku harap kamu mau bekerja sama untuk mempertahankannya, Ras."
"Bantu aku juga ya, Nald." 
Ronald menggengam tangan kekasihnya dan keduanya berjalan beriringan entah sampai kapan, entah sampai mana.

"Aku tak perduli apa kata mereka.
Hari ini engkau disini.
Esok tetap disini."





Inspirasi : Nona-Iwan Fals 
#cerpen

Jumat, 14 September 2012

Falskadabra!



-Kantin kampus. 12:16 siang.-

'Di kantin depan kelasku...
Disana kenal dirimu!'

"Haduh ini siapa sih penyiarnya? Masih jaman ya muterin lagu beginian? Hari gini!"
"Ya sudahlah. Namanya juga kantin kampus. Wajar kan? Nikmatin aja!"
"Terserahlah!", jutek Lila.
"Gua pesan makanan dulu ya. Lo jagain nih tas.", pesan Sasha padanya.
"Yaelah tas 50 reben doang, siapa juga yang mau nyuri!"

Lila memang paling anti dengan lagu-lagu Iwan Fals. Bukan karena pernah punya pengalaman pahit dengan lelakiknya, hanya saja.... Aaah terlalu menyakitkan baginya untuk dikenang.

"Maaf, ini kursinya kosong kan?", Lila tersentak dari lamunannya.
Ia hanya diam, menatap sosok di depannya. Kulit kecoklatan, rambut lurus gondrong sepunggung dan kaos hitam celana jeans belel melekat di tubuhnya. Sangat jauh dari tipe idamannya.
'Ini ada mahluk begini?'
"Woi! Malah bengong! Awas nanti jatuh cinta!", ledek lelaki itu sok kenal.
'Bangkek SKSD banget ini mahluk! Untung senior!'
"Oooh iya kak. Cuma ada 1 orang lagi! Tapi lagi pesan makanan!"
"Aish selow aja sama gua. Gak usah pakai kakak-kakakan. Nanti kejebak di abang-adek-zone lagi kita!"
'Dih! Bisa muntah di mangkoknya ini mahluk gak sih! Kepedean banget!' senyuman dipaksakan, hanya itu hal terakhir yang bisa Lila lakukan.
"Roy!"
'Apa-apaan! Dia ngenalin namanya! Siapa juga yang nanya sih? Hah? Roy? Roy Sayur? Iiish!'

"La, udah gih. Eh, ada kak Roy!"
'Eh kok Sasha kenal! Emang siapa sih ini mahluk ajaib?' 
Eeeh oh iya! Gua pesan makan dulu ya Sha. Tolong jagain!", jawab Lila gelagapan.
"Apanya yang mau dijaga? Hati kamu? Sini, titipin ke saya aja!", canda si gondrong culun itu, anehnya Sasha malah tertawa mendengar gombalan gembelnya.
'Bangkek garing bener mahluk berjakun satu ini!'

"Susah-susah mudah... Kau kudekati!
Kucari engkau lari, ku diam kau hampiri.
Jinak burung dara, justru itu ku suka!"

"Itu siapa sih, Sha? Kok lo kenal? Itu juga senior-senior yang lain kenapa kenal sama dia! Siapa sih? Sok asik banget! Garing tau gak!", runtutan pertanyaan ditembakkan Lila.
"Ahahaha santai La nanyanya. Satu-satu. Ok, dia siapa? Dia senior kita. Kenapa senior lain kenal dia? Yaiyalah, mereka kan temenan, seangkatan."
"Lo, jayus-mampus! Main gih sana sama dia. Ogah gua punya temen jayus kayak lo!"
"Loh kok ngambek? Bila engkau tertawa hilang semua duka...! Ahahahaha ngambekan!" Sasha malah meneruskan lagunya yang masih terdengar dari radio kampus mereka.

-----

-Ruang kelas YB 201 . 13.16 siang.-

"Iya baik. Sekarang kita akan memulai kelas. Saya minta kita sepakati terlebih dahulu kontrak kelas kita. Saya tidak mau ada keterlambatan lebih dari tiga puluh meni..."
Tok...tok... seseorang  mengetuk pintu dengan seenak jidatnya.
"Maaf pak. Saya baru terlambat 20 menit kan?", sahut Roy dengan menggaruk kepalanya yang berambut bak model ikan shampo.
'Dih, mahluk ini lagi! Mampus telat! Kena deh sama dosen killer satu ini!'
"Iya silahkan. Lain kali jangan main masuk ya kalo belum saya persilahkan!", jawab Pak Bustomi manis.
'Anjasmara! Siapa sih dia! Kenapa semua orang baik ke dia? Pada gak liat apa segimana ajaibnya mahluk ini! Norak, kumuh, sok asik!'
"Eh temennya Sasha, ketemu lagi kita! Nama kamu siapa sih? Tadi belum sempat kenalan kan?", ujar Roy setelah mendudukkan pantatnya di bangku samping Lila.
"Lila!"
"Zigaz!"
"Hah?"
"Kamu kan Lila, saya Zigaz. Kita samaan deh, sama-sama nama band Indonesia!"
'Krik mampus! Jayus! Garing! Apa banget sih!'
Lagi-lagi 2 jam kemudian harus Lila habiskan dengan duduk bersebelahan bersama dedemit satu itu!
Hp dosen killer berdering. Anehnya, kenapa lagu dari penyanyi yang sama yang Lila dengar di kantin tadi yang digunakan sang dosen sebagai nada deringnya. Arrrgh!

"Datanglah kau kekasih, dekap aku erat-erat.
Jangan buang pelukku yang tulus.
Biarkan hujan turun basahi jiwa yang haus.
Jangan tutup dirimu..."

-----

-Koperasi kampus. 15.16 sore.-
 Lila hendak membeli air mineral ketika tanpa sengaja botol yang dipilihnya juga direbut bersamaan dari gengamannya.

"Mata indah bola pingpong.
Masihkah kau kosong?"

"Eh, la! Ketemu lagi. Haus juga ya?"
"Enggak, mau mandi. Yaiyalah! Pake ditanya!"
"Dih jutek banget. Eh tapi lucu ya kita?"
"Apa-apaan!"
"Iya, kayak di sinetron gitu kan. Kebetulan ketemu udah berkali-kali gini."
Kebetulan doang. Gak usah lebay deh!"
"Siapa yang lebay! Lagian buat aku gak ada yang kebetulan, semuanya udah ada yang mengatur kali. Karena keterbatasan akal pikiran manusia saja, karena diluar kemampuannya."
"Ahahaha sok tau kamu kak!"
"Panggil nama aja. Roy! Bukan anaknya si Surya itu tapi ya!"
"Ahahaha si pakar itu?"
"Aku mah pantesnya bukan jadi pakar. Pacar kamu mungkin?"
"Dih! Gombal ahahahaha!", entah pasang susuk dimana si Roy ini, pintar benar ia melunakkan kekesalan Lila padanya.
"Eh tumben deh koperasi muter lagu beginian?"
"Apaan?"
"Om Iwan Fals!"

-----

"Bunda kenapa ya hari ini berturut-turut aku dengar lagunya om Iwan Fals?", tanyaku pada Bunda sesampainya di rumah.
"Lah, lalu kenapa? Mungkin saja hari ini adalah hari ulang tahun Beliau".
"Ah enggak deh kayaknya. Seamacam kebetulan gitu loh bun."
"Iya lalu kenapa?"
"Gak apa sih. Hanya saja...aku bertemu lelaki."
"Oh, jangan bilang aku punya kisah yang sama dengan Bunda."
"Apa bun? Jatuh cinta karena lagu?"
"Iya, ayahmu dulu waktu mengungapkan rasa menggunakan lagu Ya Atau Tidak-nya bang Iwan Fals."
"Kenapa lagi-lagi bahas ayah sih bun?"
"Karena seburuk atau sebaik apapun dia, dia tetap ayahmu."

-----


"Hari ini aku bahagia jatuh cinta lagi.
Ku mabuk cinta, lagi lagi mabuk,
lagi-lagi cinta.
Bolak-balik jatuh.
Bolak-balik cinta."


Iseng di kamar aku  menyalakan televisi dan lagi-lagi lagu om Iwan Fals yang terdengar. Arrrrrgh! Ada apa ini? Jatuh cinta? Aku? Ciiih! Tapi apa iya? Masa? Tapi kan baru pertama kali bertemu. Gak enak pula kesan  pertamanya. Tapi ayah kan meninggal tersambar petir ketika sedang menanyi di pembukaan Sebastian Cafe, milik om Rashidi. Ayah, ada apa dengan lagu-lagu om Iwan Fals? Bunda, kenapa kamu masih saja mengenang segala kenangan lagu om Iwan Fals dengan syahdunya? Lelaki itu, Roy Sayur yang baru pertama  kali menyapaku. Lucu juga sih, tapi apa iya model begitu? Eia, dia kayaknya juga paham soal lagu-lagunya om Iwan Fals. Ya tapi terus kenapa? Arrrrggghhh!

-----

Apa ini yang dinamakan Falsakadabra?

"Satu cerita dua manusia.
Terlibat dalam amuk asmara.
Satu cerita yang memang ada.
Tak mungkin mati jelas abadi.
Selama manusia hidup dalam alam ini."


Inspirasi :
Buku Ini Aku Pinjam - Iwan Fals
Aku Cinta Kamu - Iwan Fals
Jangan Tutup Dirimu - Iwan Fals
Mata Indah Bola Pingpong - Iwan Fals
Mabuk Cinta - Iwan Fals
Asmara Tak Secengeng yang Aku Kira - Iwan Fals
#cerpen